Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabilla Anggun Zaskia

Rangkap Jabatan sebagai Wujud Terselubung Merealisasikan Kepentingan Partai Politik

Politik | Monday, 01 May 2023, 23:13 WIB
Potret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah rangkap jabatan sebagai Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Pembina

Polemik rangkap jabatan masih menjadi PR dalam pemerintahan di Indonesia. Permasalahan ini masih membutuhkan perbaikan regulasi, khususnya pada praktik-praktik yang dilakukan oleh oknum dalam pemerintahan itu sendiri, karena selain menyalahi prinsip-prinsip good governance, rangkap jabatan juga berpotensi memunculkan adanya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam implementasinya pada kehidupan sehari-hari, praktik rangkap jabatan seolah menjadi hal lazim untuk dilakukan, misalnya pada Wakil Menteri BUMN yang juga menjabat sebagai Wakil Komisaris PT Pertamina, atau contoh lain juga terjadi pada Rektor Universitas Indonesia yang pada kenyataannya telah menjabat sebagai Wakil Komisaris pada PT Bank Rakyat Indonesia. Tidak sampai pada itu saja, praktik rangkap jabatan juga dapat dijumpai dalam kedudukan beberapa Menteri yang ada di Indonesia. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat beberapa Menteri dalam parlementer yang masih dihiasi dari sejumlah ketua umum partai politik. Contoh pertama yakni Hatta Rajasa selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2009 – 2014) yang juga menduduki posisi sebagai Ketua Umum DPP PAN (2010 – 2015). Ada pula Suryadharma Ali yang menjabat sebagai Menteri Agama (2009 – 2014), namun masih aktif dalam Ketua Umum DPP PPP (2007 – 2012). Contoh selanjutnya diambil oleh Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2009 – 2014) yang juga merangkap sebagai Ketua Umum DPP PKB (2005 – 2010).

Keadaan ini kian diperparah dengan praktik rangkap jabatan yang juga dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Sebagai Ketua Umum, Presiden SBY juga menggaet posisi sebagai Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Pembina. Seolah masih belum puas, jabatan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat juga turut menambah jajaran dalam jabatannya. Padahal sebelumnya, Presiden SBY sendiri sempat menegaskan bahwa para Menteri tidak semestisnya menjadi kader dari partai politiknya masing-masing dalam menjalankan tugasnya pada pemerintahan. Hal ini ditujukan agar Menteri tidak dijadikan sebagai alat dalam pemanfaatan sumber daya negara demi kepentingan partai politiknya. Fenomena rangkap jabatan juga berlanjut pada kabinet Presiden Joko Widodo. Contohnya seperti Airlangga Hartarto yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, namun di sisi lain juga mengambil peran sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Ada pula sosok Luhut Binsar Panjaitan. Selain sebagai Menko Maritim, beliau juga ditunjuk sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meskipun hanya sementara.

Terkait maraknya praktik-praktik rangkap jabatan yang masih terjadi di Indonesia, masyarakat sejatinya perlu memahami secara jelas terkait pengertian dari rangkap jabatan itu sendiri. Merujuk dari sumber KBBI, dapat disimpulkan bahwa satu orang dalam pemerintahan dapat memegang dua atau bahkan lebih posisi jabatan, seperti yang sudah dicontohkan pada kasus-kasus di atas. Editor dari buku Politicization of the Civil Service, Guy Peters dan Jon Pierre berpendapat bahwa politisi telah menjadikan sektor pemerintahan sebagai arena yang dikuasai dalam kurun beberapa dasawarsa terakhir, yang pada akhirnya hal tersebut akan memunculkan pola pemanfaatan jabatan sebagai pejabat negara untuk memenuhi kepentingan partai politiknya masing-masing. Semestinya, sebagai pejabat negara yang dipercayai dalam urusan penyelenggaraan pemerintah, mereka harus dapat memberikan tanggung jawab serta loyalitas terhadap bidangnya masing-masing. Hubungan politik yang masih terjalin bersama partainya juga harus segera diselesaikan saat itu juga, sehingga dengan adanya kesadaran semacam ini dapat menjadi fundamental untuk terwujudnya sistem pemerintahan yang tidak saling tumpang tindih.

Kurangnya perhatian dari peraturan perundang-undangan serta ketidaktegasan hukum dalam menghadapi praktik-praktik jabatan rangkap menjadi hal yang perlu mendapat atensi lebih. Situasi ini agaknya harus memaksa pemerintah untuk segera memformulasikan sebuah kebijakan yang mengatur secara tegas mengenai permasalahan tersebut. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, karena jika pelanggengan rangkap jabatan dinormalisasi maka akan berdampak pula pada menurunnya daya konsentrasi dan menghambat para Menteri dalam komitmen mewujukan program kerja sesuai dengan kontrak kerja. Hal semacam ini dapat terjadi dikarenakan tugas di dalam partai politiknya juga menuntuk untuk segera ditunaikan. Pada akhirnya Menteri juga harus membagi fokusnya agar dapat memajukan partai politiknya masing-masing.

Atas dasar itu, maka perlunya campur tangan Undang-Undang untuk melarang secara tegas praktik-praktik jabatan rangkap di Indonesia. Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Dasar yang berbunyi bahwa di dalam pemerintahan, setiap bidang-bidang dalam urusan tertentu telah menjadi tanggungjawab dari setiap Menteri, sehingga saat menjalankan tugas tersebut para Menteri diharapkan dapat melepas jabatannya dalam partai politik. Tujuannya agar sistem pemerintahan di Indonesia dapat tercipta secara efektif, efisien, serta lebih terfokus pada peningkatan pelayanan publik. Tidak cukup sampai di situ, pemerintah juga perlu melakukan reformasi kebijakan terkait dengan rangkap jabatan yang dilakukan oleh para Menteri. Meninjau dari konsep birokrasi yang ditawarkan oleh Weber dan Albrow, bahwa perlunya seleksi yang ditujukan kepada setiap pejabat melalui ujian, sehingga nantinya pejabat yang diterima berdasarkan kulifikasi profesionalitasnya dalam mengemban setiap tanggung jawab. Setiap pejabat yang diangkat juga selayaknya bersedia untuk meninggalkan jabatannya dalam posisi lain. Terakhir, penting pula Presiden dalam mengangkat para Menteri harus membutakan diri mengenai darimana asal partai Menteri itu sendiri. Presiden tidak seharusnya berat sebelah terhadap kandidat Menteri hanya karena persamaan asal partai politik, karena hal ini nantinya juga dapat menimbulkan praktik-praktik kecurangan di masa yang akan datang.

Melihat dari beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan, maka dari itu tidak seharusnya praktik rangkap jabatan dinormalisasi dalam pemerintahan Indonesia. Praktik-praktik semacam ini pada akhirnya hanya akan berujung pada konflik kepentingan dari partai politiknya masing-masing, serta akhir dari praktik rangkap jabatan ini pasti akan mengarah pada tindakan korupsi.

Penulis : Nabilla Anggun Zaskia, Mahasiswi Administrasi Publik Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image