Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andri Mastiyanto

Lone Wolf yang Menolak Tahta

Sastra | 2025-08-10 10:54:01
Ilustrasi Pekerja Textil yang Lone Wolf (Sumber Foto ; desain AI by Andri M)

Orang tua akan menjadi suri tauladan dan menjadi contoh anak-anaknya ketika menjalani hidup. Ini kisah Bapak Ku "Bambang Sugianto" seorang Lone Wolf yang Menolak Tahta.

Di dunia kerja, jabatan sering dipandang seperti puncak gunung: tinggi, menantang, dan menjadi impian hampir semua pendaki.

Ada orang yang memang berprestasi tapi ada juga yang berkompetisi mati-matian untuk sampai ke sana—menempuh jalur cepat, kadang jalur licin, kadang pula jalur yang menusuk teman sendiri.

Di meja rapat, tatapan bisa lebih tajam dari pisau, dan senyum sering kali menyembunyikan niat untuk menyalip.

Namun, di tengah hiruk-pikuk ambisi itu, Bapak Ku salah-satu orang yang berbeda.

Bapak Ku adalah sosok yang memilih tak terlihat di panggung utama, tapi hasil kerjanya menjadi fondasi kokoh bagi tim.

Ini terlihat ketika di pertengahan medio pertengahan 90'an ketika berkerja di Hatex, Bapak yang hanya lulusan SMA disandingkan dengan lulusan sarjana dan S2 dikirim ke Frankfrut Jerman.

Bahkan Bapak pernah juga dikirim ke Jepang dan Bangladesh pada saat berkerja di Patal Senayan.

Ia bukan tipe yang suka berada di rapat demi menyampaikan ide-nya. Ia memilih bicara dengan atasannya, namun setiap ucapannya selalu mengandung solusi.

Rekan-rekannya tahu, jika pekerjaan mereka buntu, Bapak adalah orang yang bisa dipercaya untuk menemukan jalan keluar.

Bahkan Bapak pernah menjadi salah-satu dari pemimpin demonstrasi di Patal Senayan memperjuangkan teman-teman-nya.

Suatu hari, badai perubahan datang. Kepala divisi mengundurkan diri mendadak karena mendapatkan pekerjaan di tempat lain.

Kekosongan posisi itu memunculkan riak-riak di seluruh kantornya. Nama-nama kandidat mulai disebut-sebut, dan seperti yang sudah bisa ditebak, hampir semua rekan menyebut nama Bapak.

Daku pernah mendengar cerita Ibu, Bapak pernah dipanggil atasannya ke ruangan. Atasannya menginginkannya suatu saat menjadi kepala divisi.

Bapak dianggap pantas, tapi ada satu halangan, Bapak lulusan SMA, ia disarankan kuliah.

Bagi kebanyakan orang, tawaran ini adalah mimpi yang jadi nyata. Dari kisah Ibu, ...Bapak lebih memilih biaya kuliah yang disisihkan dari gaji untuk anak-anaknya saja.

Atasannya mengira ia bercanda. Tapi wajah Bapak terlalu tegas untuk sedang bermain-main.

Ibu bercerita kabar penolakan itu menyebar cepat. Ada teman kerjanya bertamu ke rumah, mengernyit tak mengerti....mungkin saja teman-teman itu di utus atasannya.

Bapak dianggap aneh. Siapa yang menolak jabatan?” gumam sebagian rekan kerjanya.

Dalam budaya kerja yang menilai kesuksesan dari gelar dan posisi, langkah Bapak terdengar seperti bunuh diri karier.

Namun, Bapak punya alasan.

Bagi Bapak, jabatan bukan sekadar simbol keberhasilan, melainkan tanggung jawab yang besar. Ia pernah melihat orang-orang yang dulunya teman akrab, berubah menjadi sosok yang keras, kaku dan penuh intrik setelah duduk di kursi tinggi.

Bisa jadi Bapak berfikiran, kekuasaan bisa membutakan, membuat orang lupa tujuan awalnya bekerja. Karena pekerjaannya sebagai teknisi mesin tekstil merupakan kecintaan dan hobinya.

Bapak pernah mengobrol dengan Ibu "Aku tidak ingin duduk di kursi yang membuatku lupa kenapa aku memulai perjalanan ini,” kata Bapak

Aku ingin tetap bekerja karena aku cinta pekerjaannya, bukan karena aku terikat pada politiknya.

Bagi Bapak, kebebasan adalah harta yang lebih mahal daripada status.

Ia ingin bisa pulang ke rumah tanpa beban rapat darurat di malam hari, tanpa harus memikirkan siasat menghadapi kubu-kubu di dalam kantor, tanpa kehilangan waktunya untuk hal-hal yang ia anggap esensial: bekerja dengan baik, hidup dengan tenang, dan tetap setia pada prinsip.

Kerennya Bapak berdasarkan cerita Ibu. Kursi kepala divisi di-isi orang lain. Bapak kembali ke meja kerjanya, mengerjakan tugas seperti biasa, tanpa sedikit pun menunjukkan penyesalan.

Bapak bahkan membantu kepala divisi yang baru, memastikan transisi berjalan lancar.

Tahun demi tahun berlalu. Pemimpin datang dan pergi, sebagian meninggalkan jejak manis, sebagian meninggalkan luka dalam perusahaan.

Tapi di tengah arus perubahan itu, Bapak tetap menjadi batu karang yang kokoh di tepi pantai. Ia konsisten. Ia netral. Ia fokus pada substansi pekerjaan, bukan citra.

Hebatnya, meskipun ia tidak punya jabatan tinggi, banyak orang datang padanya untuk meminta nasihat.

Bapak seperti memimpin yang tidak duduk di kursi pemimpin.

Seperti pepatah tua: Ada pemimpin yang memimpin dengan kata-kata, ada yang memimpin dengan teladan.

Ibu pernah mendapatkan quote dari Bapak “Pemimpin itu bukan soal posisi. Pemimpin itu soal pilihan dan aku memilih jalan ini.”

Di kantor, ia dikenal sebagai orang yang tidak akan menyalakan api gosip, tidak akan ikut berebut panggung, dan tidak akan mengorbankan integritas demi kesempatan naik.

Ia bagaikan lone wolf—serigala penyendiri—yang berjalan di jalannya sendiri, tidak memimpin kawanan, tapi tetap punya peran besar menjaga keseimbangan.

Ketika akhirnya Bapak Berpulang tiba, rumah ku di Cikeas penuh sesak oleh rekan-rekan kerja yang datang bergantian, menyalami tangan kami yang ditinggalkan, dan mengucapkan terima kasih.

Beberapa bahkan meneteskan air mata menyampaikan pada Ibu “Pak Bambang, mungkin nggak pernah duduk di kursi kepala, tapi beliau sudah jadi pemimpin sejati buat kami,” kata salah satu junior yang dulu dibimbingnya.

***

Di dunia yang berlomba menjadi terang, Bapak memilih menjadi cahaya kecil di sudut ruangan—tidak menyilaukan, tapi cukup untuk membuat orang menemukan jalan.

Di dunia yang ramai mendaki puncak, ia memilih tinggal di kaki gunung, menjaga akar agar tanah tidak runtuh.

Bapak mengajarkan, bahwa tidak semua kemenangan diukur dengan tepuk tangan. Tidak semua keberhasilan diukur dengan kursi tinggi.

Kadang, kemenangan adalah ketika kita bisa tidur nyenyak tanpa rasa bersalah.

Kadang, keberhasilan adalah ketika kita bisa berjalan dengan kepala tegak, tanpa membawa beban yang bukan milik kita.

Bapak pergi tanpa mahkota, tanpa gelar besar, tanpa riuh sambutan. Namun, warisannya hidup di hati kami keluarganya yang pernah disentuh oleh sikapnya: kejujuran, kesetiaan pada prinsip, dan keberanian untuk menolak yang tidak sejalan dengan nurani.

Bapak membuktikan, kadang, puncak yang sejati bukanlah di atas sana tapi di dalam diri sendiri.

Itu kenapa Ibu selalu berpesan "Dek, kamu nggak perlu pindah dari RSKO walaupun kesempatan itu ada, dan pendapatan mu naik, Agama meminta kita untuk hidup yang cukup bukan menjadi Kaya, kalu kurang cari tambahan"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image