Solidaritas Standar Sepeda Motor
Gaya Hidup | 2025-08-24 16:57:23
Standar sepeda motor itu kecil. Letaknya di bawah, selalu diinjak, jarang sekali tersentuh tangan. Nasibnya memang agak hina, karena ia jarang dianggap bagian penting dari tubuh motor. Kalau spion pecah, kita panik. Kalau knalpot berkarat, kita buru-buru poles. Tapi kalau standar bengkok, paling-paling kita cuma menahan motor dengan tembok tetangga.
Namun justru dari yang kecil dan “hina” itulah sepeda motor bisa tegak. Tanpa standar, kita repot bukan main. Bayangkan kalau pabrik motor lupa memasang standar, maka kita harus jadi satpam motor kita sendiri: menjaga siang malam agar jangan roboh. Kita pun mungkin akan menumpang pagar tetangga, atau lebih parah lagi—numpang di pagar rumah pejabat yang justru sudah menumpang fasilitas negara.
Kalau kita mau belajar sedikit saja dari standar sepeda motor, hidup ini lebih gampang dipahami. Standar itu sadar diri: ia tahu posisinya paling bawah, tapi juga tahu fungsinya menyelamatkan. Ia tidak iri kepada setang, tidak cemburu kepada ban, tidak ingin jadi knalpot. Ia hanya menjalankan tugasnya: menegakkan, menopang, menyelamatkan.
Coba bayangkan kalau seluruh rakyat dan pejabat negeri ini bersedia meniru kesadaran sederhana standar motor. Kita sadar posisi, sadar fungsi, sadar batas wewenang. Maka tidak akan ada rebutan kursi, tidak ada potong-memotong anggaran, tidak ada cakar-mencakar dalam rapat paripurna. Kita pun tidak perlu menyiapkan “double standar” untuk menegakkan kendaraan bangsa ini.
Tapi begitulah kita. Seringkali orang lebih suka jadi spion yang bisa bergaya, atau knalpot yang suaranya keras. Padahal kalau tidak ada standar, semua itu roboh. Tukang sapu jalanan, ibu yang menyiapkan sarapan, satpam yang berjaga malam—mereka semua adalah “standar-standar kehidupan”. Mereka menyangga agar kita bisa berdiri. Mereka menanggung “hina” kaki kita, tetapi tanpa mereka, kita jatuh.
Sayangnya, di negeri ini kadang yang disanjung justru pejabat yang rajin memamerkan dirinya, sementara tukang sapu dipanggil “Pak Sapu” dengan nada merendahkan. Padahal bisa jadi di sisi Allah, tukang sapu lebih mulia ketimbang seorang menteri. Qur’an jelas mengatakan: “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Nah, kalau ukurannya takwa, jangan-jangan yang tiap hari mengangkat sampah dosa kita itulah yang lebih terhormat.
Kadang saya geli kalau di masjid lihat jamaah begitu disiplin lurus saf, tapi giliran parkir motor kacau balau, standar motor lupa dilipat. Seakan-akan Allah hanya dilihat di dalam masjid, sementara di halaman masjid kita lebih takut tukang parkir daripada takut Allah. Ini penyakit kita: shalat khusyuk, tapi hati masih semrawut.
Kalau standar motor saja bisa membuat kita selamat dari celaka di jalan, kenapa kita tidak meniru kesadarannya? Kenapa kita tidak mau dilipat ego kita ketika orang lain menegur? Kita sering marah kalau ditegur, padahal saat naik motor dan orang teriak, “Mas, standarnya!” kita justru cepat-cepat melipat tanpa marah. Bahkan dalam hati, kita berterima kasih. Mengapa dalam kehidupan sosial kita tak berlaku hal yang sama?
Bayangkan kalau staf kantor bisa menegur pimpinannya dengan tenang: “Pak, ini hari Minggu, jangan pakai mobil dinas ya.” Atau: “Pak, honor jangan dipotong, itu hak orang lain.” Lalu sang pimpinan menjawab dengan rendah hati: “Terima kasih, Anda sudah mengingatkan saya.” Bukankah itu indah? Sayang, yang sering terjadi justru sebaliknya: staf yang menegur malah dipindahkan ke gudang arsip.
Kita sebetulnya hanya butuh satu kesadaran: melipat standar egoisme, standar keserakahan, standar keangkuhan. Dengan melipat standar itu, bangsa ini akan tegak. Tidak ada pertengkaran yang sia-sia, tidak ada dendam berkepanjangan, tidak ada saling jegal. Kita bisa saling menyelamatkan, saling menegakkan.
Coba kita bercermin pada Qur’an. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, ia tidak berterima kasih kepada Allah.” Jadi kalau Anda tidak pernah mengucap terima kasih kepada tukang sapu, satpam, atau ibu yang menyiapkan sarapan, bagaimana mungkin Anda berani bilang sedang berterima kasih kepada Allah?
Maka jangan remehkan hal-hal kecil. Standar sepeda motor saja bisa membuat Anda selamat dari kecelakaan. Bagaimana dengan manusia-manusia standar yang menopang hidup Anda? Tukang sapu, ibu di dapur, satpam malam. Mereka lebih besar dari standar motor: mereka menyangga agar kita tidak roboh.
Kalau standar motor punya kesadaran sosial, kenapa kita—yang katanya punya akal dan iman—malah sering lebih hina darinya? Jangan-jangan di akhirat kelak, barisan pertama yang masuk surga bukanlah pejabat berjas, tapi tukang sapu yang saban pagi menyingkirkan dosa-dosa kecil kita yang berserakan di jalan.
Maka mari kita belajar dari standar kecil di bawah motor kita. Ia rela diinjak, tapi tak pernah berhenti menopang. Ia tak butuh nama di baliho, tak pernah ikut rapat anggaran, tapi jasanya menyelamatkan kita setiap hari.
Ya Allah, jadikan kami standar-standar kecil yang Kau rahmati. Biarkan kami hina di mata manusia, asal tegak di hadapan-Mu.
Biarkan kami dipandang sepele di jalanan, asal Engkau pandang mulia di langit-Mu.
Karena sejatinya, manusia tidak roboh oleh kurangnya panggung, tapi roboh karena kehilangan kesadaran: bahwa tanpa yang kecil dan rendah, yang besar tak akan pernah bisa berdiri.**
Jl.Swadaya – Palembang, 8 Okt 2009
Catatan :
Tulisan ini sudah direvisi ulang pada 16 Agustus 2025 di Ponpes Laa Roiba Muaarenim, dari aslinya yang ditulis pada 8 Oktober 2009, tanpa mengurangi esensi dan maknanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
