Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Menggagas Sistem Baru Remunerasi Guru dan Dosen

Eduaksi | 2025-08-27 20:10:46

  

Di balik keberhasilan setiap bangsa, selalu ada guru dan dosen yang bekerja keras mendidik generasi penerus. Namun di Indonesia, mereka sering kali harus berjuang dengan keterbatasan kesejahteraan. Perbedaan status kepegawaian—antara PNS, PPPK, dan honorer—menyebabkan gaji yang tidak seragam. Di sisi lain, dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta pun menghadapi variasi pendapatan yang besar, tergantung pada kemampuan institusi. Akibatnya, profesi yang seharusnya dipandang mulia ini justru kerap tertinggal dibandingkan profesi lain dengan kualifikasi pendidikan yang sama.

Secara konstitusional, guru dan dosen dijamin haknya untuk memperoleh penghidupan yang layak. Negara pun telah menetapkan amanat anggaran minimal 20% dari APBN untuk pendidikan. Sayangnya, alokasi anggaran tersebut masih lebih banyak terserap untuk program non-gaji, sementara kesejahteraan pendidik belum menjadi prioritas utama. Hal inilah yang menimbulkan jurang antara idealisme kebijakan dan realitas di lapangan.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah membangun arsitektur remunerasi nasional yang adil, transparan, dan berbasis kinerja. Gaji pokok sebaiknya ditentukan melalui sistem grade yang jelas, misalnya G1–G10 untuk guru dan D1–D10 untuk dosen, sesuai dengan jenjang kualifikasi, masa kerja, serta capaian profesional. Komponen gaji tidak hanya terdiri dari upah dasar, tetapi juga tunjangan profesi, tunjangan daerah yang disesuaikan dengan indeks biaya hidup, insentif kinerja, hingga dukungan pengembangan profesional berkelanjutan seperti beasiswa atau sabbatical. Jalur karier juga harus dirancang berlapis: ada guru ahli, pemimpin sekolah, hingga peneliti pendidikan; sementara dosen bisa meniti jalur akademik, kepemimpinan, maupun spesialis industri.

Tentu, reformasi seperti ini membutuhkan biaya. Dengan baseline belanja pegawai pendidikan sekitar Rp330 triliun pada 2024, skenario konservatif menaikkan gaji 15% berarti tambahan Rp50 triliun. Skenario moderat 30% membutuhkan Rp100 triliun, sementara skenario agresif 50% menuntut Rp160 triliun. Angka ini setara dengan 0,7–2,5% dari APBN. Meski besar, investasi ini sesungguhnya adalah modal jangka panjang: menjaga retensi guru, menarik lulusan terbaik, serta meningkatkan kualitas pembelajaran dan riset.

Jika dibandingkan profesi lain, guru dan dosen jelas tertinggal. Dokter umum, insinyur, atau profesional akuntansi bisa menerima Rp10–15 juta per bulan, sedangkan guru baru PNS rata-rata hanya Rp4–6 juta, dan dosen pemula Rp6–10 juta. Perbandingan internasional lebih mencolok: di Malaysia, guru memperoleh 1,5 kali PDB per kapita; di Amerika Serikat bahkan 1,6 kali. Indonesia masih berada di bawah rasio 1,0. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya tarik profesi guru-dosen masih jauh dari memadai, baik secara domestik maupun global.

Jika reformasi remunerasi dijalankan bertahap selama 3–5 tahun, dampaknya akan sangat signifikan. Guru dan dosen tidak lagi perlu mencari pekerjaan tambahan di luar profesi, sehingga energi mereka bisa tercurah pada pembelajaran dan penelitian. Dengan adanya insentif berbasis kinerja dan tunjangan daerah, distribusi tenaga pendidik ke wilayah 3T akan lebih merata. Transparansi gaji melalui dashboard publik juga memastikan akuntabilitas anggaran.

Namun, perubahan ini tidak tanpa risiko. Beban fiskal bisa menimbulkan resistensi, birokrasi mungkin menolak perubahan sistem, dan perbedaan antara PNS, PPPK, serta honorer berpotensi menimbulkan ketimpangan baru. Karena itu, mitigasi perlu dilakukan sejak awal: kenaikan dilakukan bertahap, pemerintah daerah ikut berbagi beban biaya, serta indikator kinerja dirancang objektif dan diawasi independen.

Dalam jangka pendek, ada sejumlah langkah cepat yang bisa segera diwujudkan. Harmonisasi tunjangan antara guru PNS dan PPPK, pilot project tunjangan daerah di wilayah dengan biaya hidup tinggi, serta penetapan gaji dasar yang minimal setara living wage adalah tiga langkah prioritas. Digitalisasi sistem pembayaran dan transparansi publik juga bisa segera dilaksanakan tanpa menunggu revisi besar.

Reformasi sistem remunerasi guru dan dosen bukan sekadar soal gaji. Ini adalah soal martabat profesi, kualitas pendidikan, dan investasi untuk masa depan bangsa. Jika Indonesia sungguh-sungguh ingin bersaing di tingkat global, maka langkah paling mendasar adalah memastikan bahwa para pendidik kita hidup layak, dihargai, dan memiliki jalur karier yang menjanjikan. Pendidikan yang kuat hanya lahir dari pendidik yang sejahtera.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image