Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Delky Nofrizal Qutni

Dilema Koperasi Merah Putih, Dari Sokoguru Jadi Papan Nama

Bisnis | 2025-08-24 22:23:29

KOPERASI selalu dipuja sebagai anak sah Bung Hatta, sokoguru ekonomi rakyat. Tetapi seperti banyak anak sah dalam keluarga politik, ia sering diperlakukan bak anak tiri. Dielu-elukan di pidato, dimandikan jargon di baliho, lalu ditelantarkan di lapangan. Kini, dalam format “Merah Putih”, koperasi kembali dimasukkan ke ruang inkubator birokrasi berjumlah 80.081 unit lahir serentak pada 21 Juli 2025. Angka yang seakan lebih cocok dipamerkan di pesta demokrasi ketimbang dalam laporan keuangan desa.

Bahaya terbesar dari koperasi massal ini adalah transformasinya menjadi sekadar “koperasi papan nama”. Kita sudah akrab dengan fenomena ini tentang koperasi yang hanya hidup di kertas laporan, punya pengurus tapi tak punya kegiatan, punya rekening tapi tak punya transaksi. Seperti kantor desa dengan papan berdebu, eksis hanya untuk menyenangkan mata auditor. Kalau koperasi Merah Putih bernasib sama, maka sejarah akan mencatat bahwa gotong royong pernah dijadikan proyek serentak, lalu karam serentak.

Politik tentu ikut bermain apalagi menyangkut modal besar hingga Rp3 milyar bisa digelontorkan untuk setiap koperasi. Sebagai contoh, dengan modal Rp30 juta per koperasi seperti yang dilakukan Pemkot Depok, potensi penyalahgunaan terbuka lebar. Dana bisa menguap untuk biaya seremoni, spanduk, atau bahkan masuk kantong elite lokal yang lihai memainkan “koperasi keluarga”. Regulasi pun kerap tumpang tindih dimana Kementerian Koperasi bicara pemberdayaan, Kementerian Desa bicara dana desa, pemerintah daerah bicara program padat karya dan semua merasa punya hak mengatur, tapi tak ada yang mau bertanggung jawab saat koperasi kolaps.

Risiko politiknya lebih jauh dimana koperasi bisa berubah jadi alat konsolidasi kekuasaan yang dijadikan kanal distribusi dana menjelang pemilu lokal, semacam ATM politik yang sahih secara hukum tapi busuk secara moral. Kita tahu praktik ini sudah lama hidup dalam bentuk lain berupa bantuan pupuk, bansos, hingga proyek padat karya. Kini koperasi hanya ganti kulit, dengan tambahan label “Merah Putih” agar terdengar patriotik.

Ekonomi desa pun bisa terjebak dalam lingkaran setan. Bukannya menguat, warga malah makin bergantung pada dana pemerintah. Alih-alih melahirkan kemandirian, koperasi massal berisiko mencetak “mental birokrasi” di akar rumput yang menunggu instruksi, menunggu transfer, menunggu proyek. Gotong royong yang dulu organik berubah jadi administrasi yang disulap dari jiwa menjadi formulir.

Padahal data sudah jelas bahwa koperasi yang bertahan adalah yang lahir dari kebutuhan nyata. Koperasi petani yang menjaga harga gabah, koperasi nelayan yang mengatur distribusi ikan, koperasi simpan-pinjam yang menopang ekonomi ibu-ibu pasar. Mereka tidak lahir dari seremoni, melainkan dari kelaparan, dari tengkulak, dari rentenir. Mereka bukan angka yang digembar-gemborkan di televisi, melainkan nafas hidup ekonomi lokal.

Dilema Koperasi Merah Putih terletak di sini, antara menjadi mesin kemandirian atau sekadar etalase politik. Jika gagal, maka akan masuk museum program gagal bersama Inpres Desa Tertinggal dan Kredit Usaha Tani era 80-an yang hanya tinggal prasasti, hilang fungsi.

Kalau serius, pemerintah harus siap menanggung risiko politik yang lebih sulit yakni bukan hanya meluncurkan koperasi, tapi juga mengaudit, menindak, bahkan membubarkan koperasi palsu. Harus berani melawan elite lokal yang menjadikan koperasi sebagai sapi perah. Dan yang terpenting, memberi ruang bagi rakyat untuk mengelola koperasi mereka tanpa instruksi seragam.

Sebab koperasi bukan kembang api birokrasi, namun mestinya kompor di dapur rakyat yang mendidihkan air, menanak nasi, menghidupi keluarga. Jika pemerintah hanya sibuk membuat pesta kembang api, yang tersisa hanyalah asap belaka.

Penulis : Delky Nofrizal Qutni (Ketua Aceh Kreatif)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image