Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Delky Nofrizal Qutni

Janji Damai, Bayang Represi

Politik | 2025-09-01 00:25:11

PIDATO Presiden Prabowo Subianto pada 31 Agustus 2025 mirip dengan naskah politik yang penuh paradoks. Dengan suara tegas Prabowo menyatakan bahwa negara menghormati kebebasan berpendapat, merujuk pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik PBB Pasal 19 serta UU 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. Namun dalam tarikan napas yang sama, Prabowo memerintahkan Polri dan TNI untuk mengambil tindakan “setegas-tegasnya” terhadap kerusakan fasilitas umum, penjarahan, dan ancaman makar. Inilah dilema klasik yang kerap membayangi pemerintahan demokratis, bagaimana menjaga hak sipil tanpa melepaskan kendali keamanan.

Konteks sosial ekonomi yang melatarbelakangi pidato itu tidak bisa diabaikan. Sejak awal Agustus 2025, publik dikejutkan oleh keputusan DPR menaikkan tunjangan dan fasilitas anggota dewan, di tengah data BPS yang menunjukkan inflasi kebutuhan pokok menembus 5,2 persen year on year, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 memang tercatat 5,1 persen, tetapi ketimpangan pendapatan (rasio Gini 0,392) tetap tinggi, sementara daya beli masyarakat menurun. Situasi ini menyalakan bara ketidakpuasan, terutama di kalangan urban miskin dan mahasiswa.

Gelombang protes yang awalnya damai di Jakarta, Surabaya, dan Medan bereskalasi menjadi kerusuhan. Data kepolisian menyebut lebih dari 120 pos polisi dirusak, 300 toko dijarah, dan 15 pusat perbelanjaan lumpuh dalam waktu 48 jam. Media internasional melaporkan sedikitnya 17 korban jiwa, ratusan luka-luka, serta kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah. Indeks Harga Saham Gabungan jatuh 3,2 persen dalam sehari, sementara rupiah melemah ke level Rp16.200 per dolar AS. Fakta-fakta ini menempatkan pemerintahan Prabowo pada titik krisis legitimasi, bagaimana meredam gejolak tanpa terjerumus pada represi yang justru bisa memantik api lebih besar.

Kajian literatur politik menunjukkan pola yang berulang. Sidney Tarrow dalam Power in Movement (1998) menekankan bahwa mobilisasi sosial muncul ketika ada political opportunity structure dimana jendela peluang politik yang membuat aksi kolektif mungkin. Keputusan DPR menaikkan tunjangan adalah pemicu, tetapi yang lebih menentukan adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga politik. Survei Indikator Politik Indonesia pada Agustus 2025 mencatat hanya 32 persen responden yang percaya pada DPR, angka terendah dalam lima tahun terakhir. Dalam konteks inilah, aksi massa menemukan legitimasinya.

Namun teori mobilisasi tidak berhenti pada pemicu. Charles Tilly dalam From Mobilization to Revolution (1978) menjelaskan bahwa protes bisa berubah menjadi kerusuhan ketika ada “broker” yang menghubungkan jaringan informal dengan massa di jalan. Di era media sosial, “broker” itu bisa berupa akun viral, atau kelompok yang menyebarkan informasi real time. Itulah mengapa eskalasi berlangsung begitu cepat, melampaui kapasitas negara untuk mengendalikan narasi.

Analisis intelijen dari sudut sunyi warung kopi di Aceh membaca bahwa pidato Prabowo sebagai upaya damage control dalam tiga lapis.

Pertama, strategic concession (konsesi strategis). Dengan menegaskan bahwa DPR sepakat mencabut tunjangan dan moratorium kunjungan kerja luar negeri, pemerintah berharap memadamkan api kemarahan publik. Namun kebijakan itu bersifat reaktif. Dalam dunia intelijen politik anak kampung, respons seperti ini menunjukkan lemahnya early warning system atau sistem peringatan dini. Seharusnya pemerintah mampu memprediksi potensi ledakan sosial dari keputusan kontroversial DPR sebelum kebijakan diumumkan, bukan sesudah kerusuhan terjadi.

Kedua, securitization (sekuritisasi). Pidato Prabowo menggunakan istilah “makar” dan “terorisme”, memindahkan persoalan politik ke ranah keamanan. Barry Buzan dalam Security A New Framework for Analysis (1998) menyebut proses ini sebagai strategi negara untuk memperoleh legitimasi tindakan represif. Dengan melabeli protes sebagai ancaman eksistensial, negara dapat membenarkan penggunaan kekerasan ekstra. Risiko dari strategi ini adalah polarisasi dimana kelompok moderat yang sebelumnya hanya mengkritik bisa terdorong bergabung dengan arus radikal karena merasa kriminalisasi diperluas.

Ketiga, co-optation. Ajakan untuk berdialog dengan mahasiswa dan tokoh masyarakat adalah bentuk kooptasi politik. Pemerintah berusaha mengintegrasikan aktor-aktor kritis ke dalam meja perundingan, sehingga melemahkan potensi mobilisasi lanjutan. Namun efektivitas strategi ini sangat bergantung pada kesungguhan negara. Jika dialog hanya formalitas tanpa hasil konkret, ia justru akan memperkuat skeptisisme.

Fakta lapangan memperlihatkan dilema. Polisi memang telah memeriksa sejumlah anggotanya yang diduga melakukan kekerasan berlebihan. Namun laporan KontraS per 31 Agustus 2025 mencatat setidaknya 28 kasus penangkapan sewenang-wenang, termasuk mahasiswa yang hanya menggelar aksi damai. Di sisi lain, ada bukti video penjarahan yang jelas-jelas merupakan tindak kriminal. Dalam kondisi ini, publik menuntut diferensiasi yang tegas bahwa negara harus mampu membedakan antara kriminal murni dan ekspresi politik. Jika tidak, pidato tentang “menghormati kebebasan” hanya akan terdengar sebagai retorika hampa.

Literatur sejarah memberi peringatan. Tahun 1998, rezim Soeharto juga berbicara tentang stabilitas dan bahaya anarki. Namun represi justru mempercepat delegitimasi dan kejatuhan kekuasaan. Sejarah Thailand 2010 atau Myanmar 2021 pun menunjukkan pola serupa, dimana negara yang gagal mengelola protes dengan proporsional akhirnya menghadapi krisis politik berkepanjangan. Indonesia, dengan demokrasi yang sudah berjalan dua dekade, tentu tak ingin mengulang lingkaran itu.

Di balik semua ini, ada akar masalah yang lebih struktural. Pertama, defisit kepercayaan terhadap elite politik. Skandal tunjangan DPR hanyalah simbol dari jurang yang melebar antara rakyat dan wakilnya. Kedua, ketimpangan ekonomi yang semakin terasa di tengah gejolak harga. Data Bank Dunia (2024) menunjukkan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 75 persen aset nasional. Ketiga, lemahnya kanal partisipasi politik formal. Ketika suara publik tidak tersalurkan melalui mekanisme institusional, jalanan menjadi alternatif.

Karena itu, solusi jangka panjang tidak cukup dengan perintah represif atau moratorium tunjangan. Pemerintah perlu merumuskan tiga agenda strategis. Pertama, memperkuat transparansi anggaran DPR dan lembaga negara melalui audit publik yang bisa diakses warga. Kedua, membuka ruang partisipasi yang lebih luas mulai dari musyawarah desa hingga forum konsultasi publik yang nyata, bukan seremonial. Ketiga, memperbaiki komunikasi politik agar keputusan sensitif tidak diumumkan secara tiba-tiba tanpa kajian dampak sosial.

Pidato Presiden Prabowo pada akhirnya harus dibaca bukan sekadar sebagai teks, melainkan sebagai cermin arah politik keamanan negara. Apakah Indonesia akan memilih jalan demokrasi substantif yang mendengar rakyat, atau kembali ke pola lama yaitu menutup telinga dan mengandalkan kekuatan aparat?

Janji damai yang Prabowo ucapkan bisa menjadi titik balik, jika diikuti dengan keberanian mereformasi institusi politik yang rakus dan membangun keadilan ekonomi yang nyata. Namun jika retorika itu hanya menjadi selimut untuk melanggengkan represi, maka sejarah akan mencatatnya sebagai kontradiksi, ketika seorang presiden yang bicara tentang gotong royong, tapi menanggapi jeritan rakyat dengan barisan tameng dan gas air mata.

Demokrasi yang sehat bukan diukur dari seberapa cepat aparat menertibkan jalanan, melainkan seberapa tulus negara mendengar aspirasi sebelum rakyat turun ke jalan.

Penulis : Delky Nofrizal Qutni ( Pemerhati dari Sudut Sunyi Warung Kopi, Mantan Orator Jalanan)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image