Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sebi Daily

Kesenjangan Industri Keuangan Syariah: Antara Potensi Besar dan Peminat yang Minim

Ekonomi Syariah | 2025-08-29 21:17:57
Ilustrasi Buku. Foto: Ibrahim/Pexels.

Oleh: Aminnanda_Mahasiswa Institut Agama Islam SEBI.

Indonesia kini menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, yakni sebanyak 242,7 juta orang, dan diharapkan menjadi pasar terbesar serta paling menjanjikan bagi industri keuangan syariah global. Dari perbankan, asuransi, hingga pasar modal, semua memiliki landasan kuat untuk tumbuh pesat. Pemerintah pun telah memberikan dukungan signifikan melalui berbagai regulasi dan program. Namun, di tengah optimisme ini, kita dihadapkan pada fakta yang ironis: kesenjangan antara potensi besar yang dimiliki dan minimnya peminat dari masyarakat. Hal ini tercermin dari porsi pasar yang stagnan di angka 6-7% dari total aset industri keuangan nasional. Lalu, mengapa potensi yang begitu besar ini belum mampu menarik minat mayoritas masyarakat?

Minimnya peminat terhadap layanan keuangan syariah bukan hanya karena isu religius, melainkan masalah sistemik yang disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan syariah, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), dan kurangnya inovasi produk yang kompetitif. Ketiga faktor ini saling berkaitan, membentuk tantangan yang menghambat industri ini untuk meraih potensi maksimalnya.

1. Rendahnya Literasi Keuangan Syariah

Meskipun populasi Muslim dominan, tingkat pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah masih sangat rendah. Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK 2025, tingkat literasi keuangan syariah hanya mencapai 43,42%, jauh di bawah literasi konvensional sebesar 66,45%. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi Indonesia belum sepenuhnya memahami produk dan prinsip keuangan syariah. Mereka sering kali hanya melihat label “syariah” tanpa memahami esensi ekonomi Islam, seperti prinsip tolong menolong, bebas riba, gharar, dan maysir, atau detail produk seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah.

2. Keterbatasan SDM dan Pakar Ekonomi Syariah

Tantangan signifikan lainnya adalah ketersediaan SDM yang kompeten di bidang ekonomi syariah. Sebagian besar karyawan di lembaga keuangan syariah memiliki latar belakang ekonomi konvensional (disebut mismatch), yang memperlambat implementasi prinsip syariah secara optimal. Menurut Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024, hanya 9,1% karyawan bank syariah yang berlatar belakang pendidikan ekonomi syariah. Kurangnya tenaga ahli bersertifikasi dan kurikulum perguruan tinggi yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri memperburuk situasi ini.

3. Kurangnya Inovasi Produk dan Layanan

Banyak produk keuangan syariah saat ini sering kali dianggap sebagai "salinan" produk konvensional dengan label syariah, tanpa menawarkan nilai tambah yang unik dan menarik. Hal ini membuat layanan syariah kalah bersaing dalam hal kemudahan, kecepatan, dan aksesibilitas. Meskipun ada perkembangan seperti fintech syariah, implementasi di lapangan masih belum maksimal dan infrastruktur pendukung seperti jaringan ATM atau kantor cabang masih terbatas dibandingkan lembaga konvensional. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri mendorong pelaku jasa keuangan syariah untuk terus berinovasi dan menemukan cara untuk menjangkau masyarakat yang ingin menggunakan produk syariah namun terkendala akses.

Beberapa pihak berpendapat bahwa masalah ini akan selesai dengan meningkatnya kesadaran beragama. Namun, pendekatan ini terlalu sederhana. Peningkatan pemahaman agama memang penting, tetapi tanpa didukung oleh produk yang inovatif, kompetitif, dan layanan yang efisien, potensi tersebut tidak akan pernah terwujud sepenuhnya. Masyarakat modern membutuhkan solusi finansial yang tidak hanya sesuai syariah, tetapi juga praktis dan menguntungkan.

Industri keuangan syariah di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Potensi besar yang dimiliki harus segera diwujudkan melalui strategi yang lebih agresif dan terukur. Merangkum poin-poin di atas, sudah saatnya industri ini berfokus pada peningkatan literasi finansial syariah, inovasi produk yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar, serta perbaikan citra melalui layanan yang lebih profesional dan efisien. OJK telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai regulasi dan program edukasi seperti GERAK Syariah 2025 yang berhasil menjangkau jutaan orang, namun upaya ini harus terus ditingkatkan. Apabila industri keuangan syariah mampu menutup kesenjangan ini dengan aksi nyata, bukan tidak mungkin porsi pasar yang selama ini sulit ditembus akan terbuka lebar. Tanpa adanya terobosan yang signifikan, potensi besar yang selama ini sulit ditembus akan terbuka lebar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image