Budiarto dan Masa Depan General Aviation Indonesia: Menata Airspace, ATM, dan Ekosistem GA
Bisnis | 2025-08-20 08:15:44
Ruang udara di atas Jakarta selalu padat. Ribuan pergerakan pesawat setiap harinya masuk dan keluar Soekarno-Hatta, ditambah aktivitas di Halim, membuat wilayah udara Tangerang–Jakarta menjadi salah satu ruang udara tersibuk di Asia Tenggara. Di sela-sela kepadatan itu, ada sebuah bandara di Curug, Tangerang, bernama Budiarto. Bandara ini selama puluhan tahun menjadi rumah bagi pesawat latih, terutama dari Politeknik Penerbangan Indonesia Curug.
Namun, pertanyaannya: apakah Budiarto akan selamanya hanya menjadi lapangan terbang untuk pelatihan dasar, ataukah ia bisa disulap menjadi pusat General Aviation (GA) nasional—sebuah ekosistem yang melahirkan pilot, merawat pesawat, melayani jet pribadi, dan mungkin menjadi laboratorium urban air mobility masa depan?
Untuk menjawab itu, kita perlu menelusuri tiga elemen kunci: airspace, air traffic management (ATM), dan ekosistem GA itu sendiri.
General Aviation
General Aviation sering dipandang sebelah mata. Publik lebih mengenal maskapai besar, pesawat komersial, dan terminal bandara modern. Padahal, di banyak negara maju, GA adalah “akar” yang menopang industri penerbangan.
Di Amerika Serikat, lebih dari 90% pilot sipil memulai kariernya di GA. Ribuan bandara kecil tersebar, melayani penerbangan latih, kargo ringan, hingga jet eksekutif. Kanada pun demikian: seaplane base di Vancouver dan Victoria bukan hanya atraksi turis, tetapi bagian integral mobilitas dan logistik.
Indonesia justru masih “kering” dalam hal ekosistem GA. Bandara untuk pesawat kecil terbatas, sekolah penerbangan harus berebut ruang udara, dan fasilitas MRO (maintenance, repair, overhaul) GA nyaris belum terintegrasi. Inilah mengapa Budiarto punya potensi unik: ia berada di jantung metropolitan, dekat pusat ekonomi, tetapi tidak sebesar Soekarno-Hatta sehingga bisa fleksibel untuk eksperimen GA.
Tantangan Airspace
Bayangkan sebuah hari biasa di Budiarto. Pesawat Cessna 172 baru saja lining up di runway untuk latihan touch-and-go. Pada saat bersamaan, di ketinggian 3.000 kaki, sebuah Boeing 777 dalam fase arrival menuju Soekarno-Hatta sedang melewati sektor yang sama.
Inilah tantangan utama: airspace Tangerang–Jakarta sudah sangat padat. Pesawat GA yang terbang VFR (visual flight rules) harus berbagi ruang dengan pesawat komersial IFR (instrument flight rules). Konflik ini bukan sekadar teknis, tapi menyangkut keselamatan.
Solusi jangka panjang adalah segregasi ruang udara. Caranya antara lain:
- Menetapkan training box khusus di sekitar Budiarto untuk pesawat latih.
- Menggunakan konsep dynamic airspace management—ruang udara bisa dialihkan penggunaannya tergantung intensitas lalu lintas.
- Menyiapkan koridor tetap untuk arrival dan departure GA agar tidak tumpang tindih dengan jalur utama Soetta.
Airspace bisa diibaratkan jalan raya. Jika Soekarno-Hatta adalah tol utama dengan truk-truk besar, maka Budiarto membutuhkan jalur arteri khusus untuk mobil kecil. Tanpa jalur terpisah, risiko tabrakan dan kemacetan tak terhindarkan.
Air Traffic Management
Di menara kontrol, beban kerja pemandu lalu lintas udara (ATC) sangat tinggi. Mereka harus menangani dua dunia yang berbeda: Pesawat besar Soetta yang mengikuti IFR dengan prosedur presisi, dan Pesawat kecil Budiarto yang hanya mengandalkan VFR dengan panduan visual.
Kedua sistem ini pada dasarnya tidak kompatibel. Namun, teknologi bisa menjembatani. Ada beberapa langkah yang bisa diambil:
- ADS-B Mandatory untuk GA: Semua pesawat GA, sekecil apa pun, wajib dipasang transponder ADS-B. Dengan begitu, ATC bisa memonitor mereka di radar dengan akurat.
- GA ATC Coordinator: Dibentuk unit khusus di ATC yang mengatur koordinasi antara IFR traffic Soetta dan VFR traffic Budiarto. Hal ini sudah dipraktikkan di beberapa bandara sekunder di Eropa.
- Digital/Remote Tower: Budiarto bisa menjadi pionir penerapan remote tower di Indonesia. Dengan kamera resolusi tinggi, menara virtual bisa memberikan pelayanan ATC yang fleksibel, bahkan dikelola terintegrasi dengan pusat ATC Soetta.
Narasi ini bukan sekadar teknis. Bayangkan jika pesawat latih Cessna bisa terlihat jelas di layar radar dengan identitas digitalnya, lalu ATC Soetta bisa langsung memberi “jalur aman” tanpa perlu komunikasi panjang. Integrasi semacam ini bukan hanya meningkatkan keselamatan, tapi juga efisiensi.
Ekosistem GA: Dari Flight School ke Jet Eksekutif
Hari ini, Budiarto lebih banyak dipenuhi oleh pesawat latih. Namun bayangkan jika ekosistem GA di sana berkembang penuh:
- Flight School Hub: Budiarto bisa menjadi pusat pelatihan pilot nasional. Dengan fasilitas asrama, simulator, dan training box udara yang aman, ia bisa meluluskan ribuan pilot untuk maskapai dalam negeri dan luar negeri.
- Fixed Base Operator (FBO): Layani private jet domestik dan internasional. Lokasinya dekat dengan Jakarta, tetapi lebih efisien daripada harus masuk ke Soekarno-Hatta atau Halim
- MRO Cluster: Hangar-hangar untuk perawatan pesawat kecil bisa tumbuh di sekitar Budiarto. Saat ini, pemilik pesawat GA sering kesulitan mencari MRO bersertifikasi.
- Urban Air Mobility (UAM) Testbed: Budiarto bisa menjadi laboratorium eVTOL. Bayangkan di tahun 2035, penumpang bisa naik taksi udara listrik dari Budiarto ke Sudirman dalam 15 menit.
Semua itu tentu butuh dukungan infrastruktur: runway yang diperpanjang, apron diperluas, taxiway diperbaiki, dan sistem navigasi modern.
Regulasi dan Tata Kelola
Ekosistem GA tidak bisa hidup tanpa kerangka regulasi yang adaptif. Saat ini, tarif navigasi di Indonesia cenderung seragam—pesawat kecil membayar dengan skema hampir sama dengan pesawat besar. Ini jelas membebani sekolah penerbangan.
Solusinya adalah tarif diferensiasi. Sekolah penerbangan, pesawat latih, dan penerbangan sosial seharusnya mendapat keringanan. Sebaliknya, jet pribadi komersial bisa dikenakan tarif lebih tinggi.
Selain itu, tata kelola slot juga perlu fleksibel. Jika maskapai beroperasi seperti bus kota dengan jadwal tetap, maka GA harus diberi fleksibilitas seperti taksi.
Proyeksi Operasional
Mari kita membayangkan skenario Indonesia Emas 2045.
- Airspace: Tangerang memiliki training box modern, terintegrasi dengan Soetta melalui dynamic ATM.
- ATM: Semua pesawat GA sudah berbasis ADS-B, remote tower mengelola lalu lintas dengan efisien.
- Ekosistem: Budiarto meluluskan 1.000 pilot per tahun, menjadi hub private jet Asia Tenggara, dan menjadi pusat UAM Indonesia.
Operasional harian bisa mencapai 200 movements per day, terdiri dari pesawat latih, private jet, dan uji coba eVTOL. Ini angka realistis jika manajemen airspace dan ATM dilakukan dengan baik.
Penutup
Budiarto sering disebut hanya sebagai “bandara latih.” Namun, dengan visi strategis, ia bisa menjadi ikon penerbangan masa depan Indonesia.
Di satu sisi, ia menjaga akar: melatih pilot, mengasah kemampuan dasar penerbangan. Di sisi lain, ia bisa melompat ke masa depan: private jet hub, MRO cluster, hingga urban air mobility.
Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menata ulang airspace, modernisasi ATM, dan membangun ekosistem GA yang terintegrasi. Jika ini terwujud, Budiarto tidak hanya menjadi kebanggaan Tangerang, tetapi juga pintu gerbang Indonesia menuju era penerbangan baru.
Seperti pepatah di dunia penerbangan: “A good pilot is always learning.” Begitu pula bangsa ini—selalu belajar, selalu menyesuaikan, dan selalu siap terbang lebih tinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
