Indonesia di Persimpangan: Suara Rakyat, Kuasa Negaraa, dan Harapan Demokrasi
Politik | 2025-09-01 13:50:10
Oleh: Anneke Tsabitah Zhafirah_Mahasiswa Institut Agama Islam SEBI.
Akhir-akhir ini, rasanya kita semua dipaksa melihat sesuatu yang buruk: apa yang dikatakan rakyat seringkali tidak sesuai dengan apa yang ingin didengar oleh penguasa. Jalanan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, bahkan Bandung dipenuhi banyak orang yang berunjuk rasa bukan karena ingin membuat onar, melainkan karena ingin didengarkan.
Ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang tidak puas dengan aturan, dan ada pula yang marah karena merasa keadilan hanya untuk segelintir orang. Yang paling parah adalah ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas setelah ditabrak mobil polisi lapis baja, yang menyebabkan banyak penderitaan. Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah perkataan rakyat masih relevan di negeri ini?
Berikut adalah beberapa hal yang perlu kita pikirkan terkait situasi di Indonesia saat ini:
1. Kesenjangan kepercayaan yang semakin lebar
Ketika rakyat biasa mengeluhkan biaya kebutuhan pokok, wakil rakyat mereka justru sibuk menyetujui tunjangan perumahan puluhan juta rupiah. Perbedaan ini terlalu besar untuk diabaikan. Rakyat biasa yang kesulitan hidup merasa seperti hanya menonton dari pinggir lapangan di negara mereka sendiri, sementara para pemimpin politik hidup di dunia yang berbeda. Tidak mengherankan jika protes semakin besar setiap harinya.
2. Kekerasan yang menciptakan luka baru
Protes sebenarnya adalah cara bagi orang-orang untuk bersuara. Namun, ketika suara itu dibalas dengan gas air mata, bentrokan, dan bahkan kematian, luka lama bagi negara ini seolah terbuka kembali. Rakyat tidak perlu dibungkam; mereka hanya ingin didengar. Setiap tindakan kekerasan hanya akan menyulut masalah yang lebih besar.
3. Militer kembali ke peran sipil
Kebijakan Presiden Prabowo yang memberi militer peran besar dalam kehidupan sipil membuat banyak orang khawatir. Ratusan batalyon baru dibentuk untuk urusan pangan, dan militer diberi akses ke posisi-posisi sipil. Pertanyaan pun muncul: akankah kita kembali ke cara-cara lama? Kenangan Orde Baru, ketika militer mengendalikan hampir setiap aspek kehidupan, masih terlalu segar bagi sebagian orang.
4. Korupsi yang menggerogoti harapan
Kepercayaan semakin runtuh ketika orang-orang mendengar skandal Pertamina dengan nilai hampir Rp 1 kuadriliun. Angka itu terlalu besar untuk dipahami. Bayangkan saja berapa banyak sekolah, rumah sakit, atau jalan desa yang bisa dibangun dengan uang sebanyak itu? Bagi orang biasa, kasus ini bukan sekadar angka, tetapi simbol bagaimana keadilan seringkali hanya berpihak pada mereka yang berkuasa.
5. Lingkungan yang terus-menerus diabaikan
Di samping semua kebisingan politik, bencana terus terjadi silih berganti. Banjir besar di Jakarta, tanah longsor di Pekalongan, ribuan keluarga kehilangan rumah dan harapan mereka. Sayangnya, isu lingkungan sering kali hanya menjadi catatan sampingan. Namun, rakyatlah yang menderita setiap kali bencana terjadi. Bukankah seharusnya melindungi nyawa orang menjadi prioritas utama negara ini?
Kesimpulan
Indonesia kini berada di masa yang sangat kritis. Rakyat bersuara lantang, dan pemerintah merespons dengan kekuatannya. Korupsi terus menggerogoti segalanya, militer kembali ke kehidupan normal, dan lingkungan hidup menjadi kurang penting. Semua ini membuat kita bertanya-tanya: apakah demokrasi kita masih berpeluang, atau justru semakin memburuk?
Namun, bahkan ketika keadaan mengecewakan, selalu ada peluang untuk memperbaiki diri. Jika pemerintah mau mendengarkan, membiarkan dialog terjadi, dan sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat, masa sulit ini sebenarnya bisa menjadi titik balik. Rakyat tidak menuntut istana mewah; mereka hanya menginginkan keadilan, keamanan, dan mengetahui bahwa suara mereka penting.
Demokrasi sebenarnya bukan tentang siapa yang memiliki kekuasaan paling besar, tetapi tentang siapa yang paling bersedia mendengarkan. Dan selama rakyat masih berani bersuara, masih ada harapan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
