Jurnalis Gaza: Ketika Suara Kebenaran Harus Dibayar dengan Nyawa
Politik | 2025-08-26 19:13:51
Oleh Lailiatus Sa'diah
Aktivis Muslimah
Di tengah dentuman bom dan kepulan asap di Gaza, suara para jurnalis seharusnya menjadi saksi yang menyingkap kebenaran. Namun, apa jadinya ketika mereka yang mengabarkan realitas justru dijadikan target? Dibunuhnya jurnalis Gaza bukan sekadar tragedi kemanusiaan, melainkan upaya sistematis untuk membungkam kebenaran agar dunia tetap buta terhadap genosida yang terjadi. Setiap nyawa yang melayang adalah bukti bahwa keberanian menyuarakan fakta di bumi Palestina harus dibayar dengan harga paling mahal, nyawa itu sendiri.
Sejak pecahnya perang yang diakibatkan oleh serangan Hamas pada Oktober 2023 silam, Reporters Without Borders mencatat hampir 200 jurnalis telah terbunuh saat bertugas. Israel melarang jurnalis internasional masuk ke Gaza kecuali melalui kunjungan yang dikontrol ketat bersama militer (www.kompas.com 12/8/2025).
Pasukan Israel dilaporkan telah membunuh lima jurnalis Al Jazeera melalui aksi sadis di Jalur Gaza pada Minggu (10/8) waktu setempat. Media asal Qatar itu menyebutkan koresponden, satu wartawan on air, dan tiga staf operator kamera, dibunuh pasukan Israel di tenda mereka (www.cnnindonesia.com 12/8/2025).
Perlindungan terhadap para jurnalis Gaza sangat jauh dari kriteria layak. Mereka bekerja di bawah risiko tinggi diantara rudal, dan tetap memilih menyuarakan kebenaran melalui lensa kamera meski sadar nyawa terancam karenanya. Padahal, dalam hukum internasional, jurnalis di wilayah konflik seharusnya dilindungi sebagai pihak sipil. Ketika mereka justru diburu dan dibunuh, jelas terlihat bahwa serangan ini bukan sekadar “dampak sampingan perang”, melainkan strategi militer untuk menutup akses informasi. Dunia hanya akan melihat apa yang dikehendaki penjajah, sementara penderitaan rakyat Palestina terus teredam.
Lebih dari itu, terbunuhnya para jurnalis Gaza menunjukkan bagaimana standar ganda begitu telanjang di hadapan kita. Jika seorang jurnalis di negara Barat diserang, dunia internasional akan geger, seruan keadilan bergema, dan pelakunya langsung dikutuk. Namun, ketika puluhan jurnalis Palestina meregang nyawa, kebanyakan negara memilih bungkam, atau sekadar melontarkan kecaman formal yang tak berdampak apa-apa. Diamnya dunia internasional menjadi bentuk lain dari kolusi yang melanggengkan kejahatan kemanusiaan di Gaza.
Darah para jurnalis Gaza seharusnya mampu menjadi alarm bagi seluruh dunia. Ketika kebenaran dibungkam, maka itulah sejatinya kejahatan melebihi genosida itu sendiri. Selama pena terus dibungkam dengan peluru, maka yang lahir hanyalah kebohongan dan manipulasi. Dunia internasional tak boleh lagi tinggal diam, perlindungan bagi jurnalis bukan sekadar isu profesi, melainkan mandat moral untuk menjaga cahaya kebenaran tetap menyala di tengah gelapnya penjajahan. Karena membiarkan jurnalis dibunuh, sama artinya membiarkan kebenaran terkubur bersama jasad mereka.
Solusi nyata bagi penderitaan Gaza tidak bisa hanya berharap pada kecaman internasional atau seruan gencatan senjata yang rapuh. Islam mengajarkan bahwa penjajahan dan pembantaian atas umat tidak akan berhenti tanpa adanya kekuatan politik yang mampu melindungi mereka. Inilah urgensi keberadaan khalifah sebagai pemimpin umat yang memikul tanggung jawab menjaga darah, kehormatan, dan tanah kaum Muslimin. Sejarah membuktikan, di bawah kepemimpinan khilafah, seruan jihad dan mobilisasi kekuatan militer segera digerakkan ketika wilayah Islam diserang. Gaza tidak membutuhkan simpati kosong, melainkan pertolongan nyata yang hanya dapat diwujudkan dengan hadirnya kepemimpinan tunggal umat. Semakin banyak darah yang tertumpah, makin jelas bahwa kebutuhan akan khilafah bukan sekadar wacana, melainkan tuntutan mendesak bagi tegaknya keadilan dan berakhirnya derita panjang rakyat Palestina.
Wallahualam bissawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
