Bisikan Jiwa: Mengurai Pergulatan Abadi dalam Diri Manusia
Gaya Hidup | 2025-07-28 07:34:56
Manusia. Sebuah ciptaan yang kompleks, dianugerahi akal dan hati, namun tak lepas dari gejolak batin yang tiada henti. Dalam setiap diri kita, bersemayam sebuah bisikan, sebuah dorongan yang kadang tak kasat mata, menarik kita menuju dua kutub yakni kebaikan atau keburukan.
Firman Allah SWT dalam Surah Yusuf ayat 53, “Dan aku (Yusuf) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Mahapengampun lagi Mahapenyayang,” adalah pengingat abadi akan hakikat ini. Ayat ini bukan sekadar kalimat, melainkan cermin yang memantulkan kondisi batin kita, kondisi yang seringkali luput dari kesadaran.
Ketika Keburukan Menjadi Gaya Hidup
Mengapa jiwa kita begitu mudah terjerembab pada keburukan? Ayat di atas memberikan isyarat jelas: jiwa (nafs) cenderung mendorong pada kemaksiatan. Kemaksiatan, atau kemungkaran, bukanlah sekadar pelanggaran aturan, melainkan racun yang merusak. Ia tidak hanya melukai pelakunya, tetapi juga mencemari lingkungan di sekitarnya. Bayangkan sebuah kolam yang jernih, lalu ditumpahkan lumpur. Itulah maksiat, ia mengotori tata nilai, merusak keindahan tatanan yang telah Allah gariskan demi kebaikan kita.
Ironisnya, di zaman ini, keburukan bahkan bisa menjelma menjadi gaya hidup. Bisikan setan, yang mewakili sifat fujur (keburukan), membisikkan janji-janji manis kebebasan semu. Mereka menjadikan maksiat sebagai jalan pintas menuju kenikmatan sesaat, memutarbalikkan logika, dan menipu manusia bahwa apa yang dilarang justru adalah jalan menuju kebahagiaan. Bukankah menyedihkan melihat bagaimana manusia modern, dengan segala kemajuan akalnya, justru semakin terperangkap dalam jebakan hawa nafsu yang menyesatkan?
Sumber utama dari tabiat buruk ini tak lain adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri. Hawa nafsu, yang diciptakan oleh Allah, bukanlah sekadar insting primitif. Ia adalah ujian. Sebuah ujian berat yang menentukan kualitas keimanan seorang hamba. Mengapa disebut ujian? Karena sejak awal penciptaannya, hawa nafsu diriwayatkan dalam Al-Quran dan Hadis, pernah berani membangkang kepada Sang Khalik. Ia baru tunduk setelah mengalami azab, sebuah pelajaran keras dari Allah tentang bahaya pembangkangan.
Pelajaran ini adalah sebuah pesan abadi bagi kita. Hati-hati dengan hawa nafsu. Allah seolah berfirman, "Wahai hamba-Ku, nafsu itu bisa menjadi musuh terbesarmu, siap menjerumuskanmu ke dalam jurang jika engkau tak mampu menundukkannya." Betapa banyak kisah kehancuran rumah tangga, karier, bahkan hidup itu sendiri, bermula dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Tragisnya, musuh yang mencelakakan itu justru bersemayam di dalam diri kita sendiri.
Ketika nafsu itu berpadu dengan syahwat – kecintaan yang berlebihan pada duniawi, seperti harta, kedudukan, atau kesenangan fisik – kekuatannya berlipat ganda. Dorongan untuk berbuat keburukan, yang dibisikkan oleh setan, semakin tak terbendung. Manusia rela menabrak batasan-batasan agama, bahkan melupakan akherat demi mengejar apa yang sangat ia cintai di dunia ini. Inilah titik awal kehancuran: ketika perlindungan Allah terlepas dari nafsu syahwat yang telah ditunggangi iblis, saat kita lebih memilih perhiasan dunia daripada kenikmatan abadi di akhirat.
Namun, pembaca yang budiman, ada secercah harapan. Kisah dialog panjang antara Allah dan nafsu, di mana nafsu akhirnya menjawab, "Engkau adalah Allah, Maha Pencipta, dan aku adalah hamba-Mu," adalah sebuah titik balik. Ini bermakna bahwa nafsu, meskipun cenderung pada keburukan, memiliki potensi untuk dibimbing menuju jalan kebaikan.
Nafsu bagaikan hewan liar. Jika tidak dijinakkan, ia akan buas dan memangsa apa saja. Tetapi, jika berhasil dikendalikan, tenaganya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebaikan. Bayangkan kuda atau kerbau yang terlatih; kekuatan mereka bisa menjadi "turbo" bagi energi amal saleh kita. Ia bisa menjadi pendorong luar biasa untuk mencapai ketakwaan.
Allah tidak meninggalkan kita begitu saja dalam pergulatan ini. Manusia telah dibekali akal, sebuah potensi yang tidak dimiliki makhluk lain selain malaikat. Dengan akal, kita mampu membedakan baik dan buruk, mengendalikan hawa nafsu, dan memilih jalan yang benar. Dengan demikian, akal adalah mercusuar yang menerangi kegelapan nafsu.
Kita sejatinya adalah "malaikat" di muka bumi. Dengan akal yang cerdas dan nafsu yang diberkahi, potensi kita untuk menjadi lebih mulia dari ciptaan lain sungguh besar. Namun, realitanya justru sebaliknya. Banyak manusia modern menjadi budak hawa nafsu, menuruti setiap permintaannya tanpa kendali akal. Lebih parah lagi, mereka bahkan tidak merasa bersalah saat melakukan perbuatan keji, bahkan hingga tingkat yang tak terbayangkan seperti yang disinggung di atas. Nauzubillah!
Memohon Pertolongan Ilahi, Jalan Menuju Jiwa yang Tenang
Poin krusialnya adalah bagaimana kita mampu menahan diri? Bagaimana kita membimbing hawa nafsu menuju kebaikan, meneladani keteladanan Nabi Yusuf AS yang menjaga kesuciannya di tengah godaan yang luar biasa?
Jawabannya bukan hanya pada kekuatan diri kita sendiri. Itu terletak pada memohon pertolongan Allah SWT. Hanya dengan rahmat dan bimbingan-Nya, jiwa yang cenderung pada keburukan ini dapat menemukan ketenangan, kedamaian, dan kekuatan untuk menapaki jalan kebaikan. Mari kita merenung, memohon ampunan, dan meminta bimbingan-Nya agar nafsu kita menjadi "turbo" kebaikan, bukan jerat yang menghancurkan.
Semoga artikel ini menyentuh hati dan memberikan inspirasi untuk selalu berjuang mengendalikan hawa nafsu demi meraih ridha Allah SWT.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
