Solusi Islam Kaffah, Menjamin Gizi Menjaga Generasi
Agama | 2025-09-11 17:57:40
By; Sarie Rahman
Puluhan santri di Pondok Pesantren Al Islah, Lampung Timur, dilarikan ke rumah sakit setelah diduga keracunan usai menyantap Makanan Bergizi Gratis (MBG), Selasa (26/8/2025). Usai makan, mereka mendadak mengalami gejala mual dan pusing. Kasat Reskrim Polres Lampung Timur, AKP Stefanus Boyoh, membenarkan peristiwa ini dan menyebut seluruh korban tengah menjalani perawatan intensif meskipun ada yang sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya telah membaik. (Kompas.com, 29/08/2025)
Kepala BGN menyampaikan rasa keprihatinan yang mendalam atas peristiwa tersebut. Ia menegaskan bahwa keselamatan masyarakat adalah prioritas utama, sehingga menginstruksikan penghentian sementara operasional Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG). Langkah ini diambil bukan sekadar sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi juga sebagai momentum evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan standar pelayanan gizi yang ada. Dengan penghentian sementara ini, diharapkan semua pihak dapat belajar, memperbaiki kelemahan, serta memastikan ke depan layanan gizi yang diberikan benar-benar aman, berkualitas, dan menyehatkan.
Untuk mengatasi masalah serius bangsa yaitu malnutrisi dan stunting yang masih membayangi anak-anak dan ibu hamil, dalam kampanye lalu Presiden menjanjikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan harapan mampu memperbaiki kualitas sumber daya manusia, karena pondasi pembangunan adalah generasi yang sehat. Tidak hanya itu, orientasi MBG lebih dari sekedar pada aspek kesehatan tetapi juga menyasar pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan menggandeng petani, nelayan serta pelaku usaha kecil sebagai penydia bahan pangan, progaram ini berpotensi menciptakan rantai ekonomi yang menguntungkan banyak pihak. Karenanya agar tujuan mulia program MBG ini benar-benar tercapai, tentu tidak cukup bergantung pada pencanangan saja, konsistensi pelaksanaan, pengawasan mutu, serta keterlibatan masyarakat juga sangat diperlukan.
Rapuhnya Manajemen, Runtuhnya Kepercayaan Publik
Terjadinya keracunan berulang pada siswa menjadi sinyal keras bagi negara atas ketidak seriusannya menjalankan tanggung jawab . Kelalaian dalam menyiapkan standar operasional prosedur (SOP) serta lemahnya pengawasan terhadap program SPPG (Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi) adalah bentuk nyata dari rapuhnya manajemen penyelenggaraan. Program yang digadang-gadang menjadi solusi untuk meningkatkan gizi anak justru berubah menjadi ancaman nyata bagi kesehatan, bahkan keselamatan jiwa mereka. Ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan persoalan sistemik yang menunjukkan betapa minimnya keseriusan negara dalam memastikan kualitas makanan yang layak, aman, dan bergizi.
Dampak yang ditimbulkan bukan hanya pada kesehatan anak, tapi juga pada runtuhnya kepercayaan publik serta potensi pelanggaran serius terhadap hak anak atas perlindungan dan hidup sehat. Negara tidak bisa bersembunyi di balik alasan teknis, setiap korban adalah bukti kegagalan sistem. Karena itu, pengawasan harus diperketat, standar keamanan pangan ditegakkan, dan tenaga ahli dilibatkan secara serius. Tanpa langkah nyata, SPPG hanya akan menjadi program yang berisiko dan kehilangan legitimasi di mata rakyat.
Stunting Tak Hilang Tanpa Peran Negara Nyata
MBG bukanlah solusi utama untuk menyelesaikan persoalan gizi pada anak sekolah maupun ibu hamil, apalagi mencegah stunting. Program ini hanya bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar masalah, yaitu rendahnya kesadaran gizi, pola makan keluarga yang tidak seimbang, serta keterbatasan akses terhadap bahan pangan bergizi dengan harga terjangkau. Jika persoalan mendasar ini tidak dibenahi, maka program sekadar bagi-bagi makanan hanya akan menjadi formalitas, tanpa memberi dampak signifikan terhadap perbaikan status gizi dan pencegahan stunting secara berkelanjutan.
Dalam Islam negara bukan sekadar penguasa, yang sibuk mengatur rakyat, melainkan ra‘in (pelindung dan pengurus) yang wajib hadir memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi. Negara dapat melaksanakannya secara langsung, misalnya menyediakan layanan, atau secara tidak langsung dengan mengatur sistem distribusi dan ekonomi yang merata. Dengan demikian, negara bukan hanya penguasa, tetapi penjaga amanah yang memastikan rakyat hidup sejahtera dan bermartabat.
Mengabaikan tanggung jawab ini berarti mengkhianati amanah syariat dan membiarkan umat terjerat ketidakadilan. Tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan bukan pilihan, melainkan amanah syariat yang harus ditunaikan. Jika negara abai dan menyerahkan urusan ini pada mekanisme pasar atau inisiatif individu, maka sesungguhnya ia telah lalai dari perannya yang hakiki.
Syariat Kaffah, Solusi Hakiki untuk Gizi dan Kesejahteraan
Sejahtera hanya akan tercapai bila aturan Allah ditegakkan secara kaffah, bukan dengan menyerahkan nasib rakyat pada pasar atau kebijakan pragmatis yang rapuh. Islam telah memberikan jawabannya melalui sistem Khilafah yang memberikan jaminan kesejahteraan, setiap rakyat akan memperoleh kebutuhan pokok secara layak dan merata. Ditambah dengan edukasi yang benar tentang gizi, masyarakat akan lebih sadar pentingnya pola makan sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan kombinasi keduanya, masalah stunting maupun persoalan gizi lain dapat dicegah sejak dini. Inilah bukti bahwa solusi Islam tidak hanya menyentuh aspek materi, tetapi juga menyeluruh, mengedepankan keadilan, kepedulian, dan keberlanjutan dalam menjaga kesehatan generasi.
Negara dalam Khilafah memiliki sumber pemasukan yang besar dan halal, bukan dari utang berbunga atau pajak mencekik, melainkan dari pos-pos syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, fai, hingga pengelolaan kepemilikan umum seperti energi, tambang, dan hutan. Kekayaan itu tidak dikuasai swasta atau asing, melainkan dikelola negara lalu hasilnya didistribusikan untuk kepentingan umat termasuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Pos-pos inilah yang menjadi tulang punggung keuangan negara.
Kesejahteraan Bukan Janji Tapi Realitas dalam Sistem Islam
Dalam praktiknya sistem ekonomi Islam memastikan distribusi kekayaan berlangsung adil tidak bertumpuk pada segelintir orang, sehingga kebutuhan pokok tiap individu dapat terpenuhi. Ini menunjukkan bahwa orientasi Khilafah bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan benar-benar mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa diskriminasi.
Prinsipnya sederhana yakni kekayaan bukan untuk segelintir orang, melainkan untuk kemaslahatan seluruh umat. Inilah yang membedakan sistem Islam dari kapitalisme yang hanya menguntungkan pengusaha besar atau korporasi asing. Sejarah pun mencatat, pada masa Umar bin Khaththab, hampir tidak ditemukan lagi rakyat yang berhak menerima zakat karena semua kebutuhan mereka telah tercukupi. Artinya, Khilafah benar-benar menghadirkan kesejahteraan nyata, bukan sekadar janji kosong.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
