Tinjauan Hukum Islam terhadap Fintech Konvensional
Edukasi | 2025-07-03 18:24:50
Perkembangan teknologi finansial (fintech) telah membawa perubahan besar dalam sistem transaksi ekonomi global, termasuk di Indonesia. Layanan keuangan berbasis digital kini dapat diakses dengan mudah oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa dan pelaku usaha mikro. Kemudahan dalam mengakses dana melalui platform pinjaman online menjadikan fintech sebagai alternatif pembiayaan yang dianggap cepat, praktis, dan modern. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul persoalan serius terkait keabsahan dan etika dari sistem yang digunakan, khususnya dalam konteks hukum Islam.
Salah satu permasalahan yang paling mencolok adalah keberadaan bunga tetap, biaya tersembunyi, dan penalti keterlambatan, yang mengandung unsur riba dan secara tegas dilarang dalam syariat Islam. Riba dalam berbagai bentuknya telah dikritisi secara tajam dalam Al-Qur’an dan hadis, serta menjadi perhatian utama para ulama dan cendekiawan muslim dalam merumuskan sistem keuangan yang adil dan berkelanjutan. Dalam ekonomi konvensional, sistem bunga dianggap wajar sebagai bentuk keuntungan, namun dalam perspektif Islam, praktik tersebut dapat memicu ketimpangan sosial, eksploitasi ekonomi, serta ketidakstabilan sistem keuangan.
Praktik pinjaman online berbasis bunga yang banyak digunakan oleh mahasiswa, misalnya melalui platform seperti Akulaku, telah menimbulkan beban psikologis, utang konsumtif, dan potensi pelanggaran terhadap prinsip keadilan dalam transaksi. Literasi keuangan syariah yang rendah dan lemahnya regulasi menjadi faktor utama yang memperparah permasalahan ini. Dalam konteks ini, kajian tentang riba menjadi semakin relevan, terutama untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip syariah dapat diaktualisasikan dalam dunia keuangan digital.
Upaya untuk memahami kembali makna, jenis, dan hukum riba dalam Islam bukan hanya menjadi wacana keilmuan semata, tetapi juga menjadi kebutuhan praktis dalam membangun ekosistem keuangan yang bebas riba, adil, dan inklusif. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kembali konsep riba dari perspektif Islam, mengidentifikasi bentuk-bentuknya, serta menganalisis relevansinya dalam praktik fintech saat ini, khususnya terhadap dampaknya bagi generasi muda muslim.
A. Pengertian Riba dalam Perspektif Islam Riba adalah konsep penting dalam ekonomi Islam yang sejak awal telah menjadi fokus pembahasan para ulama dan pemikir muslim. Dari sisi bahasa, riba berasal dari kata kerja Arab "raba" yang berarti bertambah atau berkembang. Makna ini menggambarkan adanya unsur kelebihan atau tambahan dalam suatu transaksi, baik dalam hal kuantitas maupun waktu (Effendi, 2020). Pemahaman ini kemudian berkembang dalam kajian fikih menjadi konsep yang lebih teknis, yakni sebagai tambahan yang diambil secara tidak sah atas harta atau nilai tukar dalam proses transaksi. Secara istilah, riba diartikan sebagai penambahan yang disyaratkan dalam transaksi utang-piutang atau pertukaran barang ribawi yang tidak disertai dengan imbalan yang setara. Penambahan ini muncul bukan karena produktivitas atau jasa, tetapi semata-mata karena berlalunya waktu, dan justru itulah yang menjadi titik persoalan dalam hukum Islam (Abdusshamad, 2014).
Dalam hal ini, riba menjadi simbol dari ketimpangan relasi ekonomi karena pihak pemilik modal mendapatkan keuntungan tanpa menanggung risiko apapun, sementara pihak peminjam harus menanggung beban tambahan. Chapra menjelaskan bahwa riba bertentangan secara langsung dengan semangat keadilan yang menjadi inti sistem ekonomi Islam. Ia menyebut bahwa keuntungan tanpa risiko adalah bentuk ketidakadilan ekonomi yang merusak distribusi kekayaan secara seimbang (Chapra, 2009).
Sedangkan menurut Ghofur, riba menjadi akar dari eksploitasi ekonomi karena keuntungan diperoleh bukan dari pertukaran nilai yang adil, melainkan dari dominasi pihak pemodal atas pihak yang lemah (Ghofur, 2016). Pandangan-pandangan ini menegaskan bahwa riba tidak sekadar pelanggaran hukum syariah, tetapi juga pelanggaran moral dan sosial. Lebih jauh lagi, riba memiliki dampak yang luas terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, karena sistem ini memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang dan memperbesar jurang sosial antara si kaya dan si miskin.
Saifullah menambahkan bahwa riba adalah bentuk kezaliman ekonomi yang dilembagakan, karena secara sistematis menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, bahkan bisa mengarah pada perbudakan utang dalam jangka panjang (Saifullah, 2014). Oleh karena itu, memahami konsep riba dalam Islam tidak cukup hanya dari aspek larangan hukumnya, tetapi juga dari perspektif filosofis dan sosial yang lebih luas, sebagai upaya membangun sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan berkeadaban.
B. Klasifikasi dan jenis-jenis riba Para ulama telah merumuskan berbagai jenis riba berdasarkan bentuk dan situasi terjadinya, sebagai upaya untuk memperjelas batasan yang ditetapkan syariat. Pemahaman terhadap klasifikasi ini penting, terutama agar masyarakat muslim tidak terjerumus pada praktik ekonomi yang dilarang, baik secara sadar maupun tanpa disadari. Secara umum, riba dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk utama, yang masing-masing memiliki karakteristik dan implikasi yang berbeda, baik dalam konteks perdagangan maupun keuangan modern.
Berikut adalah bentuk-bentuk riba sebagaimana dijelaskan dalam literatur fikih dan ekonomi Islam:1) Riba al-Nasī’ah Jenis riba ini merupakan tambahan yang diberikan karena pembayaran utang ditunda atau diperpanjang waktunya. Dalam praktiknya, hal ini sering muncul dalam bentuk bunga tetap yang dikenakan atas pinjaman tunai. Bunga tersebut tidak ada kaitannya dengan aktivitas ekonomi riil, melainkan hanya berdasarkan perpanjangan waktu pelunasan. Inilah yang menjadi dasar kritik terhadap sistem bunga dalam perbankan konvensional (Chapra, 2009). Tambahan semacam ini dianggap bertentangan dengan keadilan karena memberikan keuntungan pasti kepada kreditur tanpa mempertimbangkan kerugian yang mungkin diderita oleh peminjam.2) Riba al-Faḍl Riba ini muncul ketika terjadi pertukaran barang sejenis secara tidak seimbang. Misalnya, jika dua pihak menukar komoditas seperti beras atau emas dalam jumlah yang berbeda, padahal barang tersebut tergolong barang ribawi yang wajib setara dalam pertukaran, maka kelebihan tersebut dianggap sebagai riba. Ghofur menjelaskan bahwa bentuk riba ini lebih sering muncul dalam transaksi jual beli harian, terutama jika tidak disadari bahwa pertukaran yang dilakukan mengandung unsur ketimpangan (Ghofur, 2016). Sementara itu, Saifullah mengingatkan bahwa riba ini tetap berlaku meski jumlah barang sama, apabila transaksi tidak dilakukan secara tunai (Saifullah, 2014).3) Riba al-Qardh Dalam konteks ini, riba terjadi dalam pinjaman uang atau barang yang disertai syarat tambahan.
Tambahan tersebut bisa berupa pengembalian yang lebih besar dari pokok pinjaman, atau hadiah yang telah disepakati sebelumnya. Effendi menyebut bahwa meskipun tambahan itu tampak sebagai “pemberian sukarela”, namun bila menjadi kebiasaan atau diharapkan, maka tetap dikategorikan sebagai riba karena adanya kelebihan yang tidak wajar atas pinjaman (Effendi, 2020).4) Riba al-Yad Jenis riba ini terjadi ketika terjadi keterlambatan dalam proses serah terima pada transaksi barang sejenis yang seharusnya dilakukan tunai dan di tempat akad berlangsung. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barang, maka hal itu membuka ruang ketidakpastian yang bisa mengarah pada eksploitasi. Abdusshamad menyampaikan bahwa dalam konteks ini, Islam menekankan pentingnya transaksi yang selesai dalam satu majelis untuk menghindari celah timbulnya riba (Abdusshamad, 2014).5) Riba Jahiliyah Riba ini merupakan bentuk praktik yang umum terjadi sebelum datangnya Islam. Polanya adalah menunda pembayaran utang dengan syarat adanya tambahan jumlah yang harus dibayar oleh debitur. Sistem ini menciptakan beban utang yang terus meningkat dan berujung pada kesulitan ekonomi yang lebih besar bagi pihak peminjam. Menurut Saifullah, riba semacam ini sangat eksploitatif karena memberikan keuntungan berlipat bagi pemberi pinjaman tanpa risiko apa pun (Saifullah, 2014). Dengan memahami secara rinci jenis-jenis riba di atas, kita dapat lebih berhati-hati dalam menjalankan transaksi keuangan, khususnya di era modern yang semakin kompleks. Banyak bentuk riba kini hadir dalam balutan yang lebih rapi dan sistematis, seperti dalam bentuk bunga bank, biaya administrasi yang tidak transparan, atau penalti keterlambatan dalam pinjaman daring. Karena itu, klasifikasi ini menjadi landasan penting dalam membangun sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan menghindarkan umat dari ketidakadilan struktural dalam transaksi finansial.C. Hukum Islam terhadap Riba dan Konsensus Ulama Larangan riba dalam Islam ditegaskan melalui proses yang bertahap dalam Al-Qur’an, menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini dalam ajaran Islam. Menurut Chapra, proses pelarangan dimulai dengan penyebutan bahwa harta yang diperoleh dari riba tidak akan diberkahi (QS. ar-Rūm:39), lalu dilanjutkan dengan kecaman terhadap praktik riba yang dilakukan oleh Bani Israil (QS. an-Nisā’:161), dan akhirnya ditutup dengan larangan tegas serta ancaman berupa deklarasi perang dari Allah dan Rasul-Nya kepada pelaku riba dalam QS. al-Baqarah:275–279 (Chapra, 2009). Strategi bertahap ini mencerminkan pendekatan moral yang mendidik masyarakat secara perlahan untuk meninggalkan praktik yang telah mengakar. Ghofur menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut bila dibaca sebagai satu kesatuan, menunjukkan bahwa riba dilarang dalam bentuk apapun, baik yang kecil maupun besar, dan baik dalam konteks konsumtif maupun produktif (Ghofur, 2016). Sedangkan menurut Effendi, pelarangan riba bukan hanya berbicara soal larangan transaksional, tetapi lebih dalam menyentuh aspek keadilan sosial, karena riba menciptakan sistem ekonomi yang timpang dan merugikan masyarakat bawah (Effendi, 2020). Selain melalui Al-Qur’an, pelarangan riba juga ditegaskan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah melaknat tidak hanya orang yang mengambil riba, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat seperti pemberi, pencatat, dan saksinya. Saifullah mencatat bahwa kesetaraan dosa di antara semua pihak yang terlibat menunjukkan bahwa riba adalah sistem dosa kolektif, bukan hanya tanggung jawab individu (Saifullah, 2014). Dalam hadis lain, Rasulullah menggambarkan bahwa dosa riba melebihi dosa zina sebanyak 36 kali, bahkan seperti berzina dengan ibu kandung sendiri. Narasi ini menunjukkan bahwa Islam memandang riba sebagai salah satu bentuk kerusakan sosial yang paling parah. Sementara itu, para ulama dari berbagai mazhab menyepakati bahwa riba dalam segala bentuknya adalah haram. Quraish Shihab menegaskan bahwa larangan riba merupakan bentuk perlindungan terhadap masyarakat dari ketidakadilan ekonomi dan dominasi kekuasaan finansial atas kelompok yang lemah (Ghofur, 2016). Konsensus ini tidak hanya berasal dari ulama klasik, tetapi juga diperkuat oleh fatwa-fatwa lembaga kontemporer seperti Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Syariah Nasional, yang menyatakan bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang diharamkan. Meski terdapat perbedaan kecil dalam batasan teknis dan pendekatan kasus modern, namun secara prinsipil, seluruh ulama sepakat bahwa riba bertentangan dengan maqashid syariah, khususnya dalam menjaga keadilan ekonomi dan mencegah eksploitasi.D. Praktik Riba dalam Layanan Fintech Konvensional Kemajuan teknologi di bidang keuangan telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengakses layanan pinjaman. Melalui platform berbasis digital, seperti pinjaman online atau aplikasi keuangan berbasis daring, pengguna kini dapat dengan mudah mengajukan pinjaman tanpa harus bertemu langsung atau menyerahkan jaminan fisik. Namun, kemudahan ini ternyata dibarengi dengan persoalan serius dari sisi etika dan hukum Islam, khususnya menyangkut keberadaan bunga tetap dan denda keterlambatan yang melekat pada layanan tersebut. Dalam perspektif ekonomi Islam, praktik semacam itu mengandung unsur riba al-nasī’ah, yaitu tambahan yang dikenakan pada utang karena penundaan pembayaran. Konsep ini telah lama dinyatakan sebagai bentuk riba yang jelas dilarang karena keuntungan yang diperoleh tidak berasal dari aktivitas produktif, melainkan semata-mata dari berlalunya waktu (Chapra, 2009). Salah satu contoh nyata dari praktik ini dapat dilihat dalam layanan pinjaman online seperti Akulaku. Dalam penelitiannya, Aziz dan rekan-rekannya mengungkapkan bahwa mahasiswa yang menjadi pengguna platform tersebut kerap kali mengalami kesulitan membayar cicilan karena bunga yang cukup tinggi serta sistem penalti yang menambah jumlah utang secara signifikan jika terjadi keterlambatan (Aziz et al., 2025). Di sinilah letak permasalahan syariahnya, karena platform tersebut mengambil keuntungan dari kondisi sulit debitur, bukan dari hasil kerja sama usaha. Hal ini menimbulkan ketimpangan yang tajam antara pemberi pinjaman yang terus diuntungkan, dan peminjam yang terbebani, apalagi jika mereka masih berstatus mahasiswa tanpa penghasilan tetap. Dari sudut pandang sosial, sistem pinjaman semacam ini tidak hanya berpotensi merugikan secara ekonomi, tetapi juga berdampak pada aspek psikologis dan kesejahteraan pengguna. Effendi menjelaskan bahwa sistem bunga tetap pada utang digital dapat memperkuat struktur ekonomi yang timpang, karena pemilik modal tidak menanggung risiko apapun, sementara peminjam berada dalam posisi terdesak yang semakin sulit (Effendi, 2020). Maka, meskipun layanan fintech terkesan modern dan efisien, jika struktur dasarnya mengandung unsur riba, maka ia tetap menjadi praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengedepankan keadilan dan perlindungan terhadap pihak lemah.E. Regulasi dan Perspektif Hukum Islam terhadap Riba Digital Meningkatnya penggunaan platform digital dalam transaksi keuangan turut menghadirkan tantangan dalam pengaturan hukum dan etika, terutama dalam menjawab pertanyaan: apakah sistem tersebut sudah sejalan dengan prinsip-prinsip Islam? Di Indonesia, keberadaan layanan fintech konvensional telah diatur melalui beberapa regulasi seperti Peraturan OJK No. 77 Tahun 2016 yang mengatur pinjam-meminjam berbasis teknologi. Namun, substansi hukum yang ada belum menyentuh isu-isu mendalam seperti larangan riba, kejelasan akad, atau distribusi risiko yang adil. Wahyuni menyebut bahwa di tengah pertumbuhan ini, penting untuk memperkuat peran hukum ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang menjawab kebutuhan umat secara nilai dan substansi, bukan sekadar administratif (Wahyuni, 2019). Riba yang terjadi dalam transaksi digital bukanlah pelanggaran biasa. Dalam Islam, riba dipandang sebagai bentuk kezaliman struktural karena secara sistematis menguntungkan pihak tertentu (biasanya pemilik modal) tanpa risiko, dan membebani pihak yang membutuhkan dana dengan kewajiban membayar lebih dari yang mereka terima. Effendi menyebut bahwa sistem bunga tetap seperti ini memperparah kesenjangan sosial karena keuntungannya tidak adil dan tidak berasal dari usaha produktif (Effendi, 2020). Ketimpangan inilah yang menjadi alasan utama mengapa riba dilarang, bukan hanya karena pelanggaran hukum agama, tetapi karena dampaknya yang merusak keadilan ekonomi. Islam memandang larangan riba sebagai perkara yang sangat serius. Dalam QS. al-Baqarah:279, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang tidak meninggalkan riba setelah larangan datang, maka hendaknya mereka siap menerima “perang dari Allah dan Rasul-Nya”. Ayat ini bukan hanya bentuk peringatan, tetapi isyarat bahwa riba adalah sumber kehancuran sistemik dalam masyarakat dan peradaban. Maka, pendekatan hukum terhadap praktik riba digital tidak cukup jika hanya bersifat administratif; ia perlu menyentuh nilai dan maqashid syariah, yakni tujuan utama hukum Islam dalam menjaga keadilan, keberkahan harta, dan keseimbangan sosial. Namun demikian, Wulandari dan Nasik mencatat bahwa sistem regulasi fintech saat ini belum memfasilitasi kejelasan antara sistem konvensional dan syariah. Akibatnya, masyarakat kerap kesulitan membedakan mana layanan yang benar-benar sesuai syariah dan mana yang sekadar "berlabel" syariah (Wulandari & Nasik, 2021). Di sisi lain, banyak juga pelaku industri yang tidak memahami esensi riba, sehingga praktik seperti bunga tetap, denda keterlambatan, atau biaya tersembunyi tetap dilakukan meskipun mengklaim menggunakan akad syariah. Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan sinergi antara lembaga otoritas negara seperti OJK dan Bank Indonesia, bersama dengan lembaga keulamaan seperti DSN-MUI dan akademisi di bidang ekonomi Islam. Penyusunan regulasi harus tidak hanya menekankan kepatuhan hukum formal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai substansial Islam agar mampu membentuk sistem keuangan yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga adil, bermartabat, dan berkah. Dengan begitu, umat Islam tidak hanya akan merasa nyaman secara teknis, tetapi juga tenang secara spiritual dalam menggunakan layanan keuangan di era digital.F. Perbandingan Mekanisme Fintech Konvensional dan Fintech Syariah Salah satu perbedaan paling mencolok antara fintech konvensional dan fintech syariah terletak pada pendekatan terhadap sistem keuntungan dan risiko. Fintech konvensional secara umum menggunakan model interest-based lending, di mana pemberi pinjaman menetapkan bunga sebagai keuntungan tetap atas modal yang dipinjamkan. Skema ini bersifat sepihak, karena penyedia dana akan selalu mendapatkan keuntungan, tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan peminjam atau hasil dari dana yang dipinjam (Wulandari & Nasik, 2021). Akibatnya, tanggung jawab sepenuhnya ditumpukan kepada peminjam, sementara penyedia dana tidak terlibat dalam risiko usaha atau pengelolaan dana tersebut. Berbeda dengan itu, fintech syariah dibangun di atas prinsip keadilan dan kerja sama, di mana keuntungan dan risiko dibagi secara proporsional antara para pihak. Menurut Wahyuni, fintech syariah menggunakan skema akad yang sesuai syariat seperti musyarakah, mudharabah, murabahah, dan wakalah, yang masing-masing memiliki karakteristik dalam membagi peran dan tanggung jawab antara pemilik dana dan pengguna dana (Wahyuni, 2019). Dalam sistem ini, penyedia dana tidak hanya menjadi pihak yang menunggu keuntungan, tetapi juga turut bertanggung jawab atas hasil akhir transaksi. Dengan mekanisme ini, tidak hanya riba dapat dihindari, tetapi juga tercipta sistem yang lebih beretika dan inklusif. Melalui perbandingan ini, dapat dipahami bahwa perbedaan antara fintech konvensional dan syariah bukan hanya berada pada istilah atau bentuk akad, melainkan menyentuh aspek mendasar mengenai keadilan ekonomi. Sistem syariah berusaha menyeimbangkan kepentingan pemilik modal dan pengguna dana, serta membangun mekanisme transaksi yang tidak merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu, jika ingin menghadirkan sistem keuangan digital yang tidak hanya efisien tetapi juga adil dan berkelanjutan, maka pendekatan syariah perlu dijadikan pijakan utama dalam pengembangan fintech di Indonesia.G. Akad-Akad Syariah dalam Fintech dan Perlindungan dari Riba Untuk memastikan bahwa transaksi keuangan dalam layanan fintech berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, penggunaan akad yang sah menurut syariat menjadi elemen yang sangat krusial. Akad dalam Islam bukan hanya kontrak hukum semata, tetapi merupakan komitmen moral yang mengikat kedua belah pihak dalam hubungan muamalah secara adil dan transparan. Wahyuni menjelaskan bahwa dalam konteks ekonomi syariah, setiap akad wajib memenuhi sejumlah prinsip dasar, antara lain adanya kerelaan antarpihak, kejelasan perjanjian, tidak mengandung penipuan, serta bebas dari unsur riba, gharar (ketidakjelasan), dan maisir (spekulasi) (Wahyuni, 2019). Apabila salah satu unsur ini dilanggar, maka transaksi tersebut bisa batal demi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
