Urgentkah Mengeluarkan Ciri-Ciri Penceramah Radikal?
Agama | 2022-03-09 00:52:33Sampai kini opini terkait radikal masih terus digaungkan oleh penguasa di negeri ini. Disaat begitu banyak masalah yang terjadi selama dua tahun pandemi, dari naiknya gas elpiji dan mahalnya harga minyak goreng, daging, hingga kedelai yang menjadi makanan pokok masyarakat di negara kita. Tentu kita tidak lupa kasus korupsi yang terus merajalela, wabah corona yang tak kunjung usai, ekonomi yang masih sulit, JHT yang ditahan, dan ramainya suara adzan yang dianalogikan dengan suara gonggongan anjing.
Semua masalah tersebut tidak menghalangi penguasa untuk melaunching agenda dalam memberantas kasus radikalisme yang sebenarnya masyarakat sendiri pun tidak ada masalah terkait itu. Padahal masalah utama masayarakat adalah bagaimana bisa bertahan hidup di tengah kondisi yang semakin mencekik masyarakat dari segala sisi. Kesehatan yang harusnya menjadi hak rakyat saat ini sangat sulit didapatkan, bahan pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat seperti tempe pun sekarang naik harganya. Sebenarnya hal itulah yang menjadi problem utama masyarakat saat ini, bukan radikalisme yang dibicarakan oleh penguasa.
Menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah begitu getol mengkampanyekan terkait radikalisme. Baru-baru ini Bapak Presiden Jokowi mengingatkan para istri personel TNI dan Polri untuk tidak mengundang penceramah radikal. Merespons pernyataan tersebut, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui seorang penceramah masuk kategori penceramah radikal atau tidak. Beliau menegaskan, untuk mengetahui penceramah radikal bukan dilihat dari tampilan seorang penceramah, tapi dilihat dari isi materi yang disampaikan. Menurutnya, radikalisme memang harus menjadi perhatian sejak dini, karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme.
Dilansir dari nasional.kompas.com menurut Nurwakhid ada lima indikator untuk melihat seorang penceramah terindikasi radikal atau tidak, yang pertama pertama mengajarkan ajaran yang anti-pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
Selain itu, Bapak Nuwakhid juga menyampaikan bahwa kelompok radikalisme bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang menanamkan doktrin ke tengah masyarakat. Ada tiga strategi yang dimaksud, yang pertama mengaburkan, menghilang bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Pernyataan beliau tidak dibenarkan oleh Bapak Ahmad Khozinuddin S. H. terkait indikator yang pertama yaitu pertama mengajarkan ajaran yang anti-pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional, beliau memepertanyakan bagaimana kabar sumber daya alam yang dikuasai oleh asing dan aseng? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan pancasila? Dalam UUD 1945 Pasal 33 (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” tidak sesuai dengan fakta saat ini yang malah dijajah oleh asing dan aseng, masyarakat tidak merasakan kemakmuran itu. Kalau dalam islam sudah diatur terkait kepemilikan, yang dimana dibagi menjadi tiga kepemilikan yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Selanjutnya, khilafah itu bukan ideologi, karena ideologi adalah pandangan hidup (way of life). Dan Islam memang dari dulu universal yang sama halnya dengan kapitalisme. Khilafah dan jihad adalah ajaran Islam hal tersebut disampaikan dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII yang membahas makna jihad dan khilafah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ijtima ulama yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut merekomendasikan agar masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah.
Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Bapak Ahmad Khozinuddin S. H. menyampaikan bahwa ulama itu punya pandangan sama yang berangkat dari aqidah Islam, maka akan mengkafirkan terhadap agama diluar islam seperti yahudi, nasrani, budha, hindu, majusi, dan lain-lain. Walaupun dalam islam, kafir terbagi menjadi dua yaitu kaum kafir yang memerangi kaum muslim seperti Amerika dan Israel yang hukumnya harus dilawan. Yang kedua kafir dzimmi yaitu orang kafir yang mau hidup berdampingan damai dengan umat muslim, yang berarti disini kita bisa hidup seperti biasa dengan mereka. Perbedaan terkait paham keagamaan kalau memang sudah masuk pada pokok-pokok akidah misalkan ahmadiyah, maka dihukumi kafir dan bukan lagi menjadi bagian islam. Karena pandangan keagamaan ahmadiyah berbeda dengan pandangan keagamaan Muhamadiyah, NU, Persis. Tapi berbeda halnya jika dalam paham keagamaan tadzkirah seperti rakaat tarawih yang berbeda-beda, ada yang 11 rakaat dan ada yang 23 rakaat. Selain itu juga ada orang yang pake qunut dan ada yang tidak memakai, terkait hal ini perlu yang namanya toleransi.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks. Bapak Ahmad Khozinuddin S. H. menyampaikan orang yang anti pemerintah tidak selalu keliru, misalnya partai oposisi. Tetapi apakah partai tersebut dikatakan partai yang radikal? Dulu PDIP sebelum berkuasa, oposan terhadap pemerintah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Setiap kebijakan Bapak SBY selalu ditentang, tapi dulu tidak ada sematan partai tersebut radikal. Tapi berbeda kalau itu umat islam, ulama yang melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar dituduh anti pemerintah, dituduh membenci pemerintah, dituduh adu domba, dituduh menyebar fitnah. Padahal dilakukannya amar makruf nahi munkar itu bukan dasar atas kebencian, tetapi dalam rangka konfirmasi kasih sayang masyarakat terhadap penguasa agar berhenti dari kedzalimannya dan selamat dunia akhirat. Rasulullah pernah bersabda, "Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga." [HR. al-Tirmidzi, al-Nasai dan al-Hakim]. Jadi jelas, bahwa kita tidak boleh diam saja jika penguasa kita melakukan kezaliman agar kita tidak termasuk golongannya). Kalau penceramah mengkritik dianggap menebar fitnah, menebar kebohongan, bagaimana dengan penguasa yang selama ini kebijakannya tidak sesuai dengan janjinya atau dzalim terhadap masyarakat. Penguasa bilang dalam pembangunan IKN tidak akan menggunakan uang APBN, tapi pada faktanya berkebalikan. Adanya wacana penundaan pemilu yang secara otomatis adanya perpanjangan masa jabatan juga tidak sesuai dengan konstitusi juga. Jadi seharusnya tuduhan-tuduhan radikal itu tidak selalu ditujukan pada penceramah-penceramah saja.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Bapak Ahmad Khozinuddin S. H. mengatakan bahwa umat islam dalam pokok agama memang anti perubahan, akidah islam tidak mau diganti dengan sekukerisme, sumber hukum alquran dan asunnah tidak mau diganti dengan sumber yang berasal dari perasaan dan hawa nafsu. Memang itulah ajaran islam, justru keliru jika umat islam membenarkan ajaran sekulerisme, pluralisme, kapitalisme. Berbeda halnya umat islam tidak intoleran terkait sesuatu yang berkaitan dengan IPTEK, tidak menolak menggunakan WhatsApp, Youtube, Facebook, Instagram, Zoom, dan lain-lain. Karena dalam islam sudah diatur terkait penggunaan barang produksi hasil IPTEK tersebut. Yang tidak diperbolehkan diubah adalah sesuatu yang sudah ada pokok-pokok pakemnya. Jadi ketika umat islam menggenggam akidah islam jangan dituduh intoleran, justru yang dituduh adalah orang yang memaksakan pandangannya.
Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan. Bapak Ahmad Khozinuddin S. H. menyampaikan bahwa islam tidak pernah mempermasalahkan budaya sepanjang tidak menyimpang dari syariat islam. Misalnya seperti sungkem saat Idul Fitri.
Jika merujuk pada definisi hukum, sampai hari ini belum ada satu pun pasal dari produk peraturan perundang-undangan yang memberikan definisi terkait radikal. Yang nampak saat ini, radikal ditujukan pada orang yang memperjuangkan syariat islam atau terikat dengan agamanya. Misalkan orang yang memelihara jenggot dikatakan radikal, pake cadar radikal, celana cingkrang radikal, hafidz qur’an, good looking radikal. Sementara orang yang kalap dana bansos tidak dikatakan radikal. Padahal masyarakat tidak dirugikan dengan adanya orang yang memanjangkan jenggotnya, dengan adanya muslimah yang memakai cadar karena mengambil pendapat dari mahzab syafi’i. Justru masyarakat dirugikan oleh para penguasa yang korupsi dana masyarakat.
Jadi hal tersebut memang dibuat untuk menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat, karena otomatis akan terjadi polarisasi penceramah atau ulama. Umat akan saling curiga terhadap saudaranya semuslim dan saling menjauhi, padahal harusnya kita umat muslim saling menjaga ukhuwah islam. Dan semestinya fokus utama yang harus ditangani lebih awal oleh pemerintah, yakni kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat yang jelas-jelas menjadi permasalahan di depan mata. Apalah fungsi masyarakat jika hanya dibutuhkan ketika pemilu, setelah kelar ditinggal begitu saja.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.