Mencerdaskan Bangsa dengan Perut Lapar
Pendidikan | 2025-07-17 14:55:59
Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, seakan berbenturan dengan realita pahit di lapangan, guru-guru yang berjuang dengan perut lapar dan kualitas pendidikan yang terus menjadi sorotan. Ironi ini menjadi potret suram di tengah janji-janji perbaikan dan program-program ambisius yang seringkali tidak menyentuh akar permasalahan.
Survei dan laporan seringkali menunjukkan bahwa banyak anak Indonesia memiliki kemampuan membaca, namun tidak memahami makna yang mereka baca apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan literasi mereka bahkan berada di bawah standar PISA. Fenomena ini diperparah dengan rendahnya minat baca masyarakat secara umum, cenderung tergantikan oleh kebiasaan scroll layar smartphone dan konsumsi konten singkat yang jarang mendidik.
Salah satu pilar dalam mencerdaskan bangsa adalah guru, namun nasib mereka seringkali dikesampingkan dan tidak menjadi perhatian utama negara. Gaji dosen pun tak jauh berbeda, mereka mendapat upah yang tak cukup untuk kebutuhan mereka. Di balik seruan “Merdeka Belajar”, banyak guru dan dosen yang belum merdeka secara ekonomi. Guru honorer, khususnya di daerah terpencil, menghadapi beban kerja yang tinggi dengan gaji yang sangat rendah, bahkan tidak mampu menghidupi keluarga mereka. Banyak dari mereka harus melintasi hutan dan sungai berjam-jam demi bisa mengajar murid-murid di sekolah dengan fasilitas yang serba kurang memadai.
Pemerintah tampak sibuk mengubah-ubah kurikulum pendidikan dasar dan menengah dengan berbagai program baru, namun tanpa dibarengi peningkatan kualitas tenaga pendidik yang memadai. Sementara itu, di tingkat perguruan tinggi, beberapa universitas masih stagnan menggunakan kurikulum dengan hanya mendaur ulang dokumen lama. Hal ini menciptakan "gap of knowledge" yang semakin lebar antara pendidikan tinggi di Indonesia dan negara maju.
Di kota besar, sekolah swasta elit terus beroperasi dengan biaya tinggi, menyerap guru-guru terbaik. Anak-anak dari keluarga berada mendapatkan akses pendidikan berkualitas, sedangkan mereka yang kurang mampu harus berjuang dengan sistem yang seadanya. Ini menciptakan kesenjangan yang perlahan mematikan harapan anak-anak dari kalangan bawah. Anggaran pendidikan yang seharusnya besar, seringkali dikorupsi, menguap entah kemana, menyisakan ketimpangan dan luka panjang dalam dunia pendidikan kita.
Maka pertanyaannya: Apakah mungkin mencerdaskan kehidupan bangsa jika para pendidiknya sendiri kelaparan? Apakah bangsa ini benar-benar ingin rakyatnya cerdas, atau justru memang rakyat diharapkan untuk tetap menjadi bodoh, agar tak peka terhadap korupsi dan mudah dikendalikan? Akankah Indonesia Emas 2045 itu benar benar ada?, atau hanya sekedar mimpi semalam?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
