Sekolahku Angker
Pendidikan dan Literasi | 2025-09-11 06:51:41Pernahkah Anda melewati sebuah sekolah di malam hari? Suasana yang semula riuh dengan tawa anak-anak dan lantunan doa, tiba-tiba menjadi hening. Gedung yang siang hari tampak megah dan hidup, berubah menjadi sepi dan gelap. Pertanyaan pun muncul, apa yang sebenarnya membuat sekolah itu hidup? Apakah karena bangunan yang kokoh, cat yang baru, atau fasilitas yang lengkap?
Tidak, sesungguhnya yang membuat sekolah hidup adalah manusia di dalamnya. Gedung hanyalah wadah. Sekolah menjadi taman ilmu yang menumbuhkan iman dan akhlak karena ada guru yang sabar membimbing, murid yang bersemangat belajar, serta orangtua yang gigih mendukung. Tanpa kehadiran mereka, sekolah hanyalah bangunan kosong. Tak heran jika ia terasa “angker,” seolah tanpa jiwa.
Pendidikan yang sejati tidak hanya terjadi di dalam tembok sekolah, tetapi dari lingkungan yang tercipta. Anak-anak belajar bukan dari papan tulis, melainkan dari suasana yang mereka rasakan. Jika seorang anak tumbuh dalam dorongan dan kasih sayang, ia akan belajar percaya diri dan mencintai. Jika ia tumbuh dalam kesabaran, ia akan belajar menahan diri. Sebaliknya, jika ia hidup dalam kemarahan dan kekerasan, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar dan cemas.
Allah Ta’ala telah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6). Hadis Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), dan orangtuanyalah yang membentuk karakternya. Sabda beliau, “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari & Muslim). Ini membuktikan bahwa lingkungan, baik di rumah maupun di sekolah, adalah penentu utama masa depan anak.
Para ulama pun sejak dulu telah mengingatkan kita. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Tuhfatul Maudud pernah berkata, “Kebanyakan anak-anak yang rusak, kerusakannya justru bermula dari orangtua mereka. Mereka menelantarkan anak-anaknya, tidak mengajarkan kewajiban agama.” Beliau juga menambahkan bahwa anak-anak yang tersia-sia di masa kecilnya tidak akan memberikan manfaat, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orangtuanya di masa tua. Pendidikan bukan hanya soal mengisi kepala anak dengan ilmu, tapi juga menumbuhkan hati dan akhlaknya agar siap menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Sekolah hanya akan “hidup” jika ada sinergi antara guru, murid, dan orangtua. Guru yang bersemangat akan percuma jika orangtua cuek. Begitu juga, orangtua yang penuh perhatian tidak akan maksimal hasilnya jika sekolah lalai dalam mendidik. Namun, jika keduanya bersatu padu, insyaAllah akan lahir generasi yang kuat imannya, kokoh akhlaknya, dan luas ilmunya.
Jadi, jangan heran kalau sekolah terasa "angker" di malam hari. Itu karena tanpa manusia, ia hanyalah bangunan kosong. Tapi ketika siang hari dipenuhi dengan semangat belajar, doa, cinta, dan keteladanan, sekolah itu menjelma menjadi taman surga bagi anak-anak kita.
Mari kita ingat, pendidikan sejati bukan ada pada tembok, tapi pada hati-hati yang bersatu. Rumah, sekolah, dan jiwa orang-orang di dalamnya yang akan menentukan apakah anak-anak kita tumbuh menjadi generasi Qur’ani atau sebaliknya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
