Menjaga Hutan, Menata Peradaban
Kebijakan | 2025-07-01 22:50:28Pendampingan kehutanan sosial tak sekadar menjaga pohon tumbuh, tapi membangun kesadaran kolektif untuk menata kembali arah pembangunan yang berkeadilan.
Di banyak sudut desa yang bersisian dengan hutan, warga bangun pagi bukan hanya untuk menjemput rezeki, tapi juga menjaga warisan hidup yang rapuh: air bersih dari lereng, udara sejuk dari kanopi, dan hasil hutan yang menopang dapur sederhana mereka. Kehutanan sosial hadir sebagai janji perubahan—membuka akses kelola, menguatkan hak masyarakat, dan menjanjikan bahwa hutan tak lagi sekadar milik negara atau korporasi, tapi milik bersama.
Namun, di balik deretan program dan piagam keberhasilan, masih terselip pertanyaan yang belum terjawab: mengapa masyarakat tetap berada di pinggiran sistem? Mengapa mereka hanya menjadi pelaksana, sementara yang menentukan arah produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya alam tetap dikuasai oleh segelintir aktor besar?
Pertanyaan ini bukan basa-basi akademik. Ini adalah panggilan hati: bagaimana agar pendampingan kehutanan sosial benar-benar berpihak? Bukan hanya transfer keterampilan menanam, membuat pupuk, atau mengolah hasil hutan, melainkan memampukan warga menjadi subjek yang berani bersuara dan mengambil peran dalam sistem pangan, air, dan energi yang selama ini terlalu sentralistik dan eksploitatif.
Pendampingan sejati tidak hanya mengajarkan cara mengelola lahan, tetapi juga menyalakan api kesadaran. Ia harus membangun ruang kolektif—di mana warga bisa berhimpun, bermusyawarah, dan menyusun strategi. Di mana koperasi rakyat bukan sekadar formalitas, tapi betul-betul jadi tulang punggung ekonomi lokal. Di mana lembaga pengelola air desa tak hanya menghitung debit air, tapi juga menjaga nilai dan kearifan yang diwariskan leluhur. Dan di mana transisi energi—seperti mikrohidro, surya, atau biogas—bukan proyek instan, tapi jalan panjang menuju kemandirian.
Tapi mari jujur: memperkuat masyarakat bukan berarti memindahkan beban negara ke pundak desa. Ini jebakan yang harus kita waspadai. Banyak program pembangunan menjadikan masyarakat seolah-olah "mandiri", padahal hanya ditinggal sendirian. Negara tidak boleh absen. Ia tetap harus hadir—bukan dengan instruksi kaku, tapi dengan keberpihakan yang nyata: membuka akses modal, menjamin pasar yang adil, dan melindungi hak warga ketika berhadapan dengan kepentingan besar.
Di titik inilah peran pendamping menjadi sangat penting. Bukan hanya sebagai pelatih, tapi sebagai jembatan antara suara masyarakat dan struktur kebijakan. Pendamping yang baik tidak hanya bicara data, tapi juga mendengarkan keresahan. Ia memahami bahwa kerja-kerja kehutanan sosial adalah kerja ekologi dan politik sekaligus. Kerja yang menuntut keberanian, kesabaran, dan kemampuan membaca relasi kuasa.
Sebab masyarakat bukan obyek. Mereka adalah manusia utuh yang punya hak untuk menentukan arah hidupnya. Pendampingan yang sejati membuka ruang dialog sejajar antara negara dan komunitas, antara desa dan kebijakan, antara akar rumput dan rencana pembangunan dari atas.
Tentu saja, ini semua tidak mudah. Kita butuh pendamping yang peka membaca dinamika sosial, memahami konteks ekologis, dan berani berpihak saat harus memilih. Kita butuh pendamping yang tidak hanya mengejar target proyek, tapi mampu menumbuhkan harapan jangka panjang—harapan yang pelan-pelan tumbuh bersama pohon dan kepercayaan.
Sebab pada akhirnya, pendampingan kehutanan sosial bukan soal laporan keberhasilan, tapi soal kedaulatan. Kedaulatan atas tanah, air, benih, dan energi. Kedaulatan yang tidak datang dari bantuan, tapi dari kesadaran dan pengorganisasian yang kuat.
Masa depan kehutanan sosial tidak boleh diserahkan begitu saja kepada logika pasar karbon atau proyek-proyek hijau yang hanya menarik di presentasi. Ia harus lahir dari bawah, dari desa yang terorganisir, dari masyarakat yang sadar akan haknya, dan dari proses pendampingan yang berani memperjuangkan keadilan.
Dan dari sanalah, kita bisa percaya: menjaga hutan bukan hanya menyelamatkan pohon, tapi juga menyemai peradaban. Peradaban yang berakar, berdiri tegak, dan tumbuh bersama mereka yang paling tahu arti menjaga—masyarakat di tapak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
