Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Menikahkan Anak dalam Pandangan Islam: Antara Cinta, Amanah, dan Masa Depan yang Bermartabat

Agama | 2025-07-05 09:57:43

 

Oleh : Muliadi Saleh - Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Menikahkan anak bukan sekadar urusan pesta dan adat, bukan pula sekadar tanda bahwa mereka sudah dewasa secara umur.

Dalam pandangan Islam, menikahkan anak adalah bagian dari kesalehan orang tua, suatu bentuk pelaksanaan amanah besar: menyiapkan kehidupan baru, yang lebih dari sekadar tinggal satu atap— tapi membangun rumah tangga yang berkiblat pada iman, cinta dan kasih sayang.

“Apabila anak telah baligh dan siap, maka orang tua berkewajiban menikahkannya,” demikian dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih klasik.

Hal ini bukan semata aturan sosial, melainkan pancaran nilai-nilai syariah yang memahami bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan,dan pernikahan adalah benteng kesucian.

Allah berfirman:"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahaya lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya..."

(QS. An-Nur: 32)

Ayat ini bukan hanya anjuran, tapi juga janji—bahwa menikahkan anak bukan berarti menjerumuskannya dalam beban, melainkan membuka pintu rizki dan keberkahan.

Sebab dalam pernikahan, tidak hanya dua insan yang bersatu, tapi juga dua keluarga yang saling mendoakan, dua hati yang belajar ikhlas,

dua jiwa yang dilatih saling mencintai karena Allah.

Syekh Muhammad Al-Ghazali menulis dalam “Al-Haq al-Mur”,

bahwa menikahkan anak adalah bagian dari menjaganya dari fitnah dunia yang makin tak tentu arah. Menurutnya, “Menunda pernikahan anak

tanpa alasan syar’i adalah menjerumuskannya

ke dalam potensi maksiat yang lebih besar.” Dalam dunia modern yang penuh godaan, pesan ini terasa makin relevan.

Di sisi lain, menikahkan anak tidak bisa dilakukan serampangan. Islam tidak hanya mementingkan kesiapan umur dan fisik,

tapi juga kesiapan akal, tanggung jawab, dan iman.

Rasulullah SAW bersabda:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu menikah, maka menikahlah..."

(HR. Bukhari-Muslim)

“Mampu” di sini, kata Imam Nawawi dalam syarah-nya,

bukan hanya mampu secara biologis, tapi juga mampu memberi nafkah, bersikap adil, dan memahami makna tanggung jawab suami-istri.

Islam tidak mendorong pernikahan dini tanpa kesiapan. Islam memuliakan pernikahan,

tapi juga meletakkan prinsip maslahat dan kematangan sebagai dasar.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa

"menikahkan anak harus melihat tiga hal: akhlak, agama, dan kematangan berpikir."

Jika ketiganya ada, maka orang tua tak boleh menunda. Namun jika anak masih labil, masih asing terhadap makna tanggung jawab, maka menikahkan mereka bukan solusi,

melainkan membuka masalah baru.

Pernikahan bukan sekadar menghindari zina, tetapi menumbuhkan cinta yang berpahala. Menikahkan anak adalah mempercayakan mereka

pada babak baru kehidupan,

dengan harapan mereka akan saling menuntun,

saling menjaga, dan saling memperteguh iman.

Ibnu Qayyim menulis dalam Tuhfatul Maudud,

“Orang tua yang bijak tidak hanya menyiapkan anaknya untuk sekolah dan kerja,

tapi juga untuk menjadi pasangan yang bertanggung jawab.”

Dan pada saat akad itu diucap, tak hanya ijab kabul yang dilangsungkan,

tapi juga pelepasan secara spiritual. Doa orang tua saat menikahkan anak adalah doa yang menembus langit.

Seperti doa Ibrahim untuk Ismail:

"Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat."

(QS. Ibrahim: 40)

Itulah makna menikahkan anak dalam Islam: bukan hanya untuk meresmikan cinta,tapi untuk melanjutkan dakwah dan membangun peradaban.

Dalam rumah tangga itulah akan lahir generasi baru

yang menegakkan keadilan,

menjaga akhlak, dan meneruskan warisan iman.

Motto Penulis:

"Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban".

Selamat kepada Bapak Ir. Bakhtiar, yang menikahkan anaknya hari ini. Selamat Berbahagia, Insya Allah menjadi Keluarga Salinan Mawaddah wa Rahmah

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image