Kita Gagal Mendengarnya, Kita Terlambat Memeluknya
Nasihat | 2025-07-04 10:03:19
Ada saat di mana dunia terasa terlalu berat untuk dipikul, meski bahumu terlihat tegar. Ada masa di mana kamu bisa tersenyum di depan kelas, menjawab semua soal dengan benar, menyelesaikan skripsi tanpa cela. Tapi di dalam kepalamu, ada badai yang tak kunjung reda.
Itu yang dialami oleh Devita Sari Anugraheni. Dan semoga ia adalah yang terakhir. Ia datang ke bangku kuliah dengan penuh semangat. Menjadi penerima beasiswa adalah prestasi, tapi juga beban. Ia belajar keras, lulus tepat waktu, dan siap diwisuda. Tapi di balik angka IPK 3.8 dan senyum tipisnya, ada pergolakan yang tak tampak. Ia berjuang melawan dirinya sendiri setiap hari. Kadang menang, kadang nyaris kalah. Hingga akhirnya, ia menyerah. Bukan karena lemah, tapi karena sudah terlalu lelah. Ia bukan hanya cerdas, tapi juga terlihat kuat.
Tapi kekeliruan kita sebagai manusia adalah: terlalu cepat percaya bahwa mereka yang terlihat kuat, pasti baik-baik saja.
"Aku pergi ya..."
Begitu tulisnya, dalam surat kecil yang ia sisipkan di dalam tas. Kalimat pembuka yang terdengar biasa, tapi sesungguhnya adalah perpisahan paling lirih.
"Jangan salahkan keluarga, atau tempat aku kuliah. Aku hanya bermasalah dengan diriku sendiri. Aku capek... Maaf. Aku tak sekuat itu."
Kalimat yang menampar pelan siapa saja yang membacanya. Ia tak menuding siapa pun. Tak menyalahkan siapa pun. Bahkan ia meminta maaf karena memilih jalan pulang yang sunyi itu. Seolah ingin memastikan kepergiannya tidak membebani siapa pun, bahkan setelah ia tak ada. Tapi justru di sanalah kita mendengar suara paling keras: jeritan diam dari seorang anak muda yang terlalu lama menyimpan luka.
Dunia yang Tak Pernah Memberi Ruang untuk Lelah
Kita hidup di zaman di mana lelah dianggap kelemahan.
Orang yang mengaku tak baik-baik saja, sering dipelototi dengan kalimat:
"Coba bersyukur dong."
"Masih banyak yang lebih susah dari kamu."
"Jangan lebay, semua orang juga punya masalah."
Kita diajarkan untuk mengejar prestasi, tapi tidak pernah diajarkan bagaimana cara menangani luka. Kita diminta untuk sukses secepat mungkin, tapi tidak pernah diberi ruang untuk bernapas. Dan ketika seseorang patah di tengah jalan, kita bertanya, “Kenapa sih dia begitu? Bukannya hidupnya baik-baik saja?”
Padahal, di balik nilai tinggi, ada insomnia yang panjang.
Di balik senyum ramah, ada kecemasan yang tak bisa dijelaskan.
Di balik tubuh yang hadir di kelas setiap hari, ada keinginan untuk lenyap yang tak pernah diceritakan.
Laporan Tak Tertulis: Lelahku Tak Terbaca
Devita sudah mencoba. Ia mencari bantuan. Ia datang ke layanan konseling kampus. Ia bertemu psikolog. Hingga ia dirujuk untuk bercerita pada psikiater. Tapi barangkali dunia ini terlalu pelit memberikan waktu untuk mendengarkan. Atau barangkali, kita sebagai masyarakat masih terlalu asing dengan bahasa luka.
Ia bahkan pernah mencoba bunuh diri sebelumnya. Ia dirawat di rumah sakit jiwa. Tapi ia kembali. Ia terus mencoba bertahan.
Lalu pada hari itu, 1 Juli 2025, di Jembatan Jurug, Solo, ia memilih pulang.
Pulang dengan tenang, sambil menitipkan pesan yang sangat lirih:
“Tak masalah semua orang bilang yang lain bipolar juga bisa... aku enggak... aku capek. Bu, maaf aku tak sekuat ibu.”
Bengawan Solo tidak pernah berhenti mengalir. Tapi hari itu, airnya membawa pergi seorang gadis yang terlalu senyap dalam penderitaannya. Kisahnya bukan sekadar kabar duka. Ia adalah cermin bagi kita semua.
Cermin bagi sistem pendidikan yang menuntut sempurna, tapi tak menyediakan ruang aman bagi jiwa-jiwa yang retak.
Cermin bagi keluarga yang ingin anaknya sukses, tapi lupa menanyakan, “Apa kamu bahagia?”
Cermin bagi teman-teman yang berkata, “Cerita aja kalau ada apa-apa,” tapi tak pernah betul-betul siap mendengarkan.
Cermin bagi kita semua, yang terbiasa menghakimi sebelum memahami.
Untukmu, yang Sedang Bertahan Hari Ini
Ini bukan tentang Devita saja. Ini tentang kita.
Bacalah kisah ini bukan sebagai tragedi, tapi sebagai pengingat.
Bahwa di sekeliling kita, mungkin ada orang-orang seperti Devita.
Mereka yang berjalan tegap, tapi sesungguhnya sedang limbung.
Mereka yang hadir setiap hari, tapi dalam hatinya sudah lelah untuk melanjutkan.
Dan jika hari ini kamu termasuk di antara mereka, dengarkan ini:
Kamu tidak sendirian.
Kamu boleh lelah.
Kamu boleh berhenti sejenak.
Kamu boleh menangis, mengaku kalah, merasa tidak baik-baik saja.
Tolong, jangan simpan semuanya sendiri. Ada ruang untukmu. Ada orang-orang yang bersedia mendengar, tanpa menghakimi. Dan jika dunia terasa terlalu berat, jangan ragu untuk meminta tolong. Itu bukan tanda kelemahan, itu adalah bentuk keberanian.
Penutup yang Tak Pernah Kita Siapkan
UNS telah memasukkan Devita dalam daftar wisuda, sebagai bentuk penghargaan. Sebuah gestur yang menyentuh, meski tentu terlalu terlambat. Tapi kita masih punya waktu, untuk menyusun ulang cara kita memandang kesehatan mental. Masih ada waktu, untuk menjadi masyarakat yang lebih ramah bagi mereka yang sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Masih ada waktu, untuk mengubah cara kita bertanya: dari “Kamu sudah dapat kerja belum?” menjadi “Kamu benar-benar baik-baik saja?”
Dan Bengawan Solo masih mengalir. Tapi semoga dari arus yang membawa Devita pergi, lahirlah arus lain yang membawa kita pada pemahaman, empati, dan cinta yang tak bersyarat.
Untuk Devita,
Terima kasih telah berjuang sejauh ini.
Selamat beristirahat.
Kami akan melanjutkan perjuanganmu: dengan lebih peduli, lebih peka, dan lebih manusiawi.
Jika kamu membaca ini dan merasa berada di ujung, ketahuilah: ada jalan kembali. Dunia ini memang kejam, tapi tidak semua bagian darinya begitu. Tolong bertahan. Kami di sini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
