Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Dzikri Alifian Noor Efendi

Merangkai Tawa dari Kepingan Takdir dalam Blueprint Arsitektur Iman

Dunia islam | 2025-08-13 17:26:37

Merangkai Tawa dari Kepingan Takdir dalam Blueprint Arsitektur Iman

Pendahuluan

Mungkin kita sering merasakan, di tengah kesibukan dunia yang katanya serba maju ini, rasanya kita semakin sulit menemukan arti kebahagiaan, rasanya kita disuruh mengejar gadget terbaru, liburan paling hits, atau kesuksesan yang diukur dari seberapa tebal dompet. Tapi anehnya, di balik semua kesenangan itu, kita seakan makin jauh dari apa yang ingin kita tuju. Sampai kita sadar, bahwa peta yang selama ini kita pakai seakan tak ada ujungnya, dan mempertanyakan apakah selama ini kita sudah merasakan kebahagiaan.

kebahagiaan itu bukan sekedar soal senang, tapi juga memberikan kita sebuah makna tersirat dari setiap Langkah yang kita pijakkan, sebuah blueprint yang terukir dari fondasi spiritual. Dari sini kita akan lebih mendalamai ke dalam peta itu. Kita akan coba pahami bersama fondasi utamanya, sehingga kita dapat sadar mana yang Bahagia dan mana yang sekedar gembira. Hingga kita dapat meresapi makna takdir, ridho, syukur, dan sabar. Tujuannya cuma satu: merangkai tawa sejati dari setiap kepingan takdir yang diberikan oleh Allah.

Langkah yang membuat kita merasakan arti kehidupan

Apa yang anda rasakan Ketika anda pertamakali menerima hadiah ulang tahun dari keluarga? Apa yang anda rasakan Ketika mendapatkan gaji pertama anda dalam pekerjaan? Sama halnya apa yang anda rasakan Ketika dapat nerkumpul dengan sanak keluarga Ketika hari raya? Secara sekilas kia mungkin mempunyai perasaan yang sama atas jawaban dari pertanyaan diatas.

Secara sederhana kehidupan manusia pasti diwarnai dengan emosi, dengan nya kita dapat merasakan lika liku kehidupan yang mana tanpanya hidup seakan hambar layaknya teh celup tanpa gula. Emosi seakan mesin industri pabrik yang mana ia bekerja apabila kita berikan input, dan akan menghasilkan feedback berdasarkan input apa yang kita berikan dan bagaimana proses didalam mesin tersebut berjalan. Emosi akan memberikan timbal balik dari apa yang kita terima dari luar tubuh kita. Emosi juga bersifat subjektif, artinya setiap orang bisa mengalami emosi yang sama dengan intensitas atau cara yang berbeda.

Menurut Aristoteles, emosi adalah respons rasional yang terkait dengan keyakinan kita tentang dunia. Secara umum, emosi adalah reaksi kompleks dari tubuh dan pikiran terhadap suatu. Dalam filsafat, Emosi dianggap bukan hanya sebagai respons biologis, tetapi sebagai bentuk penilaian (judgment) terhadap dunia. Misalnya, perasaan takut bukanlah sekadar respons otomatis terhadap seekor singa, tetapi juga merupakan hasil dari penilaian bahwa "singa ini berbahaya bagiku."

Dari beberapa argument diatas, kita sekarang mungkin mempertanyakan, apakah selama ini kita sudah Bahagia? Apakah makna dari kebahagiaan dalam kehidupan manusia? Dan mungkin kita pernah merasakan Bahagia tapi dalam kondisi yang susah.

Alhasil akal kita berkata “apakah semua yang kita capai selama kita hidup ini bisa disebut Bahagia, atau hanya sekedar gembira/senang?

Untuk membangun rumah kebahagiaan, pondasi pertama yang tepat kita kuasai adalah “membedakan dua perasaan yang kadang kita anggap sama: gembira dan bahagia”. Bayangkan aja gembira itu seperti minum soda dan Effects dari gula yang masuk ke dalam darah tepat setelah soda masuk ke dalam lambung kita. Senang, manis, bersemangat tapi percayalah, itu sesuatu yang cepat hilang dan justru mengakibatkan “rasa lapar” yang bertambah tinggi. Lalu bagaimana dengan kebahagiaan?

Temporalitas dan Fluktuatif

Tolak ukur yang bisa membedakan antara kebahagiaan dan gembira/senang yang mana mungkin kita rasakan tapi seringkali tidak kita sadari adalah temporalitas dan fluktuatif. Kondisi dimana esensi emosi itu bergantung kepada kondisi eksternal dari tubuh kita dan terkadang memiliki lembah yang sangat dalam diantara dua kondisi ekstenal tersebut. Dengan fundamental ini kita selangkah dapat membedakan antara kebahagiaan dan gembira.

Gembira itu cuma bersifat temporal, tergantung kita dapat stimulus kebahagiaan luar atau enggak. Saat kita pertamakali mendapatkan hadiah ulang tahun dari keluarga kita pasti akan merasa senang, tapi berbeda dengan kita diberi hadiah saat ulang tahun diumur kita yang ke 20, mungkin kita merasakan biasa saja saat menerima hadiah tersebut. Sama halnya Ketika kita pertama kali memiliki Iphone, jangankan layarnya tergores, debu yang menempel di body HP kita saja langsung kita bersihkan, tetapi berbeda Ketika Iphone telah mempunyai seri seri terbaru, bahkan kita sudah biasa melihat layar Iphone kita yang terkena lecet. Fundamental inilah yang sering kita tidak sadari yangmana dapat membedakan antara gembira dan Bahagia.

Sebuah artikel menjelaskan, hedonic treadmill merupakan suatu proses di mana individu pasca merasakan suatu sesuatu menyenangkan akan kembali merasakan kebahagiaan dasar. “Sebagai contoh, seseorang yang membeli sesuatu yang selama ini dia inginkan, mungkin kita merasakan senang, terbahak-bahak untuk waktu yang sangat singkat. Namun seiring berjalannya waktu ternyata kebahagiaan itu kembali ke keadaan dasar sebelum pembelian itu dilakukan,” (Sukabumi Update, 2023).

Gembira/senang tidak selalu dalam ranah positif

Beberapa pertanyaan yang telah saya ujarkan di awal pembahasan ini didominasi dengan sampel yang positif, tapi pada nyatanya suatu kegembiraan atau kesenangan itu tidak selalu didalam ranah yang positif. Mungkin anda pernah melihat ladang milik tetangga kita gersang dan disana kita merasa senang karena para pemborong akan memilih hasil ladang anda yang lebih subur. Mungkin juga kita pernah dalam perlombaan dan melihat musuh kita terluka dan membuat anda senang karena anda mempunyai peluang menang yang lebih besar.

Dalam ranah yang lain kesenangan dalam jangka pendek dapat memiliki konsekuensi yang merusak masa depan. Seseorang yang kecanduan narkoba atau judi merasakan kesenangan atau kenikmatan sementara, tetapi tindakan tersebut merusak kesehatan fisik, mental, finansial, dan hubungannya dengan orang lain secara permanen. Dalam sisi moral juga banyak kesenangan/kegembiraan yang terkadang melanggar nilai-nilai moral. Misalnya, seseorang mungkin merasa senang setelah berbohong untuk menghindari masalah atau mencuri untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam perspektif ini kesenangan bertentangan dengan nilai kebahagiaan yang selalu terukur dengan nilai positif

Memaknai Ridho dalam konteks Tuma’ninah

Kebahagiaan tidak bisa diambil dari taraf orang lain, jika orang lain Bahagia dengan mendapat istri kaya, belum tentu kita ikut Bahagia dengan patokan yang sama. Sehingga Islam mengembalikan makna dari kebahgiaan kepada individual seorang muslim itu sendiri yang terangkum dalam (طمأنينة) yaitu keadaan jiwa yang selalu dalam ketenangan, tidak meletup-letup dan diagram nya selalu stabil.

Keindahan Islam terletak pada konsep kebahagiaan nya. Kita sebagai muslim bahaagia itu merasa ridho atau menerima segala ketentuan apa yang kita terima, bahwa kita sudah berusaha ikhtiar dengan maksimal dan hasil yang diberikan itu dari allah yang insyaallah lebih baik untuk kita karena yang tau hasil nya hanya allah. “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra'd [13]: 28)

Ada kakek-kakek datang kepada seorang ustadz dan memberitahu kabar bahwa istri nya telah meninggal dunia, ia sangat teramat dalam kesedihan, lalu ustadz tersebut memberitahu kakek tersebut “wahai kakek mengapa engkau sedih, bukan kah seharusnya kamu bersukur istri kakek yang meninggal terlebih dahulu, bayangkan jika kakek yang dipanggil lebih dulu, apakah engkau bisa membayangkan sedihnya istri kakek karena kehilangan kakek, mungkin Allah memilih istri kakek terlebih dahulu karena Allah tahu kakek dapat lebih tabah menerima takdir tersebut daripada istri kakek. Dalam waktu singkat kakek tersebut bisa move on dari kesedihannya, padahal ustadz tersebut tidak memberikan apa-apa, apalagi memberi uang, tapi kakek tersebut dapat merubah pandangan hidupnya terhadap takdir yang telah menimpanya dengan lebih Bahagia.

Kebahagiaan sebagai alat bidik

kebahagian itu pada akhirya tentang bagaimana kamu membidik, melihat, menilai dan menyikapi terhadap sesuatu. karena kebahagian itu soal kedaulatan dalam diri kita, tidak ada pengaruh dari luar tubuh kita. “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Melalui analogi ini, kita menyadari bahwa setiap peristiwa hidup baik kecelakaan yang merugikan atau kesuksesan yang melimpah hanyalah bahan mentah. Alat bidik yang kita miliki, yaitu persepsi dan hati nurani, adalah yang menentukan output rasa kita. Kedaulatan kita terletak pada pilihan untuk mengarahkan bidikan. Kita bisa saja membidik pada kerugian dari sebuah kecelakaan, yang lantas menuntun kita pada kesedihan. Atau, kita bisa membidik pada sisi hikmah di baliknya, melihatnya sebagai teguran atau awal untuk berubah, yang pada akhirnya memicu rasa syukur dan kedamaian. Sama halnya dengan kesuksesan, jika kita membidiknya sebagai kebanggaan pribadi, ia bisa jadi jebakan yang justru membuat kita sengsara. Namun, jika kita membidiknya sebagai pemberian dari Allah SWT. ia akan menuntun kita pada rasa syukur yang tak berujung. Inilah mengapa kebahagiaan sejati tidak berasal dari apa yang kita dapatkan, melainkan dari cara kita mengolahnya dari dalam diri.

"Aku lebih suka apa yang terjadi pada diriku bukan apa yang aku kehendaki tapi apa yang jadi kehendak Allah, karena pasti kehendak Allah jauh lebih mulia dan indah dari kehendakku." -- Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image