Kursi Ganda Wakil Menteri: Politik Transaksional Bagi-Bagi Kekuasaan
Politik | 2025-08-09 20:24:47
Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka telah resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada Oktober 2024. Namun, memasuki pertengahan 2025, komposisi dan kinerja kabinet mereka terus menjadi sorotan publik. Salah satu isu yang memantik kritik tajam adalah praktik pengangkatan sejumlah wakil menteri menjadi komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fenomena ini dipandang sebagai bentuk “bonus kekuasaan” yang tidak berlandaskan pada prinsip profesionalisme, melainkan sarat dengan kepentingan politik dan akomodasi kekuasaan.
Menurut laporan Kompas.com dan Tirto.id, hingga pertengahan Juli 2025 terdapat 26 wakil menteri aktif yang tercatat merangkap jabatan sebagai komisaris atau komisaris utama di BUMN. Di antaranya adalah Giring Ganesha, Wamen Kebudayaan merangkap Komisaris PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia, Veronica Tan, Wamen Perempuan dan Perlindungan Anak merangkap Komisaris PT Citilink Indonesia dan Suahasil Nazara, Wamen Keuangan merangkap Wakil Komisaris Utama PT PLN.
CNN Indonesia juga melaporkan, gaji komisaris di BUMN sangat menggiurkan. Gaji komisaris utama bisa mencapai Rp167 juta per bulan, belum termasuk tantiem atau bonus tahunan yang bisa mencapai miliaran rupiah (CNN Indonesia, 1 Agustus 2025). Ini kontras dengan kondisi jutaan rakyat Indonesia yang masih kesulitan ekonomi. Praktik ini dikecam sebagai bentuk conflict of interest yang nyata, melanggar etika tata kelola pemerintahan yang bersih, dan mempertebal kesenjangan antara elite dan rakyat. Penunjukan rangkap jabatan ini menghidupkan kembali pertanyaan lama: orientasi BUMN saat ini—apakah BUMN masih ditujukan untuk kepentingan publik, atau telah bergeser menjadi ladang bagi-bagi jabatan bagi elite kekuasaan.
Rangkap Jabatan, Legal atau Bermasalah ?
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pengangkatan sejumlah wakil menteri sebagai komisaris BUMN tidak menabrak aturan hukum, namun jika ditelusuri lebih dalam, kebijakan tersebut justru bertentangan dengan sejumlah regulasi yang mengatur etika dan tata kelola pemerintahan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara eksplisit melarang pejabat publik merangkap jabatan yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Dalam Pasal 17 ditegaskan bahwa:
> “Penyelenggara pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi yang memiliki konflik kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.”
Dalam konteks ini, wakil menteri adalah bagian dari penyelenggara pelayanan publik sekaligus perancang kebijakan sektor masing-masing. Jika mereka merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN di bidang yang berkaitan langsung dengan tugasnya, maka konflik kepentingan nyaris tak terhindarkan. Mereka berpotensi menjadi pihak yang membuat kebijakan sekaligus menikmati dampaknya dalam bentuk keuntungan finansial dari jabatan komisaris.
Kedua, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 33, menyebutkan bahwa:
> “Anggota Komisaris dilarang mengambil keuntungan pribadi baik langsung maupun tidak langsung dari aktivitas BUMN yang berada di bawah pengawasannya.”
Ketika seorang wakil menteri, yang seharusnya mengawasi kebijakan pemerintah, justru duduk sebagai bagian dari badan pengawas (komisaris) perusahaan milik negara, maka independensinya diragukan, dan celah untuk mengambil keuntungan dari pengaruh jabatan semakin terbuka lebar.
Ketiga, Surat Edaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-7500/01-13/12/2021 secara tegas memperingatkan bahwa rangkap jabatan di BUMN dan anak usahanya tidak sesuai dengan prinsip integritas, transparansi, serta pencegahan benturan kepentingan. KPK menegaskan bahwa penempatan pejabat aktif di jabatan komisaris atau direksi perusahaan negara harus memperhatikan etika pemerintahan yang baik dan tidak menimbulkan peluang korupsi.
Dengan demikian, meskipun tidak ada pasal eksplisit yang menyebut "wakil menteri dilarang menjadi komisaris BUMN", namun bila ditinjau dari kerangka hukum yang lebih luas, kebijakan rangkap jabatan ini tidak hanya mencederai etika publik, tetapi juga secara substantif bertentangan dengan regulasi yang berlaku.
Celakanya, pemerintah justru menggunakan dalih “tidak melanggar hukum secara eksplisit” sebagai tameng untuk melanjutkan praktik ini. Ini merupakan bentuk pelemahan terhadap prinsip rule of law, yang dalam sistem demokrasi seharusnya menjunjung tinggi etika jabatan publik, bukan hanya kepatuhan formal terhadap bunyi pasal.
Politik Transaksional Sistem Kapitalisme
Penempatan wamen sebagai komisaris bukanlah praktik baru. Di masa Presiden Jokowi, fenomena serupa juga terjadi. Ini menunjukkan bahwa praktik semacam ini telah menjadi pola dalam sistem politik transaksional. Kursi-kursi strategis di BUMN dijadikan instrumen kompromi atau hadiah politik pasca-pemilu.
Fenomena ini adalah buah dari sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kekuasaan menjadi alat akumulasi kekayaan, bukan amanah untuk menyejahterakan rakyat. BUMN, yang seharusnya menjadi motor pemerataan ekonomi dan kedaulatan bangsa, justru dijadikan alat memperkaya segelintir elite. Prinsip meritokrasi dan kepentingan publik seringkali dikorbankan demi akomodasi politik.
Ketimpangan dan Apatisme Publik
Praktik rangkap jabatan dan politik bagi-bagi kursi menambah luka dalam kepercayaan publik terhadap pemerintah. Rakyat menjadi apatis, bahkan sinis, terhadap janji-janji perubahan. Mereka merasa negara hanya berpihak pada segelintir orang yang berada di lingkar kekuasaan, bukan pada kepentingan publik. Jika ketidakpercayaan ini terus meluas, maka kita tidak hanya menghadapi krisis moral elite, tapi juga krisis legitimasi politik.
Tak hanya itu, potensi konflik kepentingan sangat besar. Bagaimana mungkin seorang wakil menteri bisa mengawasi perusahaan negara secara objektif jika ia juga merupakan bagian dari pemerintah yang menerbitkan kebijakan? Akuntabilitas menjadi kabur.
Di sisi lain, penempatan komisaris dari unsur politik juga dapat menghambat profesionalisme dan kinerja BUMN. Kebijakan negara berpotensi bias, keputusan bisnis BUMN bisa dikendalikan oleh kepentingan politik, dan ruang publik perlahan dikendalikan oleh jaringan kekuasaan yang saling mengunci. Pada titik ini, tata kelola negara tidak lagi berjalan berdasarkan kepentingan rakyat, melainkan logika kekuasaan yang transaksional.
Pemisahan Kekuasaan dan Kepentingan Pribadi
Islam memandang kekuasaan bukan sebagai alat bagi-bagi jabatan, tetapi sebagai amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), setiap jabatan memiliki batas kewenangan yang jelas, dan larangan tegas terhadap praktik rangkap jabatan diberlakukan untuk menjaga integritas serta mencegah penyalahgunaan wewenang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Siapa saja yang kami angkat menjadi pejabat atas suatu pekerjaan, kemudian dia menyembunyikan dari kami walau hanya sebatang jarum, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan).” (HR. Muslim)
Hadist ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam mengawasi amanah kekuasaan. Dalam sistem Islam, tidak dibenarkan seorang pejabat publik memanfaatkan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, apalagi melalui jabatan ganda yang berpotensi konflik kepentingan. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab RA membentuk lembaga pengawasan khusus untuk memantau kekayaan para pejabatnya, dan tidak segan-segan menarik kembali kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar.
Selain itu, dalam sistem Khilafah, posisi strategis dalam pengelolaan kepemilikan umum, seperti perusahaan milik negara (yang sepadan dengan BUMN), tidak diberikan kepada tokoh politik atau loyalis penguasa, tetapi kepada ahli profesional yang amanah dan ahli di bidangnya. Orientasi pengelolaannya bukan profit untuk elite, tetapi kesejahteraan rakyat.
Islam juga memiliki mekanisme hisbah—lembaga independen yang bertugas mengawasi kezaliman penguasa dan menjaga keadilan sosial. Ini menjadikan kekuasaan tetap berada dalam koridor syariah, dan masyarakat memiliki ruang untuk menyuarakan kritik secara sah dan terhormat.
Dengan kata lain, Islam memiliki sistem preventif dan kuratif yang kuat terhadap penyimpangan kekuasaan, termasuk praktik rangkap jabatan yang hari ini dibiarkan bebas oleh sistem demokrasi sekuler. Selama sistem yang mendasari pemerintahan masih berakar pada logika kekuasaan kapitalistik, praktik semacam ini akan terus berulang—karena celah hukum bisa dimanfaatkan, dan etika bisa ditawar.
Refleksi
Selama sistem kapitalisme masih diterapkan, praktik-praktik seperti rangkap jabatan, nepotisme, dan bagi-bagi kekuasaan akan terus terulang dalam berbagai bentuk. Perubahan tidak cukup hanya dengan mengganti aktor, tetapi harus menyentuh sistemnya.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang menempatkan kekuasaan sebagai amanah, bukan komoditas politik. Islam, dengan sistem kaaffah-nya, telah terbukti mampu membangun peradaban yang bersih, adil, dan berpihak pada kepentingan umat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
