Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image inda gayatri

WNI Sejahtera, Mitos atau Fakta?

Agama | 2025-08-24 20:26:36

Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani menyebut kesejahteraan rakyat Indonesia meningkat setelah data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan jumlah orang miskin dan kemiskinan. Data dari BPS menyatakan jumlah penduduk miskin per Maret 2025 turun 1,37 juta orang dibandingkan Maret 2024. ( Cnnindonesia.com , 29 Juli 2025)

Perbedaan Data: BPS vs Bank Dunia

Meski angka kemiskinannya dianggap menurun, Bank Dunia malah menghadirkan data yang berbeda. Jumlah penduduk miskin di Indonesia versi Bank Dunia melonjak menjadi 194,6 juta jiwa setelah lembaga memperbarui garis kemiskinan global menggunakan standar Purchasing Power Parities (PPP) 2021. ( Kompas.com , 21/7/2025)

Dengan kata lain, lebih dari 60,3 % penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan berdasarkan standar global (USD 6,85/hari PPP). Perbedaan kesimpulan terjadi karena BPS menerapkan metodologi Biaya Kebutuhan Dasar (CBN) sesuai konteks lokal, sehingga menghasilkan angka yang jauh lebih rendah (8–9%).

Standar kemiskinan BPS memang hanya menghitung garis kemiskinan berdasarkan Biaya Kebutuhan Dasar (CBN) —yaitu kebutuhan kalori minimum (±2.100 kkal per orang per hari) + kebutuhan non-makanan dasar.

Masalahnya, BPS menggunakan harga survei versi minimum (sering harga di desa atau pasar murah), bukan harga nyata di kota.

Logika Standar Kemiskinan

Angka garis kemiskinan nasional Maret 2025 dinyatakan Rp 20.000 per orang per hari. Artinya, kalau pengeluaran per orang lebih dari Rp 20 ribu , menurut BPS, secara statistik “tidak miskin” — meskipun kenyataannya pas-pasan dan mega-megap.

Logika ini membuat banyak orang “naik kelas” di data, tapi kehidupan nyatanya tetap sulit. Oleh karena itu, kalau kita menghitung fakta di lapangan akan kita dapatkan bahwa makan seadanya untuk keluarga 4 orang saja sudah habis Rp 30–40 ribu per hari. Itu baru makan sederhana, tanpa susu, buah, atau lauk hewani.

Belum ditambah listrik, gas, transportasi, sekolah, yang jelas tidak ada sisa untuk tabungan atau simpanan darurat.

Inilah sebabnya Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan per Juni 2025 adalah US$3,00 per orang per hari untuk garis kemiskinan internasional (miskin ekstrem), US$4,20 untuk negara-negara yang tinggi ke bawah, dan US$8,30 untuk negara-negara yang tinggi ke atas, seperti Indonesia. Revisi ini dilakukan karena penggunaan baru Paritas Daya Beli (PPP) 2021 menggantikan PPP 2017, sehingga menghasilkan angka kemiskinan yang lebih tinggi secara global. yang jauh lebih realistis untuk mengukur “miskin” dalam konteks kebutuhan hidup layak global. Kalau memakai standar itu, memang benar 60% lebih rakyat Indonesia masuk kategori miskin atau rentan miskin.

Inilah yang digunakan atik ala pemerintah untuk memoles angka kemiskinan agar terlihat lebih 'indah' di laporan. Padahal, fakta di lapangan bahwa daya beli rakyat semakin bebas.

Efek Utak Atik Angka Kemiskinan

Perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia vs BPS yang sangat jauh, yakni hingga delapan kali lipat, memiliki dampak yang sangat besar dalam pengambilan kebijakan. Terutama terhadap kehidupan rakyat, efek buruknya bisa berdampak hingga generasigenerasi berikutnya.

Masyarakat jadi “terlihat” lebih sejahtera di data, namun tetap sengsara dalam kenyataan. Pemerintah bisa mengklaim kemiskinan menurun karena patokan garis kemiskinannya rendah. Padahal, kebutuhan hidup riil jauh di atas itu. Jadi, yang di data “tidak miskin”, pada kenyataannya masih ngos-ngosan bayar listrik, makan seadanya, dan tidak punya dana darurat.

Kedua, kebijakan sosial jadi kurang tepat sasaran. Kalau kemiskinan data terlalu optimal, bantuan sosial (bansos) bisa dikurangi atau salah sasaran. Akhirnya, banyak keluarga “miskin tapi tidak dianggap miskin” yang tidak dapat bantuan, padahal hidup mereka sudah di titik pas-pasan.

Ketiga, rakyat kehilangan kepercayaan. Saat data resmi mengatakan “kehidupan membaik” tapi perut lapar, rasa marah dan tidak percaya pada pemerintah semakin besar. Hal ini dapat memicu gelombang protes atau apatisme politik.

Keempat, bonus demografi 2030 bisa berubah menjadi “bencana demografi”. Kalau 60% usia produktif tidak punya pekerjaan layak, malah jadi beban sosial. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga kekurangan gizi, pendidikan terbatas, dan tekanan mental akan sulit bersaing di pasar kerja global.

Kelima, jalan ekonomi rakyat di tempat. Uang habis untuk bertahan hidup, bukan investasi atau pengembangan usaha. Siklus kemiskinan terus berputar karena tidak ada ruang untuk berkembang.

Islam Menyejahterakan

Allah SWT mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Maka, Islam menjamin menyediakan setiap kebutuhan rakyat baik itu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan juga keamanan. Dari mana dananya? Islam memiliki berbagai pos pemasukan dalam kas baitul mal. Salah satunya, pengelolaan sumber daya alam.

Kalau kita perhatikan, Allah menganugerahi kita sumber daya alam yang luar biasa berlimpah. Di dalam perut bumi, di laut, di darat. Semuanya Allah ciptakan untuk manusia. Maka, Islam melarang negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam pada asing atau aseng. SDA harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Sementara para lelaki difasilitasi dengan keterampilan dan juga lapangan pekerjaan agar bisa menunaikan kewajibannya mencari nafkah.

Penerapan Islam pun dipromosikan oleh pemerintah apakah sesuai dengan data atau berbeda. serupa blusukan yang sering dilakukan oleh Umar bin Khattab. Beliau menemukan ibu yang merebus batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Kemudian, beliau membawakan gandum dan daging dari baitul mal. Dan kisah lainnya.

Inilah sempurnanya Islam mengurusi urusan rakyatnya. Bukan fokus mengutak-atik data dan angka tapi fakta di lapangan.

Wallahu'alam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image