Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amelia Eka Putri

Demi Sawit dan Tambang: Masih Berapa Hutan yang Bisa Kita Selamatkan?

Info Terkini | 2025-06-28 23:27:40
Sumber : istockphoto.com

Hutan Kita Tak Lagi Aman

Kita tumbuh dengan cerita bahwa Indonesia itu negeri yang subur dan hijau. Hutan membentang dari ujung barat sampai timur, jadi rumah bagi ribuan jenis satwa, pohon-pohon tua, dan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam. Tapi kenyataannya, semua itu perlahan jadi kenangan. Hutan kini seperti halaman belakang yang terus dikorbankan atas nama kemajuan. Kita sering mendengar istilah “izin pembukaan lahan”, “pengembangan industri hijau”, atau “perluasan energi nasional”. Tapi di balik semua istilah itu, pohon-pohon ditebang, sungai dikeringkan, dan tanah-tanah adat dirampas secara sah. Ironisnya, kerusakan ini bukan sesuatu yang mengejutkan lagi. Kita seperti sudah terbiasa dengan berita soal kebakaran hutan, konflik lahan, hingga cerita satwa liar yang masuk ke pemukiman karena habitatnya hilang. Data dari KLHK mencatat deforestasi bruto Indonesia mencapai 139 ribu hektar pada 2022, sebagian besar karena konversi hutan menjadi perkebunan dan tambang. Angka itu memang lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya, tetapi selama masih ada yang hilang, berarti ada yang gagal kita jaga. Lantas, apakah kita benar-benar sedang membangun masa depan, atau malah perlahan menghancurkannya dengan nama pembangunan?

Sawit Membuka Lahan, Menutup Banyak Harapan

Tak bisa dipungkiri, industri sawit telah banyak mengubah wajah negeri ini. Lahan yang dulunya hutan kini jadi deretan pohon sawit yang seragam. Ekonominya memang jalan, tapi banyak yang tak ikut menikmati hasilnya. Banyak tempat, masyarakat lokal dan adat justru jadi korban. Mereka yang menjaga hutan turun-temurun malah dianggap penghalang investasi. Padahal, mereka bukan menolak pembangunan melainkan hanya ingin tetap hidup dengan cara yang mereka pahami. Kita sering dijanjikan sawit berkelanjutan, ramah lingkungan, dan bersertifikat, tapi di lapangan, konflik tanah masih terjadi, asap masih muncul setiap musim kering, dan ruang hidup terus menyempit.

Tambang: Gali Kekayaan, Sisakan Luka

Tambang mungkin jadi salah satu wajah paling nyata dari “kemajuan” yang merusak. Gunung-gunung dibelah, sungai tercemar, dan Lubang-lubang besar dibiarkan terbuka tanpa pemulihan. Hingga 2023, KLHK mencatat lebih dari 2.800 lubang bekas tambang belum direklamasi. Tak sedikit di antaranya yang berada dekat sekolah atau pemukiman. Bahkan ada yang memakan korban jiwa karena dibiarkan terbuka tanpa pengaman. Yang lebih miris, tambang-tambang ini seringkali dikerjakan atas nama kepentingan nasional, tapi masyarakat di sekitarnya tetap hidup dalam ketidakpastian. Air bersih sulit, tanah rusak, udara tercemar, dan ketika mereka bersuara, dianggap melawan arus pembangunan.

Bukan Soal Menolak, Tapi Soal Cara

Masalahnya bukan pada keberadaan sawit atau tambang, tetapi cara kita mengelolanya yang sampai hari ini masih sering abai terhadap hak lingkungan dan hak manusia. Kalau memang harus membangun, kenapa harus selalu merusak? Kenapa masyarakat yang menjaga hutan dianggap lawan, padahal justru mereka yang punya solusi? Pembangunan seharusnya melibatkan, bukan menyingkirkan. Hutan bukan beban. Ia penopang hidup. Dan saat hutan rusak, kita semua akan ikut terdampak baik yang tinggal di desa maupun di kota. Banjir, polusi, suhu ekstrem, semua itu konsekuensi dari hutan yang tak dijaga.

Masa Depan di Tangan Kita

Generasi kita mungkin tidak bisa mengembalikan semua hutan yang telah hilang. Tapi kita bisa menjaga yang tersisa. Kita bisa bersuara, memilih dengan sadar, dan mulai mempertanyakan arah pembangunan negeri ini. Jangan sampai nanti kita cuma bisa bercerita, bahwa dulu negeri ini hijau dan damai tapi karena kita diam, semuanya hilang. Maka mari kita renungkan: Demi sawit dan tambang, masih berapa hutan yang bisa kita selamatkan? Atau jangan-jangan, kita cuma sedang menunggu semuanya lenyap satu per satu?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image