Cicilan tanpa Bunga, Tapi Riba?
Agama | 2025-06-25 08:43:14
Layanan “Beli Sekarang, Bayar Nanti” atau “Buy Now Pay Later” (BNPL) kini menjamur dalam berbagai aplikasi belanja daring. Iming-imingnya sangat menggoda: transaksi bisa dicicil dalam tempo tertentu tanpa bunga, khususnya untuk pembayaran dalam satu bulan. Tak sedikit masyarakat, terutama kalangan muda yang tergiur, karena merasa itu adalah solusi konsumsi instan tanpa risiko finansial yang besar.
Namun, di balik embel-embel “tanpa bunga”, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: Benarkah layanan ini bebas dari unsur riba? Atau ada jebakan tersembunyi dalam bentuk biaya-biaya lain yang tidak transparan?
Skema BNPL biasanya membagi cicilan menjadi beberapa tenor: 1 bulan (tanpa bunga) dan 3, 6, atau 12 bulan (dengan bunga tertentu). Dalam tenor 1 bulan, pengguna memang dibebaskan dari bunga, asalkan membayar tepat waktu. Namun, skema ini tetap mengenakan biaya penanganan yang membuat tagihan menjadi lebih besar dari nilai barang yang dibeli. Selain itu, jika pengguna terlambat membayar, maka akan dikenakan denda keterlambatan yang bisa mencapai 5% dari total tagihan. Sebagaimana disebutkan dalam laman INews Tangsel (12/12/2023), menurut Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, pakar hukum Islam: “Dalam perjanjian jual beli skema cicilan 0%, masih terdapat denda yang berlaku, keberadaan denda tersebut dapat menjadi salah satu ciri dari riba.”
Pada tenor cicilan yang lebih panjang, penyedia layanan biasanya menerapkan bunga bulanan antara 1 hingga 3% tergantung pada profil risiko pengguna. Artinya, meski ada klaim “tanpa bunga” untuk sebagian layanan, riba tetap eksis dalam bentuk yang lebih halus di balik biaya tambahan dan denda keterlambatan.
Dalam fikih Islam, konsep riba sangat tegas. Tambahan dari utang-piutang yang disyaratkan sejak awal, walaupun tidak disebut sebagai bunga, tetap termasuk riba. Menurut Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, bunga bank dianggap sebagai riba nasiah (riba karena penundaan) dan hukumnya haram dalam Islam. Riba nasiah secara definisi adalah penambahan nilai atas utang sebagai konsekuensi keterlambatan. Larangan riba ini ditegaskan langsung dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena tekanan gila. Itu karena mereka berkata: Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini menyoroti kesalahan cara pikir sebagian orang yang menyamakan antara transaksi jual beli dan riba, padahal keduanya berbeda secara esensial. Dalam konteks cicilan modern, ayat ini relevan karena menegur perilaku memanipulasi akad utang-piutang agar tampak seperti jual beli biasa, padahal sejatinya tetap mengandung unsur tambahan yang diharamkan. Riba ini disebut haram oleh mayoritas ulama, karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi finansial yang menyebabkan ketimpangan sosial. Apalagi jika akad yang digunakan tidak jelas, tidak ada pertukaran barang atau jasa yang sah secara syariat, dan hanya memanfaatkan ketertarikan pengguna terhadap kemudahan dalam cicilan.
Biaya penanganan pun bisa bermasalah secara syariat jika tidak transparan atau tidak mencerminkan jasa nyata. Jika biaya ini sebenarnya adalah bentuk lain dari keuntungan atas utang, maka ia pun bisa tergolong riba terselubung. Kredit syariah sejatinya bukan hanya tentang bebas bunga, tapi juga harus bebas dari ketidakjelasan (gharar) dan ketidakadilan. Maka, penting untuk memilih layanan yang tidak hanya sekadar mengklaim “syariah”, tetapi juga menjalankan prinsip-prinsipnya secara utuh.
Sebagai pembanding, pada lembaga keuangan syariah, skema jual-beli secara cicilan diatur dengan akad murabahah (jual beli dengan margin keuntungan tetap), atau skema rahn (gadai syariah) jika ada jaminan. Dalam akad-akad ini, margin keuntungan disepakati sejak awal dan tidak bertambah meskipun terjadi keterlambatan, untuk menghindari unsur riba. Sayangnya, tidak semua penyedia layanan digital saat ini menerapkan prinsip-prinsip ini, bahkan beberapa mengklaim “syariah” tanpa pengawasan atau sertifikasi dari otoritas yang sah.
Janji “tanpa bunga” seolah menjadi tameng yang ampuh untuk menarik minat konsumen Muslim. Namun, secara prinsip, bebas bunga bukan jaminan bebas riba. Jika tetap ada biaya tambahan yang tak proporsional atau tidak dijelaskan dengan akad yang sah, maka transaksi itu bisa tetap melanggar prinsip syariat.
Masyarakat, terutama kaum muda perlu membekali diri dengan literasi keuangan syariah, agar mampu membedakan antara praktik ekonomi halal dan praktik riba yang terselubung dalam kemasan modern. Karena hari ini, riba tak selalu datang dengan nama “bunga”, tapi bisa saja dibungkus dengan istilah “biaya layanan”, “biaya penanganan”, atau bahkan “syariah digital” yang tidak terverifikasi.
Penulis : Nahla Budi Pekertine
Instansi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
