Etika Konsumsi dalam Islam
Khazanah | 2025-07-17 16:32:36
Dalam realitas dunia modern yang dijejali oleh iklan, diskon besar-besaran, dan berbagai bentuk konsumsi instan, manusia kerap terperangkap dalam ilusi kebutuhan palsu. Setiap kali layar ponsel menyala, tawaran untuk membeli sesuatu yang baru seolah menghipnotis, menenggelamkan kita dalam siklus tak berkesudahan: beli, pakai, buang. Di tengah arus kapitalisme konsumtif ini, Islam justru hadir menawarkan keseimbangan. Konsep etika konsumsi dalam Islam bukanlah sekadar larangan atau pembatasan, melainkan panduan moral untuk membentuk peradaban yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Etika konsumsi dalam Islam bertumpu pada prinsip wasathiyah (moderat) yang menjadi karakter umat terbaik sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” Dalam konteks konsumsi, wasathiyah berarti tidak berlebih-lebihan (israf) dan tidak pula kikir (taqtir). Konsumsi seharusnya proporsional, sesuai kebutuhan, dan tidak melampaui batas.
Dalam buku Islamic Economics: Theory and Practice karya M.A. Mannan, disebutkan bahwa konsumsi dalam Islam bukan hanya persoalan individu, tetapi bagian dari tanggung jawab sosial. Konsumen Muslim diharapkan mempertimbangkan kemanfaatan barang, kehalalan sumbernya, serta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Teori kebutuhan dalam ekonomi Islam bahkan membedakan antara primary needs (daruriyyat), secondary needs (hajiyyat), dan tertiary needs (tahsiniyyat) sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dan dikembangkan oleh para ekonom Muslim kontemporer seperti Monzer Kahf dan Umer Chapra.
Namun, dalam praktiknya, kita sering melihat perilaku konsumtif menjangkiti berbagai lapisan masyarakat Muslim. Tidak jarang seseorang berutang demi membeli barang bermerek, atau memenuhi media sosial dengan gaya hidup mewah yang justru mengaburkan esensi kesederhanaan yang diajarkan agama. Dalam hemat saya, perilaku seperti ini lahir bukan karena kebutuhan nyata, melainkan keinginan untuk diakui dan dihargai oleh orang lain. Inilah yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulacra—di mana konsumsi bukan lagi untuk fungsi, tetapi untuk simbol.
Sebagai mahasiswa yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan ekonomi syariah, saya memandang bahwa penyebab utama dari krisis konsumsi ini bukan terletak pada kemampuan daya beli, tetapi pada kekosongan spiritual. Ketika manusia tidak lagi menjadikan ridha Allah sebagai tujuan hidup, maka kebahagiaan pun diukur melalui jumlah barang yang dimiliki, bukan
nilai yang ditanamkan. Di sinilah pentingnya revitalisasi akhlak konsumsi dalam kehidupan masyarakat Muslim modern.
Etika konsumsi dalam Islam juga berkaitan erat dengan keberlanjutan (sustainability). Allah menciptakan bumi dengan segala isinya sebagai amanah, bukan untuk dieksploitasi tanpa batas. Dalam QS. Al-A’raf ayat 31 disebutkan: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Ayat ini jelas menegaskan bahwa kebiasaan boros tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga merusak ekosistem sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, etika konsumsi dalam Islam juga merupakan bagian dari ibadah sosial dan ekologi.
Jika prinsip ini benar-benar diinternalisasi, maka kita tidak akan melihat umat Islam sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, atau penyebab tingginya food waste saat Ramadhan. Kita akan menyaksikan umat Islam sebagai pelopor gaya hidup sehat, hemat, dan berempati. Karena pada akhirnya, konsumsi bukanlah tentang apa yang masuk ke dalam perut, tetapi tentang apa yang ditanamkan dalam hati.
Dalam pandangan saya, pendidikan etika konsumsi harus mulai ditanamkan sejak dini, tidak hanya melalui ceramah atau khutbah, tetapi lewat kurikulum yang menyentuh praktik keseharian. Di kampus, materi ekonomi Islam semestinya tidak hanya membahas teori distribusi atau zakat, tetapi juga bagaimana cara membelanjakan harta dengan bijak. Karena sesungguhnya, perubahan besar hanya mungkin terjadi bila diawali dari perubahan kecil yang konsisten.
Menutup tulisan ini, saya ingin mengajak diri saya dan para pembaca untuk meninjau ulang cara kita mengonsumsi. Apakah benar kita membeli karena butuh, atau sekadar karena ingin? Apakah yang kita konsumsi mendekatkan kita kepada Allah, atau justru menjauhkan? Karena sejatinya, konsumsi adalah cermin dari jiwa: ia menunjukkan apa yang kita cintai, dan kepada siapa hati kita terikat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
