Health Tourism: Dari Medipol Turki Menuju Mimpi Indonesia Jadi Pusat Wisata Kesehatan Dunia!
Info Sehat | 2025-08-25 23:40:12Mengapa Health Tourism Semakin Penting?
Saya Muhammad Kemal Pasha Al-Ghani, mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus seorang dokter umum. Baru-baru ini saya berkesempatan mengikuti residensi student mobility ke Turki, tepatnya di Medipol Mega Hospital dan Medipol Pendik University Hospital. Dari pengalaman ini, saya melihat secara langsung bagaimana rumah sakit dapat berkembang menjadi pusat layanan kesehatan bertaraf internasional yang tidak hanya fokus pada perawatan medis, tetapi juga terintegrasi dengan riset, pendidikan, dan pariwisata kesehatan.
Pengalaman tersebut membuka mata saya mengenai pentingnya health tourism atau pariwisata kesehatan. Di Turki, Medipol telah berhasil menjadi contoh bagaimana pelayanan medis, penelitian, dan pendidikan dapat dipadukan dengan layanan pasien internasional yang komprehensif
Dalam dua dekade terakhir, Health Tourism atau wisata kesehatan telah menjelma menjadi salah satu sektor paling dinamis dalam industri kesehatan global. Fenomena ini menggambarkan bagaimana kesehatan tidak lagi dipandang hanya sebagai layanan publik domestik, tetapi juga sebagai industri lintas batas yang menyatukan dimensi medis, ekonomi, budaya, hingga diplomasi internasional.
Menurut laporan OECD (2019), lebih dari 14 juta orang setiap tahun melakukan perjalanan antarnegara untuk mendapatkan layanan medis, baik berupa operasi elektif, perawatan kanker, transplantasi organ, maupun prosedur kosmetik. Nilai ekonominya pun fantastis, diperkirakan mencapai USD 55–60 miliar per tahun dan terus bertumbuh seiring meningkatnya globalisasi, mobilitas pasien, serta penetrasi teknologi digital.
Mengapa fenomena ini berkembang begitu pesat? Ada beberapa faktor pendorong utama. Pertama, biaya kesehatan di negara maju semakin mahal, seperti di Amerika Serikat, Kanada, atau Eropa Barat, sehingga mendorong pasien mencari alternatif yang lebih murah tetapi tetap berkualitas. Kedua, akses terhadap layanan spesialis sering terbatas di negara berkembang, sehingga banyak pasien yang mencari perawatan ke negara lain dengan fasilitas lebih maju. Ketiga, waktu tunggu yang panjang di sistem kesehatan publik, seperti di Inggris atau Kanada, membuat pasien memilih jalur cepat lewat layanan medis internasional. Terakhir, masyarakat kini semakin menuntut layanan yang terintegrasi, tidak hanya sekadar prosedur medis, tetapi juga pengalaman pemulihan yang nyaman, menyenangkan, bahkan menyatu dengan wisata dan budaya (OECD, 2019; Connell, 2013).
Belajar dari Turki dan Medipol University Hospital
Di antara negara-negara yang berhasil memanfaatkan peluang ini, Turki menempati posisi istimewa. Negara yang terletak di persimpangan Eropa dan Asia ini berhasil menggabungkan biaya yang kompetitif, kualitas klinis kelas dunia, dan daya tarik budaya menjadi satu paket wisata kesehatan yang kuat.
Salah satu contoh paling menonjol adalah Medipol Health Group, dengan rumah sakit andalannya, Medipol Mega Hospital di Istanbul. Institusi ini bukan sekadar rumah sakit, tetapi juga bagian dari Medipol University, sehingga mengintegrasikan pelayanan kesehatan, pendidikan kedokteran, riset, dan inovasi dalam satu ekosistem. Model inilah yang menjadikan Medipol unik dibanding pesaingnya di Thailand, India, maupun Singapura (Kaya & Yıldırım, 2020).
Apa yang membuat Medipol University Hospital begitu menonjol?
Medipol dikenal sebagai rumah sakit dengan kualitas klinis bertaraf internasional, ditunjang ruang operasi hibrid, teknologi robotik, pusat transplantasi, dan pusat kanker terpadu yang menggabungkan radioterapi, kemoterapi, serta imunoterapi. Layanan untuk pasien internasional dibuat menyeluruh, mulai dari konsultasi online dan second opinion gratis, penjemputan dari bandara ke rumah sakit dan hotel, hingga penerjemah 24 jam dalam 30 bahasa. Semua laporan medis juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar komunikasi dengan dokter di negara asal tetap lancar.
Lebih jauh, Medipol menegaskan komitmennya melalui jaringan 28 kantor perwakilan di 158 negara, yang tidak hanya memberikan informasi dan pendampingan, tetapi juga memastikan tindak lanjut pasca perawatan. Sebagai bagian dari universitas, Medipol terus mendorong riset dan inovasi, dengan fokus pada regenerative medicine, onkologi, dan kecerdasan buatan dalam diagnostik. Kombinasi layanan medis, hospitality, dan penelitian ini menempatkan Medipol sebagai salah satu pusat kesehatan global yang menyatukan kualitas, aksesibilitas, dan inovasi.
Hasilnya, Medipol mampu menarik lebih dari 38.000 pasien internasional setiap tahun, menjadikannya model unggulan dalam manajemen wisata kesehatan global (Medipol Health Group, 2023).
Dimana Posisi Indonesia?
Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk mengembangkan wisata kesehatan. Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta jiwa, biaya kesehatan yang relatif lebih murah dibanding Singapura dan Malaysia, serta destinasi wisata kelas dunia seperti Bali, Borobudur, Lombok, dan Yogyakarta. Indonesia tentu memiliki fondasi yang sangat kuat.
Sayangnya, potensi ini belum tergarap maksimal. Banyak warga Indonesia justru berobat ke luar negeri, terutama ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. Data Kemenkes menunjukkan bahwa setiap tahun lebih dari 600.000 orang Indonesia bepergian ke luar negeri untuk berobat, mengakibatkan aliran devisa keluar miliaran dolar.
Mengapa ini terjadi? Ada beberapa kelemahan mendasar.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam pengembangan health tourism, namun masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar. Jumlah rumah sakit yang sudah mengantongi akreditasi internasional Joint Commission International (JCI) masih sangat terbatas, sehingga tingkat kepercayaan global terhadap mutu dan keselamatan layanan belum sepenuhnya kuat. Selain itu, kapasitas multibahasa dan kompetensi lintas budaya para tenaga kesehatan juga masih lemah, padahal bagi pasien internasional kenyamanan komunikasi merupakan kunci utama dalam menentukan pilihan perawatan.
Di sisi lain, koordinasi kebijakan antar kementerian seperti kesehatan, pariwisata, dan transportasi masih belum berjalan sinergis, sehingga strategi nasional health tourism belum memiliki arah yang benar-benar terintegrasi. Pemanfaatan teknologi digital juga masih berada pada tahap awal, baik dalam bentuk telemedicine maupun rekam medis lintas batas negara. Padahal, aspek digitalisasi ini sangat krusial untuk menjamin kesinambungan layanan pasien internasional, mulai dari pra-konsultasi hingga tindak lanjut pasca perawatan di negara asal.
Namun, di balik kelemahan itu terdapat peluang besar. Indonesia bisa mengembangkan Halal Medical Tourism untuk pasar Timur Tengah, paket homecoming healthcare untuk diaspora, hingga integrasi wellness tourism seperti spa herbal, jamu, yoga, dan tradisi penyembuhan lokal dengan layanan rumah sakit modern.
Langkah Strategis yang Dibutuhkan Indonesia!
Agar mampu menyaingi Thailand, Malaysia, dan Singapura, Indonesia perlu strategi lintas sektor yang menyatukan pemerintah, universitas, rumah sakit, dan industri pariwisata. Beberapa langkah kunci antara lain:
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai destinasi health tourism yang kompetitif, pemerintah perlu menyusun National Health Tourism Roadmap yang terintegrasi lintas sektor. Peta jalan ini harus dilengkapi dengan insentif fiskal bagi rumah sakit yang mengembangkan layanan internasional, serta investasi besar dalam infrastruktur pendukung, mulai dari bandara yang ramah wisata medis, transportasi medis yang terstandar, hingga penguatan sistem digital health. Rumah sakit besar di Jakarta, Bali, dan Yogyakarta harus menjadi pionir dengan membangun International Patient Department yang dilengkapi staf multibahasa, interpreter profesional, dan layanan concierge 24 jam, sehingga pasien internasional merasa nyaman sepanjang perjalanan medisnya.
Selain itu, universitas terkemuka seperti UMY, UGM, UI, dan UNAIR harus mengintegrasikan pendidikan kedokteran dengan layanan klinis sekaligus riset inovasi, meniru namun juga memodifikasi model Medipol agar sesuai konteks Indonesia. Branding nasional juga penting untuk dibangun melalui kampanye global seperti “Healthy Indonesia: Where Culture Meets Care” yang menekankan kombinasi kualitas medis, keramahtamahan budaya, dan keindahan alam nusantara. Agar strategi ini menjangkau lebih luas, kantor perwakilan internasional harus didirikan di pasar potensial—Timur Tengah, ASEAN, hingga Australia—sehingga Indonesia tidak hanya menunggu pasien datang, tetapi aktif hadir di tengah calon pasien sebagaimana yang dilakukan Medipol di berbagai negara.
Jika langkah-langkah ini ditempuh, Indonesia bukan hanya akan menghentikan arus devisa keluar karena pasien domestik berobat ke luar negeri, tetapi juga berpeluang menjadi destinasi wisata kesehatan global.
Penutup: Pesan dari Turki untuk Indonesia
Kisah sukses Medipol di Turki memberi kita satu pelajaran penting: wisata kesehatan tidak hanya soal biaya murah, tetapi tentang menciptakan ekosistem layanan yang holistik, terintegrasi, dan berpusat pada pasien.
Indonesia punya semua modal untuk itu—populasi besar, biaya medis kompetitif, budaya yang kaya, bahkan destinasi wisata mendunia. Yang dibutuhkan hanyalah visi bersama, keberanian berinovasi, dan komitmen jangka panjang.
Bayangkan jika kelak Indonesia dikenal dunia bukan hanya karena Bali atau Borobudur, tetapi juga sebagai pusat wisata kesehatan internasional, tempat orang datang bukan hanya untuk berobat, tetapi untuk sembuh dalam pelukan budaya, keramahan, dan keindahan alam Nusantara.
Referensi :
- Berwick, D. M., Nolan, T. W., & Whittington, J. (2008). The Triple Aim: Care, health, and cost. Health Affairs, 27(3), 759–769.
- Bookman, M. Z., & Bookman, K. R. (2007). Medical tourism in developing countries. Palgrave Macmillan.
- Connell, J. (2013). Medical tourism. CABI.
- Donabedian, A. (1980). Explorations in quality assessment and monitoring: Vol. 1. The definition of quality and approaches to its assessment. Health Administration Press.
- Hanefeld, J., Horsfall, D., Lunt, N., & Smith, R. (2014). Medical tourism: A cost or benefit to the NHS? PLOS ONE, 9(10), e111343.
- Joint Commission International (JCI). (2023). Accreditation standards for hospitals. Joint Commission Resources.
- Kaya, S., & Yıldırım, H. H. (2020). Health transformation and medical tourism in Turkey. Journal of Health Management, 22(2), 236–249.
- Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
- Kotler, P., Shalowitz, J., & Stevens, R. J. (2017). Strategic marketing for health care organizations: Building a customer-driven health system. John Wiley & Sons.
- Lee, H., & Kim, M. (2019). The convergence of hospitality and healthcare: Service innovation in medical tourism. Journal of Service Management, 30(3), 361–379.
- Medipol Health Group. (2023). International patient services. Medipol University Hospitals. https://www.medipol.com.tr
- Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2019). Health at a glance 2019: OECD indicators. OECD Publishing.
- Özdemir, A., Şantaş, F., & Şantaş, G. (2021). Health tourism policies in Turkey: Achievements and future challenges. International Journal of Health Planning and Management, 36(2), 397–412.
- Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1985). A conceptual model of service quality and its implications for future research. Journal of Marketing, 49(4), 41–50.
- Porter, M. E. (2010). What is value in health care? The New England Journal of Medicine, 363(26), 2477–2481.
- Smith, R., Álvarez, M. M., & Chanda, R. (2018). Medical tourism: A review of the literature and analysis of a role for bi-lateral trade in services. Health Policy, 122(12), 1275–1282.
- Turkish Ministry of Health. (2023). Health tourism statistics 2023. Republic of Turkey Ministry of Health. https://www.saglik.gov.tr
- World Health Organization (WHO). (2018). Medical tourism: Time for a check-up? World Health Organization.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
