Marak Beras Oplosan, Rakyat Lagi Jadi Korban
Rubrik | 2025-07-17 14:51:36
Ramai di media sosial, konten "Kukira ricecooker yang rusak, ternyata berasnya bermasalah" juga sejenisnya. Para influencer yang juga ibu rumah tangga ini mengeluhkan nasi yang cepat basah dan basi. Mereka pikir rice cookernya yang rusak sehingga mereka pun membeli rice cooker baru, ternyata berita terbaru membuat terkejut.
Beras Oplosan
Hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya menipu. (Kompas.com, 13/7/2025)
Beberapa beras menyatakan beratnya 5 kg padahal isinya hanya 4,5 kg. Beberapa menyatakan berasnya premium, padahal beras biasa. Penipuan besar-besaran yang terjadi. Sebelumnya pertamax oplosan, lalu minyak goreng oplosan, kini hadir bwras oplosan. Entah besok lusa akan terkuak apalagi yang dioplos. Astagfirullah.
Hal ini tentu merugikan konsumen. Konsumen yang ingin menikmati beras dengan kualitas bagus baik dari segi rasa, wangi, kualitas yang tidak cepat basi, rela merogoh kantongnya lebih dalam agar bisa menyajikan yang baik untuk keluarganya. Niat ini malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Demi keuntungan materi, mereka tega menipu khalayak walau statusnya perusahaan besar.
Kapitalisme Melahirkan Kejahatan
Inilah buah penerapan kapitalisme sekularisme. Dalam sistem ini, dunia dan materi jadi tujuan hidup. Fokus utama aktivitas manusia berpusat pada kesenangan dunia. Tak peduli norma yang ada, apalagi aturan agama. Agama hanya diperbolehkan membahas ibadah ritual, tak diizinkan membahas hukum muamalah, politik dan semisalnya.
Lahirlah wajah agamis tapi perilakunya jauh dari aturan agama. Sebagaimana Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tapi perilakunya sungguh jauh dari Islam.
Wajar jika hadir manusia-manusia tega, tak punya empati, yang tak keberatan menipu juga mengambil yang bukan haknya, demi keuntungan diri, keluarga dan golongannya. Ditambah negara seolah tak punya "gigi" untuk melindungi dan meregulasi. Negara lemah dalam pengawasan dan memberikan sanksi yang tidak menjerakan.
Negara pun alpa dari mengurusi pangan rakyatnya. Urusan pangan dari hulu ke hilir diserahkan pada mekanisme pasar, dikuasai korporasi besar. Korporasi tentu menggunakan kacamata untung rugi dalam transaksinya dengan rakyat, bukan pelayanan apalagi pengayoman. Penguasaan negara terhadap pangan hanya 10%, sehingga tak punya kekuatan untuk bernegosiasi di hadapan korporat. Hal ini berdampak pada pengawasan dan pemberian sanksi.
Islam Mengayomi
Dalam Islam, para pejabat dipandang sebagai pelayan rakyat. Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan rakyatnya, khususnya kebutuhan pangan. Maka, pejabat pemerintah harus memutar akalnya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Pikiran, tenaga, rasa mereka dicurahkan untuk melayani rakyat. Mereka disibukkan dengan menjalankan amanahnya, bukan menyibukkan diri memperkaya diri.
Dengan bekal iman yang tertanam pada diri, para pejabat harus kuat imannya menahan godaan untuk korupsi di berbagai lini, mereka akan terus ingat beratnya pertanggungjawaban atas amanah yang diemban. Sebagaimana lahir sosok para pejabat sholeh di masa islam dulu, seperti Umar bin Khattab yang tegas memecat para pejabat termasuk saudaranya ketika terindikasi korupsi.
Ada juga kisah Umar bin Abdul Aziz yang saat hari pertama dilantik menjadi khalifah lelah karena sibuk mengurusi jenazah khalifah sebelumnya. Baru saja beliau hendak beristirahat, anaknya datang dan mengingatkan tentang urusan rakyat yang belum ditinjaunya hari itu. Anaknya bertanya, "Siapa yang menjamin bahwa Anda masih hidup hingga datang waktu dzuhur wahai amirul mukminin?”
Seketika, Umar bin Abdul Aziz pun bangkit dari tidurnya dan menjalankan tugasnya. Masih banyak kisah lainnya yang senada. Mereka lahir dari rahim penerapan islam, kekuatan iman, kesadaran akan beratnya hari pertanggungjawaban. Maka hadir sosok pejabat amanah dan bertanggungjawab pada rakyatnya.
Penerapan aturan Islam tegak dalam tiga lapisan. Pertama, individu yang beriman dan bertakwa pada Allah swt. Kedua, masyarakat yang saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemunkaran. Terakhir, negara yang menjaga penerapan aturan Islam dengan sanksi tegas dan menjerakan. Negara pun menyediakan qadhi hisbah yang akan bertugas berkeliling pasar untuk mengawasi, memeriksa dan memastikan regulasi berjalan sesuai dengan aturan.
Bukan hanya itu, islam mendorong negara hadir secara penuh dalam urusan produksi, distribusi hingga konsumsi. Tak hanya memastikan stock pangan tersedia, tapi ikut mengurusi rantai distribusi dan niaga sehingga terhindar dari kecurangan seperti hari ini. Sampai tahap konsumsi oleh setiap individu rakyat.
Inilah potret pengayoman islam pada rakyatnya. Dan ini bukan dongeng belaka, 13 abadnya islam pernah memimpin dunia saat diterapkan sebagai sistem kehidupan.
Wallahu'alam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
