Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Narasi dan Reflektif Puitis Surah Al-Fatihah Ayat ke-7

Agama | 2025-09-03 10:11:01

Ayat 7

صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

Penulis : Muliadi Saleh

Narasi Puitis

Tunjukkanlah kami jalan mereka yang Engkau beri nikmat: jalan para nabi yang bercahaya, jalan para syuhada yang berdarah namun mulia, jalan orang saleh yang suci dari riya, jalan hamba-hamba yang wajahnya berseri karena keikhlasan.

Jangan biarkan kami melangkah di jalan mereka yang Engkau murkai—mereka yang tahu kebenaran tetapi menutupinya, mereka yang menyaksikan cahaya tetapi memilih gelap, mereka yang diberi hikmah tetapi menukarnya dengan kesombongan.

Jangan pula Engkau biarkan kami tersesat bersama mereka yang hilang arah—yang mencari kebenaran tapi salah menafsirkan, yang berjalan dengan niat baik namun terperangkap kebodohan, yang terseret oleh arus tanpa sadar meninggalkan dermaga keselamatan.

Ayat ini adalah peta kehidupan: ada jalan yang penuh nikmat, ada jalan yang diliputi murka, ada jalan yang ditandai kesesatan. Kita, manusia rapuh yang selalu di persimpangan, hanya bisa berdoa agar kaki kita kokoh di jalan pertama—jalan cahaya.

Refleksi

Ayat ini adalah penutup yang melengkapi permohonan pada ayat sebelumnya (ihdinā ṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm). Jika sebelumnya kita memohon ditunjukkan “jalan yang lurus”, maka kini Allah mengajarkan kita untuk memperjelas: jalan itu adalah jalan orang-orang yang telah diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.

Siapakah mereka yang mendapat nikmat? Al-Qur’an (QS An-Nisā’: 69) menjawab: “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.”

Inilah potret jalan yang kita rindukan: jalan para nabi yang penuh keikhlasan, jalan orang-orang jujur yang tak tergoda dunia, jalan syuhada yang menyerahkan nyawanya untuk kebenaran, jalan orang-orang saleh yang sederhana namun mulia. Itulah jalan yang ingin kita tempuh—jalan yang berakhir di ridha Allah.

Namun, jalan lurus itu bukan tanpa lawan. Ada jalan mereka yang dimurkai (al-maghdubi ‘alaihim), yakni orang-orang yang tahu kebenaran tetapi menolaknya. Mereka adalah cermin kesombongan, sebab ilmu tak membawa mereka kepada rendah hati, justru menjerumuskan pada kesesatan yang disengaja. Inilah penyakit manusia modern: tahu mana yang adil, tapi memilih zalim; tahu mana yang jujur, tapi memilih dusta; tahu mana yang halal, tapi tergoda yang haram. Mereka bukan tersesat karena kebodohan, melainkan karena hati yang menolak tunduk.

Lalu ada jalan mereka yang tersesat, yakni orang-orang yang berusaha mencari kebenaran namun salah arah. Mereka berjalan tanpa bimbingan wahyu, sehingga langkahnya berputar-putar di gurun tandus. Mereka mungkin tulus, mereka mungkin berniat baik, namun tanpa petunjuk Allah, mereka tetap tersesat. Di sinilah pentingnya doa, karena kesungguhan saja tidak cukup; yang diperlukan adalah hidayah.

Jika kita renungkan, ayat ini bukan sekadar membedakan tiga jalan. Ia adalah cermin kehidupan kita sehari-hari. Kadang kita berada di jalan nikmat, saat hati kita jernih dan langkah kita lurus. Kadang kita tergelincir ke jalan murka, saat tahu yang benar tapi sengaja mengingkarinya. Kadang pula kita hanyut di jalan sesat, saat niat baik kita terjebak dalam kebodohan atau kesalahan. Karena itulah doa ini harus diulang berkali-kali, agar Allah selalu menarik kita kembali ke jalan para nabi dan orang-orang saleh.

Ayat ini juga memberi pelajaran sosial. Sebuah bangsa bisa berada di jalan nikmat, jika pemimpinnya adil, rakyatnya jujur, dan kebijakan negaranya berpihak pada kebaikan. Tapi bangsa juga bisa berada di jalan murka, jika tahu aturan tetapi melanggarnya, jika hukum dijadikan permainan, jika kekuasaan dipakai untuk menindas. Dan bangsa bisa berada di jalan sesat, jika tanpa visi, tanpa arah, mengikuti arus global tanpa dasar nilai, hingga kehilangan jati diri. Maka, doa ini bukan hanya doa pribadi, tetapi doa kolektif sebuah umat agar tidak hancur di jalan murka atau sesat.

Ada satu rahasia besar: mengapa doa ini harus kita ulang setiap rakaat shalat? Karena hidup adalah pilihan yang tak pernah berhenti. Hari ini kita bisa berada di jalan nikmat, besok mungkin tergoda ke jalan murka. Hari ini kita ikhlas, besok bisa jadi terseret oleh riya. Karena itu, doa ini adalah pagar yang harus selalu dijaga.

Pada akhirnya, Surah Al-Fātiḥah ditutup dengan penegasan: jalan lurus itu nyata, ada yang menempuhnya, dan kita diminta untuk bergabung bersama mereka. Tapi jalan murka dan jalan sesat juga nyata, dan kita harus menjauh sejauh mungkin darinya. Kita adalah musafir yang lemah, dan doa ini adalah bekal yang menyelamatkan, agar perjalanan hidup kita berakhir di cahaya rahmat Allah, bukan di kegelapan murka dan kesesatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image