Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Raisa Abdullah Ballahmar

Demokrasi yang Terkikis: Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi dan Tuntutan Reformasi Hukum

Politik | 2025-07-01 23:29:34

Pendahuluan

Demokrasi tidak hanya sistem politik yang menjamin pergantian kekuasaan secara berkala melalui pemilu, melainkan juga jaminan atas hak-hak konstitusional setiap warga negara, keadilan hukum, dan integritas lembaga negara. Namun, demokrasi dapat mengalami kemunduran jika prinsip-prinsip tersebut dilanggar, terutama oleh lembaga yang justru seharusnya menjadi pelindung konstitusi.

Fenomena penurunan demokrasi di Indonesia semakin terasa dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya terlihat dari melemahnya independensi lembaga yudikatif. Kasus pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman menjadi cermin krisis yang lebih besar: ketika pengawal konstitusi sendiri melanggar norma hukum dan etika, maka demokrasi berada dalam posisi genting.

Dalam situasi ini, muncul kebutuhan mendesak akan mekanisme hukum baru yang memungkinkan rakyat menggugat langsung pelanggaran terhadap hak-haknya oleh negara. Salah satu yang relevan adalah constitutional complaint, sebagaimana diusulkan dalam artikel ilmiah Jurnal Konstitusi. Gagasan ini membuka peluang penting untuk memperkuat perlindungan konstitusional dan memperlambat laju penurunan demokrasi.

Pembahasan

Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia belakangan ini tidak hanya tercermin dalam pelemahan fungsi legislatif atau eksekutif, tetapi juga dalam krisis kepercayaan terhadap lembaga yudikatif, terutama Mahkamah Konstitusi (MK). MK yang semestinya menjadi benteng terakhir perlindungan hak konstitusional justru menjadi sorotan karena pelanggaran kode etik oleh salah satu hakimnya, Anwar Usman. Pelanggaran ini bukan hanya menyangkut soal etik personal, tetapi berdampak langsung pada legitimasi putusan MK dan sistem demokrasi secara keseluruhan. Kasus Anwar Usman sangat simbolik karena menyangkut putusan penting terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan MK yang membuka peluang bagi keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam Pemilu 2024 mengundang kecurigaan publik mengenai adanya konflik kepentingan. Lebih lanjut, Anwar Usman kemudian kembali dinyatakan melanggar kode etik karena melakukan langkah hukum ke PTUN dan menggelar konferensi pers terkait pencopotannya dari kursi Ketua MK. Tindakan ini memperlihatkan bahwa bahkan di tingkat tertinggi yudikatif, prinsip etika publik dan batas kepatutan bisa dilanggar demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Krisis ini mencerminkan gejala klasik dari penurunan demokrasi (democratic backsliding), yaitu ketika institusi-institusi demokrasi digunakan untuk melayani kepentingan elite politik alih-alih menjamin kepentingan rakyat. Demokrasi sejatinya bukan hanya prosedural diselenggarakannya pemilu, misalnya tetapi juga substantif: menjamin keadilan, transparansi, partisipasi, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Ketika lembaga yudikatif yang seharusnya netral justru berpihak, maka rakyat tidak lagi memiliki jaminan keadilan konstitusional. Dalam situasi ini, gagasan mengenai constitutional complaint menjadi sangat penting. Dalam artikel “Menggagas Constitutional Complaint dalam Memproteksi Hak Konstitusional Warga Negara” (Anjas Krisdanar, V. D., 2020), disebutkan bahwa mekanisme ini adalah sarana hukum yang memungkinkan setiap warga negara untuk menggugat tindakan negara yang dianggap melanggar hak konstitusionalnya, meski tindakan tersebut dilakukan oleh pejabat atau lembaga negara yang tinggi seperti MK, presiden, atau DPR. Dengan demikian, rakyat memiliki jalur hukum langsung untuk memperjuangkan hak-haknya. Berbeda dengan judicial review yang hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang terkena dampak langsung dari norma undang-undang, constitutional complaint memberi ruang lebih luas untuk menanggapi tindakan negara, bahkan tindakan non-legislatif, yang secara nyata mengancam hak-hak warga negara. Dalam kasus seperti Anwar Usman, misalnya, jika seorang warga negara merasa bahwa putusan MK terkait batas usia capres berdampak pada hak pilihnya secara tidak adil, maka ia bisa mengajukan constitutional complaint. Ini adalah bentuk kontrol horizontal dari rakyat terhadap kekuasaan negara.

Negara-negara dengan tradisi demokrasi mapan seperti Jerman, Korea Selatan, atau Spanyol telah lama mengadopsi mekanisme constitutional complaint sebagai bentuk perlindungan hak asasi dan demokrasi. Di Jerman, Verfassungsbeschwerde memungkinkan individu menggugat keputusan pengadilan atau tindakan administratif yang dianggap bertentangan dengan hak konstitusional. Hasilnya, lembaga negara cenderung lebih hati-hati dalam membuat keputusan karena sadar akan potensi gugatan dari warga negara. Sayangnya, Indonesia belum memiliki mekanisme ini secara formal. Akibatnya, rakyat tidak memiliki instrumen hukum yang cukup untuk mengoreksi pelanggaran konstitusi yang bersifat non-normatif. Hal ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi karena membuka ruang bagi kekuasaan tanpa pengawasan (unaccountable power). Jika situasi seperti ini dibiarkan terus-menerus, maka penurunan demokrasi bukan lagi sekadar potensi, tetapi kenyataan.

Lebih dari itu, penurunan demokrasi juga bisa dilihat dari sikap apatis publik. Ketika masyarakat merasa bahwa tidak ada lagi ruang untuk memperjuangkan keadilan, maka mereka menjadi pasif dan menjauh dari proses politik. Ini adalah ancaman besar bagi demokrasi, karena demokrasi hanya bisa hidup jika ada partisipasi aktif dari warganya. Oleh karena itu, menyediakan mekanisme hukum seperti constitutional complaint bukan hanya soal prosedur, tetapi soal memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan bekerja untuk rakyat.

Penutup

Demokrasi bukan hanya sistem politik yang menjamin pergantian kekuasaan secara berkala melalui pemilu, melainkan juga jaminan atas hak-hak konstitusional setiap warga negara, keadilan hukum, dan integritas lembaga negara. Namun, demokrasi dapat mengalami kemunduran jika prinsip-prinsip tersebut dilanggar, terutama oleh lembaga yang justru seharusnya menjadi pelindung konstitusi. Fenomena penurunan demokrasi di Indonesia semakin terasa dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya terlihat dari melemahnya independensi lembaga yudikatif. Kasus pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman menjadi cermin krisis yang lebih besar: ketika pengawal konstitusi sendiri melanggar norma hukum dan etika, maka demokrasi berada dalam posisi genting. Dalam situasi ini, muncul kebutuhan mendesak akan mekanisme hukum baru yang memungkinkan rakyat menggugat langsung pelanggaran terhadap hak-haknya oleh negara. Salah satu yang relevan adalah constitutional complaint, sebagaimana diusulkan dalam artikel ilmiah Jurnal Konstitusi. Gagasan ini membuka peluang penting untuk memperkuat perlindungan konstitusional dan memperlambat laju penurunan demokrasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image