Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nettyhera

Negara Pelindung Atau Pemangsa Harta Rakyat?

Politik | 2025-08-11 14:14:46
Tak sedikit rakyat yang menyimpan tabungan hasil kerja serabutan dalam rekening dengan saldo minim. Ketika uang tersebut tidak digunakan selama tiga bulan, bukan karena ditelantarkan, tetapi karena mereka menabung untuk kebutuhan tertentu. Apakah wajar bila negara ikut campur sejauh itu?

Oleh: Nettyhera, Pengamat Kebijakan Publik

Pemerintah kembali membuat publik bertanya-tanya tentang arah kebijakan negara terhadap warganya. Pernyataan mengejutkan datang dari Kementerian ATR/BPN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bahwa tanah yang tidak digunakan selama dua tahun akan disita, dan rekening bank yang tidak aktif selama tiga bulan akan diblokir. Meski diklaim demi kepentingan efisiensi dan pemanfaatan aset, kebijakan ini menuai kritik karena menyentuh hak milik individu secara langsung.

Bahkan, dalam laporan Fajar.co.id (28/07/2025), warganet menyampaikan kritik dengan gaya satire: “Kalau rekening nganggur diblokir, tanah nganggur disita, rakyat yang nganggur bertahun-tahun diapakan?!” Pertanyaan ini, meski sederhana, mencerminkan kekecewaan terhadap cara negara memperlakukan aset rakyat, seakan lupa bahwa rakyatlah subjek utama pembangunan, bukan sekadar obyek kebijakan fiskal.

Ironi Negara Predator

Dalam sistem demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia, negara memang mengklaim diri sebagai pengatur aset nasional, namun pada praktiknya perlindungan terhadap aset warga kecil sangat lemah. Dengan dalih percepatan pembangunan, tanah rakyat bisa diambil paksa atas nama “kemanfaatan”, sementara banyak tanah milik perusahaan besar justru dibiarkan tidak produktif tanpa tindakan.

Kementerian ATR/BPN, sebagaimana dilaporkan Tempo.co (25/7/2025), berdalih bahwa penyitaan tanah akan dilakukan bila tanah tersebut dianggap tidak termanfaatkan selama dua tahun. Sementara itu, OJK menyebut pemblokiran rekening tidur sebagai bagian dari “manajemen risiko”. Namun, apakah yang dikejar benar-benar efisiensi? Atau justru ini cerminan mentalitas negara sebagai predator terhadap sisa-sisa kepemilikan rakyat kecil?

Tak sedikit rakyat yang menyimpan tabungan hasil kerja serabutan dalam rekening dengan saldo minim. Ketika uang tersebut tidak digunakan selama tiga bulan, bukan karena ditelantarkan, tetapi karena mereka menabung untuk kebutuhan tertentu. Apakah wajar bila negara ikut campur sejauh itu?

Ketimpangan yang Meningkat

Kebijakan ini menjadi semakin tidak adil bila dibandingkan dengan kenyataan ketimpangan ekonomi di lapangan. Berdasarkan data BPS kuartal I 2025, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,45 juta jiwa, dan mayoritas dari mereka berasal dari lapisan masyarakat bawah. Di sisi lain, janji pemerintah untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja masih belum menunjukkan hasil signifikan (CNN Indonesia, 4/5/2025).

Tanah-tanah rakyat dianggap “nganggur” hanya karena belum diolah secara ekonomi, padahal bisa jadi mereka belum memiliki modal atau akses teknologi. Ironisnya, ribuan hektare tanah milik korporasi dan investor besar tidak disentuh aturan ini. Di sinilah negara tampak seperti mesin pengatur kepemilikan, namun hanya berlaku ke bawah, tidak ke atas.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023, sebagian besar konflik agraria terjadi karena negara mengalihkan tanah rakyat ke perusahaan swasta dan proyek infrastruktur strategis. Artinya, rakyat dipaksa melepas tanahnya, dan saat mereka tak mampu mengelola, negara hadir untuk mengambilnya kembali. Kebijakan yang sejatinya membuka jalan lebar untuk alihfungsi kepemilikan atas nama pembangunan.

Negara Melayani, Bukan Menguasai

Islam memiliki prinsip kepemilikan yang sangat jelas dan tegas. Dalam pandangan Islam, negara tidak boleh sewenang-wenang terhadap harta individu. Tanah, rekening, rumah, dan kekayaan pribadi lainnya adalah hak milik yang dijaga oleh syariat, bukan dijadikan target “optimalisasi aset negara”.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Barang siapa yang mengambil hak orang lain (secara tidak sah), maka dia akan datang pada hari kiamat dengan membawa dosa sebesar gunung.” (HR. Bukhari)

Dalam sejarah kekhilafahan Islam, tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun hanya bisa dicabut hak miliknya jika tanah itu diperoleh dengan cara menghidupkan tanah mati (ihya' al-mawat). Namun, bila tanah tersebut adalah warisan atau dibeli sah, negara tidak akan menyitanya meskipun tidak produktif. Sebab, Islam menghormati kepemilikan individu selama tidak melanggar hukum syara’.

Lebih jauh lagi, negara dalam Islam tidak hanya menjaga kepemilikan individu, tetapi juga membantu mereka untuk bisa mengelola asetnya secara optimal. Bila rakyat tidak mampu menggarap tanah, maka negara memberikan bantuan berupa bibit, alat, bahkan pekerja untuk membantunya.

Begitu pula terhadap pengangguran. Dalam sistem khilafah, negara bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja atau memberikan nafkah dari baitul mal kepada mereka yang tidak mampu. Imam Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khattab memberikan tunjangan rutin kepada rakyat miskin yang tidak mampu bekerja.

Solusi Islam atas Kepemilikan dan Pengelolaan Aset

Sistem ekonomi Islam memberikan keseimbangan antara hak milik individu, hak umum, dan hak negara. Negara tidak boleh mengambil milik pribadi tanpa alasan syar’i. Namun, negara juga memiliki peran aktif dalam memastikan semua sumber daya bermanfaat bagi umat.

Islam tidak mengenal konsep “rekening tidur” atau “tanah nganggur” sebagai alasan penyitaan. Negara justru mengatur agar harta umat tidak tertumpuk di kalangan orang kaya saja, seperti dalam firman Allah:

> “ supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Artinya, redistribusi kekayaan dilakukan dengan adil, bukan dengan cara merampas milik rakyat, tapi dengan mengatur sistem zakat, pengelolaan kepemilikan umum, serta pemberdayaan rakyat melalui peran negara yang kuat.

Penutup

Rakyat berhak mempertanyakan, ke mana arah negara ini bergerak? Apakah semakin menjadi pelindung warganya atau justru perlahan-lahan menjadi institusi pemangsa yang sah atas nama hukum? Kebijakan seperti pemblokiran rekening dan penyitaan tanah memperlihatkan gejala negara yang terlalu jauh masuk ke ruang privat warga, tanpa memberi solusi atas ketimpangan struktural yang ada.

Islam sebagai sistem hidup telah membuktikan selama 13 abad, bahwa negara bisa hadir sebagai pelindung rakyat, pengatur yang adil, dan penjamin kesejahteraan. Sudah saatnya publik membuka mata terhadap solusi alternatif ini. Bukan sekadar protes atas kebijakan, tapi juga menyuarakan perubahan sistemik yang nyata: kembali kepada aturan Islam yang adil dan mensejahterakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image