Di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi: Siapa yang Benar-Benar Sejahtera?
Edukasi | 2025-08-26 16:42:17
Oleh: Muhammad Naufal Asy Syauqi_Mahasiswa Institut Agama Islam SEBI.
Setiap kali pemerintah merilis angka pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB), kita sering mendengar tepuk tangan: “Ekonomi tumbuh 5%!” Angka ini seolah menjadi ukuran tunggal kesejahteraan bangsa. Namun, apakah benar pertumbuhan ekonomi yang tinggi otomatis membuat hidup masyarakat lebih sejahtera? Fakta di lapangan sering berkata lain: harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja, dan kesenjangan pendapatan tetap melebar. Inilah yang menjadi problem utama ketika kita hanya terpaku pada angka makro ekonomi tanpa mengupas dampaknya secara nyata.
Pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi tidak cukup. Fokus semata pada angka PDB justru bisa menyesatkan karena tidak mencerminkan pemerataan, kualitas hidup, dan keberlanjutan.
Pertama, PDB hanya mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan, bukan distribusinya. Bayangkan ekonomi tumbuh 6%, tapi pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh segelintir kelompok elit bisnis. Bagi mayoritas masyarakat, yang dirasakan tetap stagnasi bahkan keterpurukan.
Kedua, indikator makro seperti PDB sering mengabaikan dimensi sosial. Data BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka masih sekitar 4–5% pada 2024. Artinya, meski ekonomi tumbuh, sebagian anak muda tetap kesulitan mencari kerja. Apalagi di tengah disrupsi teknologi, banyak pekerjaan lama yang hilang sebelum sempat diganti dengan pekerjaan baru.
Ketiga, pendekatan makro ekonomi konvensional sering mengabaikan aspek lingkungan. Misalnya, ekspor batu bara bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi di sisi lain merusak lingkungan dan meninggalkan dampak jangka panjang. Pertumbuhan seperti ini ibarat membakar rumah sendiri demi mendapat uang cepat.
Sebagian ekonom berargumen bahwa fokus pada PDB tetap penting karena menjadi standar internasional dan memudahkan perbandingan. Memang ada benarnya, tetapi jika hanya berhenti di situ, maka analisis menjadi dangkal. Negara-negara seperti Bhutan atau Selandia Baru bahkan mulai menambahkan indikator kebahagiaan dan keberlanjutan lingkungan dalam menilai pembangunan. Ini membuktikan bahwa ukuran kesejahteraan tidak bisa semata-mata angka pertumbuhan ekonomi.
Makro ekonomi seharusnya tidak hanya bicara tentang seberapa cepat angka PDB naik, tetapi juga apakah pertumbuhan itu inklusif, adil, dan berkelanjutan. Indonesia membutuhkan paradigma baru dalam menilai ekonomi: kesejahteraan masyarakat, distribusi yang merata, dan keberlanjutan lingkungan harus menjadi tolok ukur utama. Jadi, lain kali ketika mendengar berita “ekonomi tumbuh 5%”, mari kita bertanya lebih kritis: siapa yang benar-benar merasakan pertumbuhan itu?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
