Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizky dwi Lestari

Ketika Lapangan Kerja Menyusut, Apa Kabar Kartu Prakerja?

Politik | 2025-06-26 12:58:21

Indonesia dan dunia global tengah mengalami turbulensi ekonomi baru yang berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dalam negeri. Sejak Pandemi Covid 19 mereda dan mulai stabilnya perekonomian pada tahun 2024, akhir-akhir ini ekonomi kembali bergejolak sejak penerapan tarif impor Amerika Serikat. Efek domino dari kebijakan tersebut mulai terasa di sektor ketenagakerjaan Indonesia.

Pada April tahun 2025 IMF mencatat tren pengangguran Indonesia naik 5,0 persen dari tahun 2024 yang sebesar 4,9 persen dan diprediksi akan terus naik pada tahun 2026 mencapai 5,1 persen. Badai PHK juga mulai terlihat setelah kebangkrutan PT Sri Tex. Di saat yang sama lambatnya pertumbuhan lapangan kerja dan ketimpangan antara kebutuhan industri dan keterampilan tenaga kerja juga masih menjadi masalah klasik ketengakerjaan di Indonesia (Tempo 2021).

Lebih jauh dalam konteks sejumlah studi internasional tentang pasar kerja global, tampaknya Indonesia sedang mengalami salah dua dari empat guncangan ketenagakerjaan atau disebut global shocks (World Bank 2017) .Pertama adalah job times bomb, yaitu ketidakseimbangan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja. Jika merujuk data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), pada Agustus 2024 jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 152,11 juta orang juta orang, meningkat sekitar 4,4 juta dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, jumlah penduduk bekerja hanya sebesar 144,64 juta orang sehingga mismatch antara jumlah pencari kerja baru dan perluasan kesempatan kerja masih terjadi. Peningkatan ini didorong oleh bonus demografi: sekitar 70% dari populasi Indonesia berada dalam usia produktif (15–64 tahun), dan setiap tahun lebih dari 2 juta anak muda masuk ke pasar kerja. Tanpa penciptaan lapangan kerja baru yang cukup dan berkualitas, tekanan terhadap pasar kerja akan terus membesar, sebagaimana yang juga terjadi di India dan Afrika.

Kedua, Indonesia juga menghadapi tantangan dari kemajuan teknologi dan otomasi. Laporan McKinsey Global Institute (2023) memperkirakan bahwa otomasi akan menghasilkan 23 juta pekerjaan baru pada 2030, namun artinya otomasi juga berisiko menghilangkan dan menggantikan pekerjaan saat ini, terutama pekerjaan yang bersifat rutin dan terpredikasi. Ini menjadi perhatian serius karena sektor-sektor tersebut selama ini menjadi penampung utama tenaga kerja berpendidikan menengah ke bawah.

Di sisi lain, permintaan tenaga kerja baru bergeser ke sektor digital, teknologi informasi, dan layanan berbasis pengetahuan, yang membutuhkan keterampilan baru yang belum tentu dimiliki oleh mayoritas pencari kerja saat ini. Dua tekanan global ini, yakni lonjakan angkatan kerja muda (demographic pressure) dan pergeseran struktural akibat otomasi—membuat pasar kerja Indonesia berada dalam posisi rentan.

Untuk merespon situasi ini sebenarnya Indonesia sudah menggunakan strategi dengan menerapkan kebijakan pasar tenaga kerja aktif atau Active Labour Market Policy (ALMP), melalui Program Kartu Prakerja. Kebijakan ALMP digunakan oleh sejumlah negara untuk mencegah perpanjangan pengangguran serta mendorong masuknya hubungan kerja yang stabil (Verd, Barranco, and Bolíbar 2019) (Rotar 2021). Secara tradisional program ALMP dibagi menjadi tiga kategori utama.

Kategori pertama adalah program yang berfokus pada sisi penawaran tenaga kerja (supply), bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja para pekerja melalui pelatihan vokasional. Kategori kedua mencakup program yang bertujuan meningkatkan permintaan tenaga kerja, dengan cara mensubsidi biaya atau upah tenaga kerja bagi perusahaan melalui subsidi ketenagakerjaan. Terakhir, program bantuan pencarian dan pencocokan kerja, bertujuan untuk mengurangi hambatan yang menghalangi pertemuan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja (World Bank).

Beberapa negara telah menerapkan ALMP, seperti “New Deal for Young People (NDYP)” di Inggris, Program ini menggabungkan pelatihan keterampilan, bimbingan kerja, dan penempatan kerja dengan insentif bagi perusahaan untuk mempekerjakan peserta. Kemudian “Jugend mit Perspektive (JUMP)” di Jerman, Program ini fokus pada pembinaan personal, pelatihan keterampilan dasar, dan mediasi kerja dan “Youth Unemployment Program(YUP)” di Denmark, berfokus pada pertemuan langsung antara pencari kerja dan pemberi kerja melalui bursa kerja lokal dan platform digital, disertai insentif bagi perusahaan yang menerima pekerja muda dalam skema pelatihan sambil bekerja (work-based training). (Verd, Barranco, and Bolíbar 2019). Terakhir Australia memiliki“Employment Subsidy Scheme”, yaitu, Pemerintah Australia memberikan subsidi langsung kepada perusahaan yang mempekerjakan pencari kerja jangka panjang, kelompok rentan, atau orang muda.

Sedangkan di Indonesia program Prakerja awalnya direncanakan akan dilakukan secara tatap muka bekerjasama dengan beberapa lembaga pelatihan, sekolah menegah kejuruan, dan beberapa perusahaan yang memiliki reputasi pelatihan yang baik (Kompas, 2020). Namun sebagai dampak pandemi covid-19 yang meinginfeksi Indonesia sejak 2020 lalu, program Kartu Prakerja harus dilakukan secara online dan diselenggarakan sebagai salah satu kebijakan bantuan sosial dan perlindungan sosial.

Oleh sebab itu kebijakan kartu prakerja memiliki dua tujuan sekaligus, pertama sebagai kebijakan pasar tenaga kerja aktif yakni pelatihan keterampilan, dan kedua sebagai perlindungan sosial dengan pemberian insentif yang ditujukan untuk memitigasi dampak sosial ekonomi saat pandemi (setkab.go.id, 2020).

Setelah pandemi usai skema program kartu prakerja tidak banyak berubah, Sejak 2020 hingga 2022, Prakerja diselenggarakan dengan skema semi-bansos. Namun, pada 2023, skema tersebut mulai bertransformasi ke skema normal (setkab 2023) , insentif tunai pasca pelatihan dipangkas menjadi Rp600.000 dari sebelumnya Rp2,4 juta dan fokus program lebih diarahkan pada peningkatan kompetensi tenaga kerja. Pelatihan pun tetap dilakukan secara online maupun campuran (hybrid), namun dengan peningkatan kualitas kurasi pelatihan dan penyedia. Meski demikian, ciri khas Prakerja sebagai program universal dengan kriteria penerima yang sangat longgar tetap dipertahankan.

Jika dilihat berdasarkan kategorisasi dalam Kebijakan ALMP, Program Kartu Prakerja yang diterapkan di Indonesia masuk kedalam kategori pertama yaitu memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan kerja. Namun perbedaan besarnya adalah program kartu prakerja memberikan pelatihan online secara bundling yaitu pelatihan yang diberikan untuk para pencari kerja, bagi yang sudah bekerja dan sekaligus untuk pemilik bisnis atau entrepreneur dengan jenis pelatihan yang seragam.

Dengan sangat beragamnya sasaran yang dituju oleh program ini, siapapun bisa mendapatkan kartu prakerja tanpa kriteria yang spesifik. Pada konteks ini program kartu prakerja hanya berfokus pada sisi supply, permasalahan kemudian yang muncul adalah bahwa strategi kartu prakerja cenderung tidak mampu mengintervensi pasar tenaga kerja Indonesia secara langsung. Sebagaimana studi Zubaidi porgram kartu prakerja tidak mampu menjamin peserta pelatihan mendapatkan pekerjaan setelah menyelesaikan pelatihan, yang dimana kondisi ini menjadi limitasi program untuk mampu menurunkan tingkat pengangguran.

Pertanyaan yang kemudian muncul? Apakah penerapan kebijakan ALMP melalui program kartu prakerja adalah strategi yang tepat untuk merespon kondisi ketenagakerjaan Indonesia hari ini ? Jawaban atas pertanyaan tersebut perlu mempertimbangkan dua hal utama: (1) efektivitas Kartu Prakerja dalam meningkatkan keterampilan dan keterserapan kerja; serta (2) kecocokannya dengan tantangan struktural pasar tenaga kerja Indonesia saat ini.

Pertama, dari sisi efektivitas, sejumlah evaluasi menunjukkan bahwa Kartu Prakerja memberikan dampak positif, khususnya dalam hal peningkatan skill, mendapatkan pekerjaan atau membuka usaha sebesar 31,6% (Prakerja 2024). Namun belum ada evaluasi yang berfokus menganalisis total biaya yang digelontorkan untuk program kartu prakerja apakah sebanding dengan dampak yang dihasilkan atau didapatakan, sesederhana dalam hitungan cost benefit analysis yang biasanya menjadi salah tools dalam evaluasi kebijakan ALMP (Worldbank 2017) . Di sisi lain, laporan World Bank (2017) menyoroti bahwa dampak program terhadap serapan kerja tetap terbatas jika pelatihan tidak disertai dengan pendampingan lanjutan dan informasi pasar kerja yang kuat.

Kedua, bila dilihat dari konteks structural pasar tenaga kerja Indonesia masih menghadapi tingginya pengangguran stuktural ditambah tengah menghadapi tantangan ganda, yaitu tingginya proporsi pekerja informal Indonesia sekitar 59,40% atau 86,58 juta orang (BPS 2025) dan mismatch rate pekerjaan yang tinggi artinya banyak pekerja yang bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.

Hal ini memperlihatkan bahwa pelatihan berbasis supply saja, seperti yang dilakukan Kartu Prakerja, tidak cukup. Sebaliknya, ALMP yang efektif di negara-negara lain justru menekankan kombinasi intervensi dari sisi supply dan demand. Misalnya, program Youth Guarantee di Finlandia atau New Deal for Young People(NDYP) di Australia, selain menyediakan pelatihan pendampingan konselor karir untuk membantu memetakan rencana karir peserta, juga melibatkan dunia usaha secara aktif, seperti penempatan kerja dengan insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan alumni pelatihan.

Khususnya untuk vocational training ditemukan jika pelatihan yang paling efektif adalah pelatihan yang justru dilakukan oleh sektor privat langsung (Worldbank 2020) bukan oleh lembaga negara, karena sektor privat dapat mengarahkan keterampilan sesuai dengan kebutuhan industri dan meningkatkakn tingkat match yang tinggi antara pelatihan spesifik yang diberikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Pada akhirnya jika ingin menjawab apakah Kartu Prakerja adalah strategi yang tepat, maka jawabannya: belum cukup. Kartu Prakerja merupakan langkah awal yang progresif untuk membekali tenaga kerja dengan keterampilan baru, namun belum mampu menjawab akar persoalan pengangguran struktural, informalitas tinggi, dan mismatch pasar kerja. Untuk itu, ke depan program ini perlu dikembangkan menjadi lebih terintegrasi dengan melibatkan langsung sektor industri, memetakan keahilan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja dalam jangka pendek maupun Panjang (the conversation), memperluas penerima manfaat dengan pelatihan yang dapat menjangkau hingga ke pelosok, menspesifikasi atau profiling peserta pelatihan untuk diarahkan pada karir yang sesuai, serta menyertakan komponen intermediasi kerja (job matching) yang lebih kuat.

Tanpa penguatan aspek-aspek tersebut, Kartu Prakerja berisiko menjadi program pelatihan yang hanya menyediakan berbagai etalase pelatihan digital belaka, bukan sebagai alat transformasi produktivitas dan penyerapan kerja jangka panjang. Apalagi informasi terakhir yang beredar jika Program Kartu Prakerja di tahun 2025 akan disetop, maka jangan sampai Kebijakan ALMP lainnya hanya sebatas formalitas belaka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image