Fenomena Flexing: Antara Gaya Hidup dan Bahaya Riya. Apa Hukumnya? Bagaimana Seharusnya?
Agama | 2025-08-06 16:20:36Di satu sisi, media sosial memang menjadi sarana ekspresi diri. Namun, ketika ekspresi tersebut didorong oleh hasrat untuk dipuji dan dibanding-bandingkan, maka hal itu bisa mengarah pada sesuatu yang membahayakan: riya, ujub, bahkan hasad. Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena ini?
Jika ditelaah secara mendalam, flexing bukan sekadar soal gaya hidup, tapi menyentuh dimensi maqashid syariah, yaitu tujuan utama dari penerapan syariat Islam. Dalam artikel ini, kita akan mengulas fenomena flexing dari sudut pandang hukum Islam, dampaknya terhadap tujuan syariat, serta solusi ideal menurut maqashid syariah.
Flexing Gaya Hidup atau Perangkap Jiwa?
Kata flexing dalam bahasa Inggris berarti "melenturkan otot", namun di era digital maknanya berkembang menjadi "memamerkan" sesuatu untuk mendapat validasi sosial. Apa yang awalnya mungkin hanya niat berbagi, bisa berubah menjadi niat untuk “dilihat”, “dikagumi”, dan “dianggap lebih”. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, ‘Apa itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Riya.”
(HR. Ahmad No. 23630)
Riya adalah memamerkan amal atau sesuatu yang dimiliki agar dipuji. Flexing bisa masuk dalam kategori ini jika dilakukan bukan untuk syukur, tapi untuk pamor. Lebih parah lagi, flexing sering kali memancing hasad (iri hati) dan mubazir (pemborosan), bahkan terkadang disertai utang hanya demi citra palsu di media.
Flexing dalam Perspektif Maqasid Syariah
Maqashid syariah adalah lima tujuan utama yang ingin dicapai oleh syariat Islam, yaitu: Hifz ad-Din (menjaga agama) Hifz an-Nafs (menjaga jiwa) Hifz al-‘Aql (menjaga akal) Hifz an-Nasl (menjaga keturunan) Hifz al-Mal (menjaga harta) Mari kita lihat bagaimana flexing bisa mengganggu beberapa maqasid ini: Hifz al-Mal (Menjaga Harta)
Flexing sering membuat seseorang membeli barang di luar kemampuan. Bukan karena kebutuhan, tapi karena ingin tampil. Ini bisa menyebabkan pemborosan, bahkan utang.
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 27)
Hifz ad-Din (Menjaga Agama) Flexing dapat menumbuhkan riya dan takabbur, dua sifat yang menghancurkan amal. Jika hati condong pada pujian manusia, maka niat ibadah menjadi rusak. Bahkan, Rasulullah menyebut riya sebagai “syirik kecil”.
Hifz an-Nafs (Menjaga Jiwa) Banyak penelitian menunjukkan bahwa media sosial yang dipenuhi flexing bisa memicu rasa minder, rendah diri, hingga depresi, terutama di kalangan remaja. Ini menunjukkan bahwa jiwa menjadi korban dalam perlombaan tampilan.
Bagaimana Hukumnya?
Hukum flexing tidak bisa digeneralisasi. Ia bersifat relatif, tergantung pada niat, cara, dan dampaknya. Beberapa kaidah ushul fiqh dapat digunakan untuk menilainya:
Al-wasā’il lahā aḥkām al-maqāṣid Sarana dihukumi berdasarkan tujuannya. Jika flexing diniatkan untuk ujub dan riya, maka hukumnya haram. Tapi jika hanya berbagi momen syukur dengan rendah hati, bisa jadi mubah.
Dar’u al-mafāsid muqaddam ‘ala jalb al-maṣāliḥ Mencegah kerusakan lebih utama daripada menarik manfaat. Jika flexing lebih banyak menimbulkan kerusakan sosial (iri, pamer, hedonisme), maka lebih baik ditinggalkan.
Al-‘ādah muḥakkamah Kebiasaan jadi pertimbangan hukum. Jika dalam suatu masyarakat flexing dipahami sebagai kesombongan, maka pelakunya bisa terkena hukum sosial maupun agama.
Bagaimana Seharusnya?
Agar tidak terjerumus dalam budaya flexing, ada beberapa solusi yang selaras dengan maqashid syariah:
Tanamkan Qana’ah dan Zuhud. Qana’ah (merasa cukup) dan zuhud (tidak terpikat dunia) bukan berarti hidup miskin, tapi menjaga hati dari tamak dan pamer. Nabi ﷺ sendiri hidup sederhana, meski beliau bisa hidup mewah.
Periksa Niat Sebelum Posting Tanya diri:
Apa niatku? Apakah postinganku membuat orang lain termotivasi atau malah iri? Apakah ini mengundang pahala atau dosa?
"Harta bukan untuk ditampakkan, tapi untuk dipertanggungjawabkan."
Gunakan Media Sosial untuk Kebaikan Alihkan energi posting untuk hal bermanfaat: edukasi, dakwah, inspirasi hidup sederhana. Media sosial bukan hanya ruang gaya, tapi juga bisa menjadi ladang pahala.
Flexing adalah fenomena nyata, tapi bukan berarti harus jadi gaya hidup. Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Kita boleh menikmati rezeki, tapi tidak boleh menampilkannya dengan niat pamer.
Maqashid syariah hadir sebagai kompas agar setiap aktivitas, termasuk di dunia digital, tetap mengarah pada maslahat, bukan mafsadat.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tapi melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Jika Allah melihat niat, maka sebelum posting apapun, pastikan hatimu bersih. Flexing boleh saja, tapi jangan sampai iman kita yang ter-flex.
"Jangan pamerkan apa yang kau punya, karena bisa jadi itu ujian, bukan keberkahan."
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
