Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deassy Destiani

Membuat Anak Perceived Mattering : Tugas Pertama Guru PAUD di Masa Pengenalan Sekolah

Eduaksi | 2025-07-17 22:47:36
MPLS Paud Nusa Indah Sidorejo Kasihan Bantul 2025

Tahun ajaran baru telah dimulai, orang tua dan guru sibuk mempersiapkan anak didik agar mereka bisa nyaman dan bahagia di sekolah. Tentunya harapan orang tua dan guru adalah anak senang bersekolah, bukan terpaksa untuk sekolah. Orang tua sudah membelikan tas, sepatu, seragam dan peralatan lainnya sesuai pilihan anak. Begitupun sekolah, ruang kelas dirapihkan, data siswa dipersiapkan dan aktifitas penyambutan dirancang sedemikian rupa dibungkus dalam rencana kegiatan harian. Namun ada satu hal yang seringkali luput dari perhatian pendidik/guru di sekolah yaitu memastikan bahwa setiap anak “perceived mattering.” Apakah perceived mattering itu? Perceived mattering adalah pengalaman psikologis untuk merasa dilihat, diakui, dihargai, dipedulikan dan dibutuhkan (Elliott et al., 2004; Flett, 2022; Rosenberg & McCullough, 1981).

Angela Maiers, seorang pendidik dan penulis buku inspiratif tentang pendidikan anak usia dini, menyebutkan bahwa saat ini di sekolah dan di rumah banyak anak mengalami krisis perceived mattering (Vail, 2024). Anak merasa tidak diperhatikan dan berarti bagi orang dewasa di sekitarnya dalam hal ini termasuk orang tua di rumah dan guru di sekolah. Padahal menurut teori kelekatan dari John Bowlby & Mary Ainsworth (Cenceng, 2015), kebutuhan untuk merasa penting ini adalah naluri biologis yang sudah muncul sejak seorang bayi lahir ke dunia. Bayi mencari orang yang pertama memeluknya, menyentuhnya, memberikannya rasa aman agar bisa melanjutkan kehidupan setelah dilahirkan.

Perasaan diperhatikan, dibutuhkan, dipedulikan, dilihat dan dianggap penting ini bukanlah hasil belajar. Hal ini murni naluri biologis manusia untuk membentuk ikatan emosional dengan pengasuhnya. Jika kebutuhan akan rasa aman dan kelekatan ini tidak terpenuhi maka anak akan merasa dirinya tidak berarti sehingga cenderung bermasalah secara emosi. Biasanya anak menjadi lebih rewel, sering menangis, tantrum atau bahkan gangguan perilaku jika sudah semakin bertambah usianya.

Guru Paud, sebagai guru pertama anak punya peran yang luar biasa penting dalam menumbuhkan perceived mattering agar anak merasa senang di sekolah. Guru Paud adalah pintu pertama dalam menyambut anak-anak dan memastikan bahwa perasaaan mereka benar-benar dilihat dan dihargai. Bukan hanya karena mereka “datang” ke sekolah tetapi karena kehadiran mereka memang diinginkan. Akan sangat berbeda gesture, mimik dan sambutan yang diberikan guru Paud apabila hanya sekadar menyambut anak datang sekolah dengan anak diinginkan untuk bersekolah. Guru yang menganggap anak didiknya “penting” akan membuat anak merasa hangat dengan respon kontak mata, sentuhan, ekspresi, senyuman dan penguatan yang diberikan ketika anak masih malu atau takut ke sekolah. Sebaliknya, guru yang menganggap anak didiknya hanya sekadar murid yang namanya tercantum di sekolah, sambutan yang diberikan hanya untuk menjalankan rutinitas saja. Sikapnya tergesa, kaku, tidak ada kontak mata, sibuk dengan hal lain, mengabaikan reaksi anak bahkan ada yang memaksa anak untuk cepat menyesuaikan diri.

Guru Paud bisa belajar untuk membuat anak perceived mattering dengan cara menyambut anak saat hari pertama masuk sekolah dengan sapaan : “Selamat pagi, Hannania! Bunda Deassy sudah menunggumu loh dari tadi. Kata Mamamu, Hannania mau sekolah di Paud Nusa Indah ya? Bunda Deassy senang sekali Hannania datang ke sekolah hari ini.” Ketika mengatakan hal itu, pastikan guru berjongkok sejajar dengan mata anak. Lakukan kontak mata yang lembut. Jangan terburu-buru untuk menarik anak masuk ke kelas. Biarkan anak melihat sekeliling sampai anak merasa nyaman. Pastikan anak melihat wajah Bu guru yang tersenyum ramah padanya dan hanya anak tersebut yang menjadi pusat perhatiannya. Jika guru belum tahu nama anak, percakapan bisa dimulai dengan mengajukan pertanyaan ringan seperti: “Selamat pagi sayang, wah siapa nih yang datang dengan tas yang lucu sekali. Beli dimana nih tasnya? Siapa yang pilih tas warna merah ini?”

Angela juga mengatakan, bahwa ada dua momen penting untuk menciptakan kesan pertama yang membekas di hati anak, yaitu saat anak masuk dan saat anak pulang. Guru harus memastikan saat anak masuk ada sapaan hangat dan kontak mata. Saat anak pulang ucapkan sesuatu yang memperkuat perceived mattering seperti : “Terimakasih sayang sudah datang ke sekolah hari ini. Bunda senang kamu tadi pinter sekali membereskan mainannya. Besok Bunda tunggu lagi disini ya. Kamu keren dan hebat!”

Masa pengenalan sekolah ini, anak harus belajar satu hal bahwa kehadiran mereka sangat berarti buat guru-gurunya. Ketika anak merasa dirinya berarti, rasa percaya diri akan tumbuh, tentunya anak akan lebih bahagia dan siap belajar. Yuk menjadi guru paud yang menumbuhkan perceived mattering sejak hari pertama anak bersekolah. Jadilah guru Paud yang menyapa dengan penuh kehangatan, melihat dengan penuh perhatian dan mendengar dengan sepenuh hati.

Salam sayang,

Yogyakarta, 17 Juli 2025

Deassy M Destiani, S.P.,S.Pd

Pustaka :

Cenceng. (2015). Perilaku Kelekatan Pada Anak Usia Dini (Perspektif John Bowlby). Lentera, IXX(2), 141–153. https://en.wikipedia.org/wiki/John_Bowlby.

Elliott, G., Kao, S., & Grant, A.-M. (2004). Mattering: Empirical Validation of a Social-Psychological Concept. Self and Identity, 3(4), 339–354. https://doi.org/10.1080/13576500444000119

Flett, G. L. (2022). An Introduction, Review, and Conceptual Analysis of Mattering as an Essential Construct and an Essential Way of Life. Journal of Psychoeducational Assessment, 40(1), 3–36. https://doi.org/10.1177/07342829211057640

Rosenberg, M., & McCullough, B. C. (1981). Mattering: Inferred significance and mental health among adolescents. Research in Community & Mental Health, 2, 163–182.

Vail, K. (2024). A crisis of mattering: A conversation with Angela Maiers. Phi Delta Kappan, 105(5), 42–45. https://doi.org/10.1177/00317217241230784

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image