Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Macet: Cermin Retak Sosial dan Lingkungan Kota

Kultura | 2025-09-09 21:12:34

Oleh: Muliadi Saleh

“Macet: Cermin Retak Sosial dan Lingkungan Kota”

Oleh: Muliadi Saleh

Di jalanan kota, kita kerap terjebak. Mesin meraung, klakson saling berteriak, wajah-wajah lelah mematung di balik kaca mobil. Kemacetan lalu lintas bukan sekadar cerita tentang kendaraan yang tak bergerak, tetapi potret retak hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.

Persoalan sosial tampak jelas di balik kemacetan. Kota kita belum berhasil menata pola mobilitas warganya. Kepemilikan kendaraan pribadi terus meningkat, sementara transportasi publik masih dipandang sebagai pilihan kelas dua. Akibatnya, jalan raya menjadi ajang kompetisi ego: siapa cepat, dia lewat; siapa kuat, dia menang. Budaya saling mendahului dan klakson yang lebih nyaring dari akal sehat menunjukkan adanya krisis etika lalu lintas.

Kemacetan juga memperdalam ketidakadilan sosial. Mereka yang memiliki mobil pribadi merasa lebih berhak atas jalanan, sementara pengguna sepeda, pejalan kaki, dan transportasi umum sering terpinggirkan. Ruang publik yang seharusnya demokratis berubah menjadi ruang eksklusif. Orang miskin kehilangan jam kerja produktif karena terjebak macet di angkutan umum yang lambat, sementara kelas menengah menghabiskan energi di balik setir, berkompetisi dengan sesamanya.

Dari sisi lingkungan, kemacetan adalah bencana yang terus berulang. Emisi karbon membumbung tinggi dari kendaraan yang berjam-jam berhenti tanpa guna. Udara kota teracuni partikel berbahaya, meningkatkan risiko penyakit pernapasan. Pohon-pohon ditebang demi pelebaran jalan, menjadikan kota semakin panas dan gersang. Ironisnya, solusi yang ditempuh kerap terjebak pada pola lama: menambah jalan, bukan menambah kesadaran.

Penyebab kemacetan memang kompleks. Ia bukan hanya soal jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas jalan, tetapi juga soal mentalitas. Ketidakdisiplinan, minimnya transportasi publik yang layak, tata ruang kota yang abai pada manusia, serta budaya konsumtif yang menempatkan mobil sebagai simbol status, berpadu menciptakan lingkaran macet yang sulit diputus.

Namun di tengah kegaduhan itu, hadir suara-suara jernih dari ruang akademik. Prof. Dr. Lambang Basri, akademisi Teknik Sipil yang pada Oktober 2022 dikukuhkan sebagai guru besar pertama Fakultas Teknik UMI, menegaskan bahwa kemacetan adalah persoalan yang lebih dalam dari sekadar teknis jalan raya. Dalam pidato pengukuhannya, ia menyoroti kebijakan ganjil-genap sebagai salah satu alternatif, namun dengan catatan kritis: kebijakan itu bisa sekadar memindahkan titik macet bila tidak diiringi pembenahan sistem transportasi secara menyeluruh.

Lebih jauh, sebagai pakar transportasi regional, Prof. Basri menyambut positif lahirnya Bus Trans Sulsel. Baginya, inisiatif ini bukan sekadar menghadirkan moda baru, tetapi simbol kebangkitan transportasi massal di Sulawesi Selatan. “Sinergi antara dukungan pemerintah dan daya tarik layanan adalah kunci,” ujarnya, “agar masyarakat mau meninggalkan kendaraan pribadi dan berpindah pada transportasi publik.” Dari makna itu, kita belajar bahwa macet bukan hanya soal aspal dan roda, melainkan juga soal keberanian membangun budaya baru: budaya berbagi jalan, berbagi udara, berbagi hidup.

Pandangan Prof. Basri melengkapi suara para pemikir lain. Jane Jacobs pernah mengingatkan, “Kota tidak diukur dari seberapa banyak mobil yang bisa bergerak, tetapi dari seberapa ramah ia bagi manusia yang berjalan.” Ahli lingkungan Gus Speth menegaskan, “Masalah terbesar lingkungan bukan hilangnya hutan atau rusaknya ekosistem, tetapi krisis etika dan perilaku manusia.” Sementara pakar transportasi nasional Prof. Bambang Susantono menyebut, “Transportasi bukan hanya urusan teknis, tetapi juga urusan peradaban.”

Semua kutipan itu mengerucut pada pesan bijak: kemacetan bukan takdir, melainkan akibat dari pilihan kita. Ia adalah peringatan agar kita menata diri, membangun disiplin, dan menghargai sesama. Lalu lintas sejatinya bukan sekadar arus kendaraan, melainkan arus kehidupan. Dan kehidupan yang baik hanya mungkin tercipta bila kita mau berbagi ruang, berbagi waktu, dan berbagi napas dengan adil.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image