Brand Lokal, Harga Global: Apakah Produk Indonesia Sudah Naik Kelas?
Gaya Hidup | 2025-07-24 09:31:38
Dulu, membeli produk lokal sering kali dianggap pilihan kedua. “Lokal” identik dengan murah,kualitas seadanya, atau sekadar alternatif dari brand luar. Tapi hari ini, peta itu mulai bergeser.
Semakin marak brand asal Indonesia yang berani menampilkan diri dengan identitas yang kuat,
harga yang setara dengan brand global, dan kualitas yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tapi
pertanyaannya: apakah brand lokal benar-benar sudah naik kelas, atau kita hanya terjebak
romantisasi yang belum merata?
Dari Cinta Produk Lokal ke Gaya Hidup
Cinta produk lokal kini bukan sekadar jargon kampanye. Ia telah menjelma menjadi gaya hidup.
Gen Z dan milenial yang dulu mungkin lebih memilih brand luar demi gengsi sekarang justru
bangga memakai label lokal, dari ujung kepala hingga kaki.
Menurut riset dari Populix (2023), 72% anak muda Indonesia mengatakan mereka lebih memilih
brand lokal dalam kategori fashion dan lifestyle jika kualitasnya setara dengan brand luar. Hal ini
juga sejalan dengan naiknya pamor brand seperti ERIGO, Sejauh Mata Memandang, This Is
April, Brodo, dan banyak lainnya yang tampil di panggung internasional seperti New York
Fashion Week.
Namun, di balik angka-angka ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: apakah kita mencintai brand
lokal karena kualitas dan identitasnya, atau karena sedang tren?
Harga Lokal yang Makin “Global”
Ketika melihat sebuah tas anyaman dijual Rp850.000 atau sepatu kulit lokal dibanderol lebih dari
Rp1 juta, reaksi publik sering terpecah dua: antara bangga atau mengeluh “mahal banget,
padahal lokal”.
Tapi mengapa “lokal” masih harus selalu “murah”?
Harga bukan semata-mata soal angka. Ia bicara tentang tenaga kerja, nilai budaya, ketelatenan
produksi, dan keberlanjutan. Banyak brand lokal yang mulai berani menghargai dirinya sendiri:
menggunakan bahan ramah lingkungan, menggaji pengrajin secara layak, dan memproduksi
secara etis,nsesuatu yang tak bisa ditukar dengan harga murah.
Survei oleh ASEAN Fashion Report (2022) menunjukkan bahwa 62% konsumen Indonesia
masih mengharapkan harga “terjangkau” dari brand lokal, padahal proses produksinya sudah
setara bahkan melampaui merek luar. Ini menjadi dilema: ingin maju, tapi belum semua
konsumen siap membayar sesuai nilai.
Identitas Lokal, Bukan Sekadar Tempelan
Brand lokal yang naik kelas bukan hanya soal harga mahal dan desain yang keren. Ia juga bicara
tentang keberanian membawa cerita Indonesia ke dalam produk: motif batik yang diolah ulang
secara modern, kampanye yang mengangkat isu sosial, atau kolaborasi dengan seniman lokal.
Contohnya, SukkhaCitta bukan hanya menjual pakaian, tapi juga membawa narasi tentang
perempuan desa, pewarna alami, dan perubahan iklim. Mereka tidak hanya menjual produk
namun mereka menjual harapan.
Naik Kelas Itu Bukan Tujuan Akhir
Brand lokal tak harus selalu menjadi “global brand” untuk diakui. Terkadang, justru nilai paling
otentik hadir ketika brand itu fokus untuk membumi, bukan mendunia. Ketika mereka memilih
memberdayakan tangan-tangan pengrajin di Jepara, bukan sekadar ekspor ke Milan.
Dan kita sebagai konsumen, punya peran besar dalam perjalanan ini.
Akhirnya, Pertanyaan Itu Kembali ke Kita
Apakah brand lokal sudah naik kelas? Mungkin sebagian sudah. Tapi yang lebih penting: apakah
kita sudah naik kelas dalam cara kita menghargai mereka?
Kita sering berharap kualitas tinggi, harga murah, pengemasan cantik, dan pengiriman cepat.
Tapi apakah kita juga siap membayar sesuai nilai, bersabar atas proses, dan bangga mengenakan
karya bangsa sendiri?
Karena membeli brand lokal bukan sekadar transaksi ekonomi. Ini adalah investasi pada budaya,
keadilan sosial, dan masa depan industri kreatif Indonesia.
Tentang Penulis
Kynaia Ramadhanti, lahir di era fast fashion tapi hatinya tertarik pada produk yang punya cerita.
Sebagai mahasiswa komunikasi dan bagian dari Gen Z, ia menulis untuk mencari makna di balik
tren, harga, dan identitas lokal.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
