Hijrah Digital: Ketika Dakwah Bertemu Algoritma
Agama | 2025-07-03 16:37:49Dahulu, orang belajar agama dari berbagai majelis taklim, khutbah jum’at, atau membaca al- quran, tafsir, dan kitab kuning. Sekarang, cukup dengan membuka media sosial dengan membuka Tiktok, bisa mengaji dalam hitungan menit. Berbagai tausyah masuk FYP. Ayat Al- Qur’an dilantunkan dengan backsound lofi. Bahkan ceramah tentang kiamat bisa dikemas seperti trailer film.
Inilah ketika Dakwah bertemu algoritma. Tapi apakah ini sebuah berkah, atau jebakan zaman?
Dakwah pada masa sekarang memang telah mengubah wajah dakwah. Banyak ustad dan ustadzah muda bermunculan, membahas agama dengan Bahasa yang ringan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Media sosial adalah mimbar baru umat Islam,tempat mencari berbagai jawaban, bukan hanya hiburan,” kata Dr. Zainal Abidin Bagir, peneliti agama dan media di UGM. Dakwah digital membuat peran Islam lebih mudah diakses. Topik-topik seperti self-healiang, hijrah, adab, hingga cinta dalam Islam, jadi lebih popular dan menarik di kalangan anak muda.
Namun, semua itu juga datang dengan tantangan yang baru: apa yang lebih dikejar hikmah atau view?
Konten dakwah kini harus “ berjuang” melawan konten lain di linimasa: Challenge joget, prank absurd, hingga gosep seleb. Untuk bisa bersaing, para pendakwah harus mengikuti logika Algoritma pendek, cepat, emosional, dan mudah dicerna.
Seperti yang dikatakan Jose Van Dijck, dalam bukunya The Platform Society:
“ Platform digitak tidak netral. Mereka mengatur informasi berdasarkan logika keterlibatan, bukan kebenaran.”
Artinya, yang viral pada saat ini belum tentu benar, dan yang benar belum tentu viral.
Demi menarik perhatian, tak sedikit konten dakwah yang akhirnya berubah bentuk. Ceramah dipotong untuk memuncul efek dramatis. Judul dibuat bombastis. Kontroversi sengaja dipicu agar lebih banyak orang menonton.
Fenomena ini disebut oleh KH. Agus Ma’arif dari Maarif Institute sebagai:
“ Komodifikasi agama, ketika dawah tidak lagi membawa pencerahan, tapi hanya menjadi tontonan yang dikemas dengan semenarik mengkin.”
Akibatnya? Mucul bias. Orang mudah salah paham terhadap ajaran Islam karena hanya melihat potongn video tanpa konteks.
Kita adalah konsumen sekaligus produsen informasi. Algoritma hanya memberi kita berbegai informasi yang sering kita tonton. Maka, kalua kita lebih sering klik konten bijak dan mendalam, algoritma akan mengikutinya.
Mari jadikan media sosial bukan hanya tempat hiburan, tapi juga ladang hikmah. Bukan ladang sensasi.
Ketika dakwah bertemu algoritma, kita sedang menghadapi dua kekuatan: satu dari langit, satu lagi dari logika mesin. Tantangannya adalah menyatukan nilai spiritual dengan strategi digital, tanpa kehilangan keikhlasan. Semoga pendakwah tetap menjaga isi, dan para pendengar tetap haus akan makna. Karena dakwah sejatinya bukan tampil tapi menyatukan hati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
