Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aisyah Fadhilah

Ketika Ibu Menjadi Tulang Punggung Keluarga

Eduaksi | 2025-07-05 20:05:54

Dalam kehidupan nyata , tidak sedikit kita menemukan sosok ibu yang menjadi tulang punggung keluarga , membiayai anak-anaknya, bekerja keras, bahkan merangkap peran sebagai ayah dan ibu sekaligus. Sering kali ini terjadi karena ditinggal suami, bercerai, atau karena suami tidak mampu menafkahi. Ditengah situasi seperti ini, muncul pertanyaan penting : bagaimana sebenarnya pandangan islam terhadap ibu yang membiayai anak-anaknya? Apakah itu kewajiban, pilihan atau pengorbanan? Apa nilai dan pahala yang diberikan Islam kepada ibu yang mengambil alih peran nafkah keluarga?

Jawabannya bisa kita temukan dalam Cahaya petunjuk Al-Quran dan Hadis Nabi

Muhammad melihat.

Islam Menetapkan Ayah sebagai pemberi Nafkah

Tidak semua keluarga berjalan dalam kondisi yang ideal. Dalam kenyataan hidup, banyak ibu yang terpaksa memikul beban ganda menjadi pengasuh sekaligus pencari nafkah. Mereka bangun pagi, bekerja keras, bahkan rela mengorbankan waktu dan tenaga demi memastikan anak-anak tetap bisa makan, bersekolah, dan hidup layak. Peran ibu sebagai tulang punggung keluarga sering kali lahir dari situs yang sulit karena ditinggal suami, penceraian, atau karena suami tidak menunaikan tanggung jawab. Meskipun demikian, Islam tidak membebankan kewajiban ibu untuk memberi nafkah. Memberikan nafkah kepada keluarga adalah kewajiban ayah, sebagaimana telah diatur dalam syariat Islam. Islam memberikan struktur yang jelas dan adil dalam keluarga, agar setiap peran berjalan seimbang dan harmonis.

Dalam struktur keluarga Islam, ayah adalah pihak yang dibebani kewajiban memberi nafkah. Ini bukan hanya kebiasaan budaya, tetapi hukum yang diatur oleh syariat. Secara kodrati dan dalam ajaran agama, ayah memiliki tanggung jawab utama dalam urusan nafkah. Dalam Islam, Allah swt telah berfirman dalam Al-qur'an surat An-Nisa ayat 34 Artinya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum Wanita, karena Allah swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka .'' (QS. An-Nisa: 34)

Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu alasan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena mereka berkewajiban menafkahi keluarganya. Ayah akan bangun pagi, menempuh perjalanan jauh, menahan lelah, bahkan kadang menahan sakit semata-mata agar dapur tetap mengepul dan anak-anak bisa bersekolah. Dalam kehidupan sebuah kekeluargaan, peran ayah seringkali tidak sepopuler ibu. Namun, dibalik kemudahan dan diamnya, ayah memikul beban besar: menjadi tulang punggung keluarga . Ia bekerja keras demi satu tujuan menafkahi dan membahgiakan orang-orang yang ia cintai. Meski peran finansial sangat penting, ayah bukan sekadar pemberi uang. Ia adalah teladan dalam kesabaran, ketegasan, dan tanggung jawab. Dalam banyak keluarga , ayahlah yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan misalnya : kejujuran, kerja keras, dan pantang menyerah.

Dalam hadis riwayat Al-Hakim, Rasulullah saw bersabda :

“Seseorang yang berusaha mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia berada di jalan Allah swt (fi sabilillah) hingga ia Kembali” (HR. Al-Hakim)

Ayat ini menunjukkan bahwa nafkah anak adalah tanggung jawab ayah, termasuk ketika anak masih dalam masa menyusui. Bahkan, setelah perceraian pun, seorang ayah tetap wajib menafkahi anak-anaknya.

Bagaimana Jika Ibu yang Membiayai Anak-anaknya ?

Meskipun tidak wajib secara hukum, peran ibu yang membiayai anak-anaknya sangat dihargai dan dimuliakan dalam Islam, terutama jika hal itu dilakukan karena kebutuhan, keadaan darurat, atau tidak adanya figur ayah yang bertanggung jawab. Rasulullah saw bersabda :

“Tidaklah seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan mengharapkan pahala dari Allah, melainkan ia akan mendapatkan pahala sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, jika seorang ibu bekerja keras mencari nafkah demi anak-anaknya dan melakukannya karena cinta serta Ikhlas karena Allah swt, maka seluruh jerih payahnya akan dihitung sebagai amal shaleh. Ketika seorang ibu menanggung nafkah keluarga karena keadaan yang memaksa, Islam tidak hanya membenarkannya, tapi juga menjanjikan pahala yang besar. Dalam hadis Rasulullah saw :

“Tidaklah seorang yang memberi nafkah kepada keluarganya dengan mengharap ridha Allah swt, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama menegaskan bahwa siapa saja yang menafkahi keluarga demi Allah swt, termasuk ibu yang menggantikan peran suami,maka setiap rupiah yang dia keluarkan dihitung sebagai sedekah yang berpahala besar. Ibu yang menafkahi anak-anak dan keluarganya bukan hanya mendapat pahala sebagai pemberi nafkah, tetapi juga sebagai pendidik, perawat, dan pelindung jiwa. Sebaliknya, ibu yang tidak melatarkan dan bahkan mengambil peran ganda (mengasuh dan menafkahi), berarti telah menerangi keluarga dari kemiskinan, kemiskinan, dan kehancuran, sehingga nilai amalnya sangat tinggi. Para ulama menyamakan perjuangan itu dengan jihad, karena dia berjuang di medan hidup demi mempertahankan kehormatan dan kesejahteraan keluarganya. Jika seorang ibu sabar menelpon sebagai pencari nafkah sambil mendidik anak-anaknya dengan baik, maka Islam menjanjikan surga sebagai balasannya.

Menjadi ibu yang bekerja sekaligus membiayai keluarga bukanlah perkara mudah. Selain menghadapi tekanan ekonomi, ibu juga tetap harus hadir secara emosional dan fisik bagi anak-anaknya. Kelelahan mental, keterbatasan waktu, dan tekenan sosial kerap kali menjadi tantangan harian. Namun sayangnya, sebagian Masyarakat masih memandang ke sebelah mata ibu yang bekerja atau menafkahi anak-anaknya, seolah-olah itu adalah kegagalan keluarga. Padahal, dalam banyak kasus, ibu justru menjadi penyelamat keluarga dari kehancuran ekonomi dan psikologis. Ibu yang membiayai anak-anaknya seharusnya di dukung, bukan di hakimi. Masyarakat, ,keluarga besar, bahkan negara, perlu hadir sebagai pendamping dan penompang. Anak-anak juga perlu dididik agar memahami perjuangan ibunya, dan kelak tumbuh menjadi pribadi yang menghargai pengurbanan serta memiliki semaqngat mandiri. Ibu yang membiayai anak-anaknya adalah simbol ketangguhan dan cinta tanpa syarat. Meski tidak diwajibkan oleh syariat, ia memilih jalan sulit demi kebaikan keluarganya. Dalam Islam, perjuangan seperti ini tidak sia-sia. Ia menjadi bentuk sedekah, bukti keteguhan hati, dan jalan menunju kemulian. Di balik kerja kerasnya, ada doa yang terus mengalir dan pahala yang terus menggunung di sisi Allah swt.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image