Meme Dibui, Demokrasi Diuji
Update | 2025-06-26 23:51:59Belakangan ini, media sosial dipenuhi dengan berita tentang penahanan seorang mahasiswi ITB yang memposting meme berbasis kecerdasan buatan berjudul “Deadly Love”, yang menggambarkan Presiden Jokowi dan Prabowo dengan cara satir. Meme ini dengan cepat viral di platform media sosial dan memicu reaksi yang kuat. Pihak kepolisian segera melakukan tindakan dengan menghukum pembuat meme tersebut berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang terkait dengan penyebaran konten bermuatan kesusilaan, serta Pasal 35 mengenai manipulasi konten elektronik.
Pertanyaannya adalah, apakah meme yang merupakan bentuk dari ekspresi, meskipun kontroversial, harus langsung dijawab dengan ancaman hukum? Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Ini berarti, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi ekspresi warganya, bukan langsung menghukumnya, kecuali ada pelanggaran hukum yang jelas. Mahkamah Konstitusi juga pernah menekankan bahwa definisi "kesusilaan" dalam UU ITE harus ditafsirkan dengan hati-hati agar tidak membatasi kebebasan berpendapat.
Reaksi publik terkait isu ini sangat beragam. Beberapa orang menganggap perbuatan mahasiswi tersebut sebagai penghinaan terhadap simbol negara, sementara banyak yang khawatir bahwa ruang untuk bersuara semakin sempit. Dalam era teknologi yang bergerak cepat, kreativitas digital bisa jadi sarana kritik atau ekspresi sosial. Intinya, dapatkah negara membedakan antara kritik dan kejahatan?
Kasus ini menunjukkan bahwa baik aspek hukum maupun kedewasaan negara dalam merespons aspirasi generasi mudanya sedang diuji. Satir seharusnya mendapat tempat dalam sistem demokrasi, bukan segera mendapatkan respons yang bersifat mengekang.
Nilai-nilai Pancasila harus dijadikan pedoman. Sila keempat menekankan tentang pemerintahan yang dipimpin dengan kebijaksanaan dalam musyawarah dan perwakilan. Oleh karena itu, respons terhadap ekspresi siswa seharusnya tidak reaktif, tetapi menonjolkan kebijaksanaan serta pendekatan edukatif.
Konsep kewarganegaraan digital dalam Pendidikan Kewarganegaraan juga menekankan bahwa masyarakat harus kritis, bertanggung jawab, dan menyadari etika dalam menyampaikan pendapat. Di sisi lain, negara pun dituntut untuk membuat hukum yang adil dan tidak menekan. Hukum yang berpihak pada keadilan, bukannya pada perasaan tersinggung.
Setelah adanya tekanan publik, penahanan terhadap mahasiswi tersebut akhirnya dihentikan. Namun kejadian ini tetap menjadi pengingat penting bahwa keamanan untuk berekspresi di Indonesia masih lemah. Banyak anak muda mungkin akan berpikir dua kali sebelum mengemukakan ide-ide mereka, bukan karena takut salah, tetapi karena takut dianggap salah.
Pendidikan kewarganegaraan seharusnya lebih dari sekadar mengingat lima sila. Ia perlu membentuk karakter yang kritis, toleran, dan paham batasan etis dalam ranah digital. Aparat penegak hukum juga perlu diajarkan tentang literasi digital serta memahami konteks budaya ekspresi generasi muda saat ini.
Kreativitas tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman bagi negara. Kritik juga bukan merupakan musuh demokrasi. Sebaliknya, negara yang kuat adalah mereka yang bisa menerima perbedaan pendapat dengan tenang dan bersikap terbuka. Jika hukum digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti masyarakat, maka rasa keadilan secara perlahan akan menghilang. Ketika hal itu terjadi, prinsip keadilan sosial yang termaktub dalam sila kelima Pancasila akan hanya menjadi slogan, bukan sebuah realitas.
Dalam menilai kasus ini, sangat penting untuk tidak terburu-buru dalam menentukan posisi yang kaku. Baik orang perorangan maupun lembaga memiliki tugas dan kewajiban masing-masing dalam memelihara etika publik serta kestabilan hukum. Yang dibutuhkan adalah kesempatan untuk berdialog, bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Kerja sama dalam penilaian sangat dibutuhkan agar di waktu yang akan datang, aspirasi masyarakat bisa dihargai tanpa mengabaikan aturan yang ada, serta penegakan hukum dapat dilakukan tanpa mengorbankan prinsip keadilan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
