Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image David Leoshan Saro Zendrato

Al, Hoaks, dan Pentingnya Kembali ke Budi Luhur

Lain-Lain | 2025-09-06 02:29:17

Pernah nggak sih, kamu dapat berita mengejutkan di WhatsApp?

Entah kabar selebriti yang katanya meninggal, video pejabat ngomong hal aneh, atau info lowongan kerja dengan gaji besar tapi ujung-ujungnya penipuan. Kita baca, kaget, lalu buru-buru klik share. Tanpa sadar, kita bisa jadi bagian dari rantai penyebar hoaks.

Fenomena ini makin “seru” sejak hadirnya teknologi kecerdasan buatan alias AI. Bukan cuma teks atau gambar, sekarang ada yang namanya deepfake: video wajah orang bisa dimanipulasi, suaranya dipalsukan, bahkan dibuat seolah-olah dia ngomong sesuatu yang sebenarnya nggak pernah diucapkan. Ngeri, kan?

Pertanyaannya: kalau semua bisa dipalsukan, kita masih bisa percaya siapa?

 

Hoaks: Dari Kabar Bohong Jadi Senjata

Hoaks bukan barang baru. Dari dulu manusia sudah terbiasa dengan gosip. Bedanya, kalau dulu gosip nyebar di warung kopi, sekarang nyebarnya lewat media sosial dengan kecepatan luar biasa.

Contoh nyata:

Saat pandemi, banyak yang percaya obat instan atau ramuan “ajaib” tanpa dasar ilmiah.

Di masa politik, berita palsu dipakai untuk menjatuhkan lawan.

Sehari-hari, hoaks tentang penculikan anak atau iklan kerja bodong bikin masyarakat resah.

Akibatnya? Bukan cuma bikin panik, tapi juga memecah belah kepercayaan antarwarga.

AI dan Deepfake: Tantangan Baru di Era Digital

Kalau hoaks tradisional masih bisa ditelusuri, beda cerita dengan deepfake. Teknologi AI ini mampu membuat wajah, suara, bahkan gerak tubuh seseorang terlihat sangat nyata.

Bayangin, ada video artis seolah ngomong hal memalukan padahal itu rekayasa. Atau suara tiruan tokoh terkenal dipakai untuk nipu masyarakat. Ini bisa merusak reputasi, bikin fitnah makin gampang, bahkan mengancam stabilitas sosial.

Singkatnya: teknologi makin canggih, tapi kalau nggak dibarengi moral, yang rugi ya kita semua.

 

Lalu, Apa Solusinya? Kecerdasan Budi Luhur

Di tengah derasnya arus informasi, kita nggak cukup hanya jadi “pintar”. Kita butuh yang namanya kecerdasan budi luhur—gabungan antara kecerdasan intelektual dan kebijaksanaan hati nurani.

Beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan:

1. Saring sebelum sharing. Jangan asal klik tombol share tanpa cek kebenarannya.

2. Think before click. Kalau dapat video aneh, coba cari sumber resminya.

3. Tanggung jawab moral. Punya skill AI? Gunakan untuk bikin karya positif, bukan manipulasi merugikan.

4. Empati digital. Ingat, di balik layar ada manusia nyata yang bisa terluka kalau kita sebarkan fitnah atau hoaks.

Dengan kecerdasan budi luhur, kita bisa menempatkan teknologi di jalurnya: sebagai alat untuk kebaikan, bukan senjata untuk merusak.

 

Penutup: Pilihan Ada di Kita

Teknologi hanyalah alat. Mau dipakai untuk menolong atau menjerumuskan, itu semua tergantung manusianya.

Di era digital ini, kita ditantang bukan cuma untuk jadi generasi melek teknologi, tapi juga generasi yang berkarakter. Seperti pesan klasik: ilmu tanpa budi pekerti hanyalah kepintaran kosong.

Jadi, yuk sama-sama jadi pengguna internet yang bukan hanya cerdas, tapi juga bijak. Karena pada akhirnya, kemajuan digital hanya akan bermakna kalau kita melengkapinya dengan kecerdasan budi luhur.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image