Putusan MK dan Eksistensi Sekolah Swasta
Eduaksi | 2025-06-30 19:51:25T
ahun 2025 bisa dikatakan sebagai tahun paling sulit bagi sekolah swasta di Indonesia. Betapa tidak, cobaan demi cobaan datang silih berganti dan seakan ingin menguji sejauh mana institusi yang berfungsi untuk mencetak generasi unggul itu benar – benar mampu mempertahankan eksistensinya. Sebagian pihak bahkan menilai, apa yang dihadapi oleh sekolah – sekolah swasta saat ini merupakan “seleksi alam” guna menentukan sekolah mana saja yang benar – benar mampu bertahan “di tengah badai” sehingga layak untuk dijadikan pilihan.
Adalah larangan penahanan ijazah yang menjadi “kado istimewa” di awal tahun dan menjadi pukulan telak bagi para pengelola lembaga pendidikan swasta, khususnya di Jawa Barat. Keputusan Gubernur Jawa Barat yang melarang sekolah – sekolah negeri dan swasta untuk menahan ijazah siswanya yang memiliki tunggakan, menjadi batu ujian pertama yang tidak mudah untuk dilalui. Hal ini bisa dipahami mengingat sebagian besar biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan berasal dari masyarakat (orang tua). Adapun untuk membayar besarnya tunggakan tersebut, Pemprov Jabar pun memerintahkan sekolah – sekolah swasta untuk menyisihkan sebagian dana yang bersumber dari Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU).
Ujian berikutnya yang tengah dihadapi oleh pengelola sekolah swsata adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembebasan biaya pada pendidikan dasar. Dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin terlaksananya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar di sekolah negeri dan sekolah swasta tanpa memungut biaya.
Namun demikian, dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa sekolah/madrasah swasta tidak dilarang sepenuhnya membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari peserta didik atau sumber lain selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Adapun bantuan pendidikan bagi peserta didik yang bersekolah di sekolah swasta, tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku.
Lantas, bagaimana dampak dari putusan MK tersebut bagi sekolah swasta ? Berkaca dari penyelesaian kasus ijazah yang tertahan, nampaknya sekolah swasta hanya bisa kembali mengelus dada. Pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah diperkirakan akan “mengatur ulang” pemberian Dana Bantuan Operasional (BOS) serta BPMU bagi sekolah swasta. Alih – alih menyiapkan dana khusus diluar dana BOS dan BPMU, penulis khawatir pemerintah dan pemda justru akan “menghimbau” sekolah – sekolah swasta agar bisa memaksimalkan dana bantuan yang diterima selama ini untuk mengakomodir beban pemerintah akibat keluarnya putusan MK di atas.
Jika ini yang terjadi, bisa dipastikan beban sekolah swasta akan semakin berat. Hal ini dikarenakan sebagian besar dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah swasta berasal dari masyarakat.
Di sisi lain, ujian demi ujian yang dihadapi oleh sekolah swasta sejatinya merupakan warning bagi pengelola lembaga (pengurus yayasan) untuk lebih serius dan kreatif dalam mengelola lembaganya. Dalam konteks menjaga ketahanan finansial misalnya, pihak pengelola bukan saatnya lagi hanya bergantung pada bantuan pemerintah serta partisipasi orangtua semata. Diperlukan upaya lain yang lebih kreatif dan terukur guna mendapatkan dana – dana tambahan untuk memenuhi kebutuha operasional sekolah.
Membangun unit – unit bisnis produktif secara mandiri serta menjalin sinergi dengan lembaga zakat atau badan wakaf (wakaf produktif) bisa menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan. Adapun untuk menghadapi daya beli masyarakat yang dinamis, segmenting ulang pangsa pasar dapat menjadi salah satu pilihan dalam rangka menjaga eksistensi lembaga.
Untuk menjaga eksistensi lembaga tersebut, profesionalisme pengelola menjadi kunci utama. Orang – orang yang duduk di jajaran manajemen haruslah mereka yang memiliki integritas dan kompetensi di bidangnya masing – masing, bukan sekadar didasarkan pada faktor kekerabatan atau kekeluargaan semata. Hal ini menjadi sangat penting mengingat di masa – masa yang akan datang tantangan yang akan dihadapi kian beragam.
Adapun bagi pihak pemerintah, putusan MK tersebut seyogyanya menjadi motivasi untuk memberikan perhatian lebih pada dunia pendidikan. Dalam konteks upaya memperluas akses pendidikan yang berkualitas melalui politik anggaran, bukan saatnya lagi pemerintah menggunakan strategi tambal sulam. Sebaliknya, berusaha mencari sumber – sumber lain yang tidak membebani masyarakat perlu dilakukan oleh pemerintah.
Selain menegakkan supremasi hukum untuk meminimalisir terjadinya kebocoran anggaran di berbagai sektor, pemerintah pusat dan daerah semestinya mampu memaksimalkan kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar mampu memberikan kontribusi secara maksimal. Besarnya gaji yang diterima oleh jajaran BUMN dan BUMD semestinya berbanding lurus dengan profit yang dihasilkan. Dengan demikian, kehadiran BUMN dan BUMD yang sangat banyak itu benar – benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Penulis : Ramdan Hamdani, Pengamat Pendidikan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
