Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Chelsea Sakinatun

Cepat Menilai, Lambat Memahami: Refleksi tentang Kultur Asumsi di Masyarakat

Ekspresi | 2025-07-24 12:30:28
pinterest.com" />
pinterest.com

Ada yang bilang saya terlalu ingin dimengerti. Betapa menariknya penilaian itu.

Seingat saya, belum pernah sekalipun saya mengadakan acara khusus untuk menceritakan betapa malangnya hidup saya, apalagi dengan harapan orang lain akan meneteskan air mata simpati. Saya tidak menjual kesedihan. Bukan karena merasa kuat, tapi karena saya tidak pernah suka jadi pusat perhatian atas nama belas kasihan.

Namun, orang-orang tetap saja merasa yakin bahwa mereka tahu segalanya tentang saya. Padahal, kenyataannya, mereka hanya tahu sepotong-sepotong, dan sisanya adalah hasil imajinasi yang mereka ciptakan sendiri.

Itulah cara kerja pikiran manusia: Di mana ada kekosongan informasi, di sanalah asumsi akan tumbuh subur.

Sayangnya, asumsi jarang lahir dari ketelitian. Ia lebih sering lahir dari kenyamanan. Fakta itu repot. Maka, alih-alih mencari tahu, lebih mudah bagi orang untuk melengkapi cerita dengan versi yang mereka anggap “cukup logis”.

Dan ironisnya, meski saya tahu semua ini, tetap saja ada rasa jengkel yang sulit diabaikan setiap kali mendengar cerita-cerita karangan tentang diri saya diperdagangkan dengan percaya diri. Mungkin ini bentuk lain dari “kepekaan”, atau barangkali saya memang terlalu tipis kulit. Tapi saya lebih suka menyebutnya: terlalu sadar bahwa dunia memang gemar menyimpulkan sebelum mendengar.

Kalau saja imajinasi itu disimpan rapi di kepala masing-masing, barangkali saya masih bisa tertawa kecil dan membiarkannya lewat. Masalahnya, bisikan-bisikan itu cepat sekali menemukan telinga lain. Dari satu mulut ke telinga, lalu berpindah ke mulut lain, hingga akhirnya terciptalah legenda—tentang saya, tentang Anda, tentang siapa saja yang kebetulan menjadi bahan obrolan hari itu.

Maka, jadilah saya tokoh utama dalam kisah karangan yang tidak pernah saya setujui alurnya.

Pernahkah Anda merasa menjadi orang asing dalam cerita yang orang lain ciptakan tentang Anda?

Di sisi lain, barangkali saya memang sedang tidak baik-baik saja. Entahlah. Saya pun tidak terlalu peduli memberi label atasnya. Tapi satu hal yang saya tahu, meskipun saya berpura-pura kebal, tetap saja saya akan merasa terganggu ketika mendengar kesimpulan-kesimpulan ceroboh itu diucapkan tepat di hadapan saya.

Hari-hari belakangan ini, bahkan udara pun terasa tidak ramah. Ada aroma aneh yang membuat kaki saya ragu untuk menjejak lantai. Sebuah bau yang lebih menyengat dibandingkan lumbung babi di kampung halaman. Dan hari ini, matahari seolah-olah ingin membakar saya hidup-hidup. Maka saya berlindung di balik jubah, mencoba menyelamatkan kepala saya dari niat jahat sang surya yang terlalu semangat.

Tapi, beginilah hidup. Kita semua adalah cerita yang belum selesai, namun di waktu yang sama, orang lain sudah begitu terburu-buru menuliskan akhirnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image