Nasib Guru dan Dosen: Antara Idealisme dan Gaji Setara Buruh Pabrik
Eduaksi | 2025-09-02 12:06:18
Di banyak negara, profesi guru dan dosen ditempatkan di puncak penghormatan sosial dan ekonomi. Di Finlandia misalnya, guru dipandang sejajar dengan dokter. Di Singapura, dosen universitas menjadi simbol prestise dan profesionalisme. Namun di Indonesia, nasib mereka sering kali ironis: gaji tak jauh berbeda dari UMR buruh pabrik tekstil.
Padahal, dari tangan para guru dan dosen lahir generasi bangsa. Mereka memikul idealisme, namun imbalan yang diterima kerap tak sebanding. Lalu, mengapa kondisi ini terus berulang?
Jejak Sejarah Singkat
Sejak masa pergerakan nasional, guru dipandang sebagai agen perubahan. Ki Hajar Dewantara dan tokoh pendidikan Muhammadiyah, misalnya, adalah guru yang melahirkan kesadaran kebangsaan. Status sosialnya tinggi, namun kompensasi finansial minim.
Di era Orde Baru, pembangunan pendidikan menekankan kuantitas: membangun sekolah dan memperluas akses. Gaji guru dan dosen distandarisasi, tetapi rendah, dengan alasan stabilitas fiskal. Sementara di era Reformasi, meski anggaran pendidikan melonjak menjadi 20 persen APBN, kesejahteraan pendidik masih timpang: guru negeri dan ASN relatif terlindungi, tetapi guru honorer dan dosen swasta tetap terjebak di bawah garis profesi.
Lima Kekeliruan Konsep Kebijakan
Mengapa kesejahteraan guru dan dosen tak kunjung membaik? Ada lima kekeliruan mendasar dalam konsep kebijakan pendidikan Indonesia:
1. Gaji dianggap biaya, bukan investasi.Negara melihat upah guru/dosen sebagai beban anggaran, bukan sebagai modal utama untuk kualitas generasi. Akibatnya, kenaikan gaji selalu dicurigai sebagai “membengkakkan belanja pegawai”.
2. Sertifikasi tanpa insentif kinerja.Program sertifikasi memang memberi tunjangan, tetapi lebih bersifat administratif ketimbang mendorong mutu pengajaran atau riset. Guru yang inspiratif dan yang sekadar hadir, sering kali mendapat imbalan serupa.
3. Fragmentasi tata kelola.Guru negeri dibayar negara, guru swasta bergantung pada kemampuan yayasan. Dosen di universitas swasta hidup dari SPP mahasiswa, yang tentu terbatas. Akibatnya, standar gaji tak pernah adil.
4. Karier profesi kabur.Jenjang guru dan dosen lebih menekankan angka kredit administratif. Tak ada lompatan kesejahteraan bagi mereka yang benar-benar unggul dalam riset atau inovasi pembelajaran.
5. Swasta terjepit regulasi.Pemerintah menetapkan standar mutu tinggi bagi sekolah dan kampus swasta, tetapi tidak memberi subsidi yang cukup untuk menanggung upah pendidiknya. Guru/dosen swasta akhirnya hidup dengan gaji yang nyaris setara UMR.
Dampak Sosial
Kondisi ini melahirkan ironi: guru dan dosen harus mencari tambahan dengan les privat, mengajar di banyak tempat, bahkan berjualan online. Energi untuk mengajar dan meneliti terkuras demi bertahan hidup. Tak heran, banyak talenta muda enggan memilih profesi ini.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, kualitas pendidikan hanya akan berputar di lingkaran yang sama: guru miskin, murid terabaikan, bangsa sulit maju.
Jalan Keluar
Perubahan mendasar dibutuhkan. Pertama, negara harus menempatkan gaji guru dan dosen sebagai investasi strategis, bukan beban. Kedua, sistem insentif perlu diarahkan pada kinerja nyata di kelas dan di laboratorium, bukan sekadar sertifikat. Ketiga, dana kompensasi perlu diberikan secara adil, termasuk bagi guru dan dosen swasta.
Profesi pendidik adalah jantung bangsa. Jika kita terus membiarkan mereka hidup di batas UMR, bagaimana mungkin kita berharap melahirkan generasi emas Indonesia 2045?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
