Scroll Tak Kenal Waktu: Ketika Gadget Mengganggu Tujuan Hidup Manusia, Apa hukumnya?
Agama | 2025-08-05 19:27:01
Scrolling berlebihan adalah di mana seseorang menggunakan gadgetnya tanpa kendali, tak ingat waktu, sampai sering kali tidak lagi memiliki tujuan tertentu, melainkan hanya karena dorongan kebiasaan atau pelarian dari kejenuhan aktifitasnya.
Jika ditelaah dari sudut pandang Islam, maka kita dapat menggunakan pendekatan maqashid syariah—sebuah teori besar dalam ushul fiqh yang dikembangkan oleh Imam Ghazali dan disempurnakan oleh Imam Syathibi dalam karya monumental Al-Muwaafaqaat fii Ushul Syari’ah. Maqashid syariah menjelaskan bahwa tujuan utama syariat Islam adalah untuk menjaga lima perkara penting, yaitu: agama (hifz ad-din), jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-maal). Ketika seseorang larut dalam aktivitas digital hingga melalaikan kewajiban agama, menurunnya kemampuan berpikir kritis, bahkan terganggunya ketenangan jiwa, maka secara tidak langsung telah terjadi pelanggaran terhadap beberapa maqashid syariah sekaligus.
Dalam konteks hifz al-‘aql, misalnya, terlalu banyak konsumsi informasi cepat (instan) seperti konten video pendek atau status singkat sehingga dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk fokus dan berpikir mendalam. Dalam Al-Mustashfa, Imam Ghazali menegaskan bahwa akal adalah pondasi utama dalam memahami syariat. Maka, menjaga akal berarti menjaga jalannya agama itu sendiri. Ketika akal tergerus oleh pola konsumsi digital instan dan reaktif, daya nalar dan kecerdasan akan ikut melemah sehingga menyebabkan fokus dalam ibadah menurun dan berkurang.
Dari sisi hifz ad-din, banyak pengakuan bahwa waktu ibadah kerap tertunda karena terlalu asyik dengan gadget. Bahkan, tak sedikit yang merasa lebih cepat merespons notifikasi dibandingkan panggilan adzan. Ini menunjukkan bahwa gadget telah mengambil alih perhatian yang seharusnya ditujukan kepada Allah. Imam Syathibi dalam Al-Muwafaqat menyebutkan bahwa agama merupakan maqashid tertinggi yang wajib dijaga, dan segala bentuk kelalaian terhadapnya termasuk tindakan tercela.
Sementara itu, dari sudut pandang hifz an-nafs, terlalu banyak interaksi digital tanpa kendali bisa berdampak pada kondisi mental. Laporan dari American Psychological Association (2023) mencatat bahwa penggunaan media sosial berlebihan berkaitan erat dengan meningkatnya kecemasan, rasa minder, dan bahkan depresi, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa. Ketika manusia merasa dirinya tidak cukup karena membandingkan hidupnya dengan unggahan orang lain, maka sesungguhnya ia sedang menyakiti jiwanya sendiri.
“Teknologi untuk manfaat, bukan untuk menghapus makna hidup.”
Secara hukum, fenomena ini dapat dianalisis menggunakan beberapa kaidah ushul fiqh. Pertama, kaidah al-wasaa’il lahaa ahkaam al-maqaashid—segala sarana dihukumi sesuai tujuannya. Jika gadget digunakan untuk menuntut ilmu, bekerja, berdakwah, atau mempererat silaturrahmi secara baik, maka ia bernilai positif. Namun bila dipakai hingga melalaikan kewajiban atau merusak akal atau hal buruk lainnya, maka penggunaannya bisa menjadi makruh atau bahkan haram. Kedua, kaidah dar’u al-mafaasid muqaddam ‘alaa jalb al-mashalih—mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat. Dalam hal ini, meski gadget membawa manfaat, jika mudaratnya dominan (terutama pada agama dan jiwa), maka membatasi penggunaannya menjadi tindakan yang benar secara syar’i. Kaidah ketiga, maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib—segala sarana yang mendukung kewajiban hukumnya wajib juga. Maka, jika gadget adalah alat untuk melaksanakan kewajiban tertentu (seperti menuntut ilmu), penggunaannya bukan hanya dibolehkan tapi bisa bernilai ibadah.
“Bukan gadget yang salah, tapi hati yang lupa arah.”
Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa scrolling gadget secara berlebihan yang mengakibatkan lalai dari kewajiban agama, menurunnya fungsi akal, dan terganggunya stabilitas jiwa sehingga bertentangan dengan maqashid syari’ah dalam kadar tertentu bisa bernilai haram. Namun, bila digunakan dengan niat baik, waktu terukur, dan untuk tujuan maslahat (seperti dakwah, edukasi, atau mempererat ukhuwwah), maka gadget menjadi sarana ibadah. Maka yang perlu dilakukan bukan meninggalkan teknologi, melainkan mengendalikannya sesuai dengan prinsip maqashid syari’ah.
Imam Syathibi menyebut dalam Al-Muwafaqat bahwa maqashid syari’ah harus menjadi ukuran dalam segala bentuk ijtihad dan aktivitas manusia. Artinya, kita dituntut untuk menjadikan nilai-nilai syariat sebagai kompas hidup, termasuk saat berinteraksi dengan teknologi. Jika gadget menjauhkan kita dari nilai-nilai itu, maka kendalikan. Tapi jika ia bisa mendekatkan kita kepada-Nya, maka manfaatkan.
“Jika gadget membuatmu lalai dari Allah, maka itu bukan alat bantu, tapi alat uji.”
Agar tidak terus terjebak dalam kebiasaan scrolling tanpa arah, ada beberapa alternatif yang sesuai dengan maqashid syari’ah (terutama dalam menjaga waktu, akal, dan agama) yang bisa dilakukan, antara lain:
1. Membaca al-Qur’an atau tafsir ringkas secara rutin, minimal 5-10 menit sebagai ganti waktu scroll.
2. Menulis jurnal harian atau refleksi diri, yang membantu menjaga dan meningkatkan fokus.
3. Membatasi waktu gadget dengan aplikasi pembatas (seperti Digital Wellbeing atau Forest App).
4. Mengganti waktu luang dengan membaca buku ringan, mendengarkan kajian islami, atau olahraga ringan.
“Jangan biarkan jempolmu lebih cepat dari akal dan hatimu.”
Apakah aku memegang gadget, atau gadget yang memegangku? Apakah aku sedang mencari makna, atau hanya pelarian dari sepi? Jika Allah tanya “ke mana waktumu habis?”, bisakah aku menjawab dengan bangga? Apakah konten yang aku nikmati mendekatkanku pada cahaya, atau membuatku nyaman dalam gelap? Apakah aku benar-benar hidup, atau hanya hidup di layar?Renungkanlah..
“Jangan sampai layar yang bercahaya membuat imanmu meredup.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
