Meriah di Depan, Tercoreng di Belakang: Relevankah Perayaan Mewah Polri?
Hukum | 2025-07-01 17:32:38
Pendahuluan
Peringatan Hari Bhayangkara RI ke-79 pada 1 Juli 2025 digelar secara besar-besaran di kawasan Monas, Jakarta. Presiden Prabowo, Wakil Presiden Gibran, serta berbagai tokoh penting hadir menyaksikan parade kebesaran institusi Kepolisian Republik Indonesia. Artis ibu kota turut memeriahkan, dan perayaan serupa juga digelar di daerah. Namun, di balik kemegahan yang terpancar di mimbar kehormatan itu, terselip ironi: wajah institusi Polri masih dipenuhi catatan pelanggaran, kekerasan, hingga penyalahgunaan kekuasaan.
Isi Pembahasan
Kontras mencatat bahwa antara Juli 2024 hingga Juni 2025, terjadi 602 peristiwa kekerasan oleh aparat Polri, termasuk 411 penembakan, 38 penyiksaan, serta 37 kasus pembunuhan di luar hukum. Bahkan 44 salah tangkap, 89 pelanggaran kebebasan sipil, dan 42 pembubaran paksa aksi juga tercatat. Jika menoleh ke belakang, periode Juli 2023–Juni 2024 justru mencatat angka yang lebih tinggi: 645 kasus kekerasan, menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas.
Di saat masyarakat sipil & mahasiswa, jurnalis, petani, bahkan aktivis HAM; masih rentan menjadi korban represi, aparat justru disibukkan dengan prosesi dan pencitraan. Alih-alih menampakkan wajah reflektif dan berbenah, Polri memilih menonjolkan simbol kemegahan. Lebih memprihatinkan lagi, data internal menunjukkan bahwa pada 2024 ada 1.827 pelanggaran kode etik profesi oleh personel, dan 4.572 putusan disiplin, termasuk pemberhentian tidak hormat, penundaan pendidikan, dan penurunan pangkat.
Kontras ini menimbulkan pertanyaan kritis: untuk siapa sebenarnya perayaan ini ditujukan? Apakah untuk merayakan keberhasilan, atau sekadar menutup luka yang belum sembuh?
Jika institusi ingin mengembalikan kepercayaan publik, maka prioritas seharusnya bukan seremoni, melainkan reformasi menyeluruh. Merayakan tanpa evaluasi adalah bentuk pengabaian terhadap rasa keadilan masyarakat. Dalam negara hukum, wajah aparat penegak hukum seharusnya mencerminkan keadilan, bukan ketakutan.
Penutup
Perayaan Hari Bhayangkara memang punya tempat dalam tradisi institusi. Tapi ketika angka pelanggaran dan ketidakadilan masih tinggi, maka sudah semestinya kemeriahan dibarengi dengan introspeksi. Polri tidak cukup hanya menunjukkan barisan rapi dan panggung megah. Yang lebih mendesak adalah membenahi barisan integritas, profesionalisme, dan empati terhadap hak asasi manusia. Karena bagi rakyat, keamanan bukan hanya soal upacara, melainkan tentang keadilan yang bisa dirasakan sehari-hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
