Irama yang Sama: Menyatukan Arah Negara dan Harapan Warga
Kebijakan | 2025-06-25 02:25:11
Dalam berbagai forum nasional dan internasional, Presiden Prabowo Subianto tampil meyakinkan sebagai negarawan yang membawa harapan baru bagi Indonesia. Beliau kerap menyuarakan komitmen kuat terhadap prinsip-prinsip kebebasan aktif, kemandirian diplomatik, serta tekad untuk menjadikan Indonesia negara yang inklusif, adil, dan bermartabat di mata dunia. Dalam narasinya, Indonesia tidak memilih kubu, tetapi memilih nilai—yakni keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan rakyat.
Pidato-pidato tersebut bukan sekadar retorika; ia mencerminkan keberanian seorang pemimpin untuk membawa Indonesia ke panggung dunia dengan identitas moral yang utuh. Gagasan tentang pemerintahan yang bersih, berorientasi pelayanan, dan berpihak kepada rakyat adalah aspirasi luhur yang layak didukung oleh seluruh elemen bangsa.
Namun seperti banyak idealisme yang agung, tantangan utama justru hadir dalam upaya mewujudkannya ke dalam kehidupan nyata rakyat sehari-hari. Di banyak sudut desa, kampung pinggiran kota, hingga kawasan terpencil, realitas hidup warga belum sepenuhnya mencerminkan visi yang dibawa dari pusat. Pelayanan publik yang semestinya menjadi penopang utama kesejahteraan masih belum merata; kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik stabil, pendidikan berkualitas, dan kesehatan yang terjangkau kerap menjadi kemewahan yang sulit dijangkau.
Bukan berarti visi besar itu keliru. Justru sebaliknya, ia menjadi cermin dari arah yang benar dan perlu terus digaungkan. Namun, kesenjangan antara narasi di atas mimbar dan kenyataan di lapangan adalah panggilan bagi kita semua—bahwa kerja pembangunan tidak berhenti di tataran konsep, tapi harus menjelma menjadi tindakan nyata dan sistem yang berfungsi di tingkat paling bawah.
Pelayanan Publik: Kenyataan di Lapangan
Visi besar pemerintahan pusat akan selalu menemukan ujian paling nyata di tingkat lokal—di mana kebijakan menyentuh kehidupan harian warga, dan di mana makna “negara hadir” benar-benar diuji. Dalam konteks ini, pelayanan publik merupakan wajah terdekat negara bagi rakyatnya. Namun, hingga kini, masih banyak tantangan mendasar yang belum sepenuhnya terurai.
Air Bersih, misalnya, adalah kebutuhan paling mendasar, namun masih menjadi persoalan serius di banyak wilayah. Warga di sejumlah desa harus menempuh jarak jauh, memikul jeriken, atau membeli air dengan harga yang tidak proporsional. Ironisnya, sebagian dari wilayah ini sebenarnya kaya akan sumber air, namun terkendala pada tata kelola dan distribusi yang belum terintegrasi dengan baik. Di sinilah persoalan bukan lagi soal ketiadaan sumber daya, melainkan manajemen yang belum matang.
Layanan Listrik juga mengalami situasi serupa. Walau klaim elektrifikasi hampir merata, kualitas suplai sering kali menjadi sorotan. Pemadaman tanpa jadwal, tegangan tidak stabil, hingga peralatan yang cepat rusak menjadi keluhan harian di beberapa daerah. Masalah ini mungkin tampak teknis, namun dampaknya sangat nyata: dari proses belajar anak-anak, produktivitas UMKM, hingga aspek keamanan warga.
Sanitasi dan lingkungan hidup juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Masih ada ribuan desa yang belum memiliki akses ke jamban sehat, atau sistem pembuangan limbah yang layak. Situasi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik masyarakat, tetapi juga pada martabat sosial mereka. Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi ancaman, padahal upaya preventifnya sesungguhnya bisa dilakukan dengan intervensi yang sederhana dan murah, asal terencana.
Pendidikan, sebagai pilar pembangunan jangka panjang, juga menyimpan tantangan yang tak kecil. Sekolah dasar di pelosok kerap beroperasi dengan tenaga guru tidak tetap, sarana seadanya, dan keterbatasan bahan ajar. Banyak anak-anak harus berjalan jauh, melewati hutan, menyeberangi sungai, atau bahkan putus sekolah karena absennya kehadiran negara dalam bentuk guru dan fasilitas yang memadai. Ketika pendidikan terhambat, kesempatan untuk keluar dari kemiskinan pun menjadi lebih sempit.
Layanan kesehatan dan administrasi publik tidak luput dari sorotan. Banyak Puskesmas di pedalaman beroperasi tanpa kehadiran dokter, tanpa obat dasar yang memadai, bahkan tanpa kendaraan darurat. Di sisi lain, pelayanan administratif masih menyisakan banyak keluhan: proses yang lambat, ketidakterbukaan informasi, hingga pungutan yang tidak resmi. Hal-hal ini bukan hanya menurunkan kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan ketimpangan akses antarwarga.
Kondisi-kondisi tersebut tidak untuk dipandang dengan sikap pesimistis. Justru sebaliknya, mereka menjadi penanda penting bahwa cita-cita besar belum sepenuhnya berpijak pada sistem yang efisien dan adil di bawah. Artinya, ada pekerjaan rumah kolektif untuk memperkuat implementasi dan pengawasan, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir dari pusat benar-benar menemukan jalannya hingga ke lorong-lorong kampung.
Dalam konteks ini, pendekatan yang dibutuhkan bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi pembangunan sistem—yang adil, tanggap, dan berpihak pada kebutuhan paling nyata rakyat. Di sanalah sejatinya letak keberhasilan: ketika pelayanan publik bukan sekadar daftar program, tetapi menjadi denyut keseharian yang dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.
Kepemimpinan Lokal: Simbol vs Substansi
Di tengah meningkatnya alokasi anggaran untuk daerah dan desa—baik melalui Dana Desa, transfer fiskal, maupun berbagai program afirmatif lainnya—muncul pertanyaan krusial: mengapa peningkatan dana publik tidak selalu diiringi peningkatan kualitas hidup rakyat?
Fenomena ini tidak semata-mata soal teknis penganggaran atau kurangnya sumber daya manusia. Sebaliknya, ia menyingkap persoalan yang lebih dalam: kegagalan menerjemahkan mandat pembangunan ke dalam kepemimpinan yang bertanggung jawab secara sosial dan moral.
Banyak kasus menunjukkan bahwa alih-alih membangun sistem pelayanan yang efisien, sebagian pemimpin lokal lebih sibuk membangun pencitraan dan menata simbol-simbol visual keberhasilan. Seremonial lebih diutamakan ketimbang substansi. Ruang-ruang pertemuan lebih ramai oleh dokumentasi media sosial daripada perencanaan partisipatif. Di sisi lain, proyek-proyek dasar seperti irigasi yang rusak, air bersih yang tidak mengalir, atau sekolah yang tak kunjung direnovasi, justru terbengkalai di tengah klaim pembangunan yang meriah.
Dalam kondisi seperti itu, birokrasi lokal cenderung berjalan seperti mesin administratif yang dingin—menjalankan tugas dengan pendekatan prosedural, bukan empati. Padahal, amanah pelayanan publik bukan sekadar soal pelaporan dan angka serapan anggaran, melainkan tentang sejauh mana warga merasa didengar, dilayani, dan dihormati sebagai bagian dari bangsa.
Masalah utama sering kali bukan terletak pada ketiadaan dana, melainkan pada ketidakhadiran integritas kepemimpinan. Banyak pejabat lokal—meski tidak sedikit pula yang jujur dan berdedikasi—belum menjadikan jabatan sebagai medan pengabdian. Ketika posisi publik dianggap sekadar batu loncatan politik atau ladang kekuasaan jangka pendek, maka yang lahir adalah kebijakan yang dangkal, proyek yang serba cepat tapi tidak tahan lama, dan sistem yang rapuh di bawah permukaannya.
Namun, perlu ditegaskan: tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengarahkan telunjuk menyalahkan pada satu pihak semata. Persoalan ini adalah hasil dari akumulasi sistemik—dari budaya politik yang belum matang, sistem rekrutmen birokrasi yang kurang selektif, hingga absennya ruang pendidikan etika publik di banyak lini.
Yang kita butuhkan saat ini adalah ruang refleksi bersama. Bukan untuk memperpanjang keluhan, tetapi untuk menyadari bahwa keadilan sosial dan pelayanan dasar tidak akan hadir hanya melalui pembangunan fisik atau slogan politik. Ia membutuhkan jiwa kepemimpinan yang otentik—yang tidak mencari tepuk tangan, melainkan berani tinggal di tengah masyarakat, mendengar keluhan mereka, dan mengambil keputusan yang berpihak walau kadang tak populer.
Dalam semangat itulah, harapan akan keserasian antara kepemimpinan nasional dan lokal menjadi penting. Sebab sebagus apapun pidato dan arah kebijakan dari pusat, jika tidak bertemu dengan kesadaran moral dan kapasitas kerja di tingkat bawah, maka cita-cita besar hanya akan menjadi narasi tanpa gema.
Kegagalan Struktural dan Kebutuhan Harmoni Kepemimpinan
Kesenjangan antara narasi besar di tingkat nasional dan realitas di lapangan bukan semata-mata cerminan buruknya niat atau kekurangan sumber daya. Dalam banyak kasus, kegagalan yang terjadi bersifat struktural. Ia berakar dari lemahnya koordinasi lintas tingkatan pemerintahan, ketidakjelasan garis tanggung jawab, hingga tumpang tindih regulasi yang menyulitkan implementasi kebijakan secara tepat sasaran.
Sebagian pejabat lokal sering kali merasa bekerja dalam ruang yang terputus dari arah strategis nasional. Mereka menjalankan program bukan sebagai bagian dari gerak besar negara, melainkan sekadar tanggung jawab teknis rutin. Di sisi lain, masyarakat pun sering berada dalam kabut ketidaktahuan. Mereka tidak tahu hak-hak apa saja yang sebenarnya dijamin oleh negara, atau bagaimana cara menuntut dan mengawalnya. Akibatnya, relasi antara pemerintah dan rakyat menjadi transaksional dan penuh jarak, bukan dialogis dan saling menguatkan.
Dalam konteks inilah, harmoni kepemimpinan menjadi sangat penting. Presiden sebagai pemegang mandat strategis nasional—dengan arah visi besar dan komitmen terhadap keadilan sosial—membutuhkan jembatan yang utuh menuju akar rumput. Dan jembatan itu tidak lain adalah para pemimpin lokal yang memahami konteks, hadir secara nyata di tengah masyarakat, dan mampu menjelmakan kebijakan menjadi pelayanan.
Namun jembatan ini tidak akan terbentuk hanya dengan prosedur administratif. Ia membutuhkan kehadiran figur-figur pemimpin lokal yang visioner, memiliki etika publik, dan peka terhadap denyut kehidupan warganya. Pemimpin yang tidak hanya tahu mengelola anggaran, tetapi juga tahu mengelola harapan; tidak hanya mahir dalam laporan, tetapi juga terampil dalam mendengarkan.
Reformasi birokrasi memang telah berjalan, dan harus terus dilanjutkan. Namun perbaikannya tidak cukup melalui instruksi teknis atau regulasi baru. Ia membutuhkan pergeseran paradigma yang lebih mendasar: dari birokrasi yang merasa “digaji oleh negara” menjadi birokrasi yang merasa melayani rakyat. Dari struktur kekuasaan menjadi ruang pengabdian.
Etos ini perlu dibangun sejak hulu—dalam sistem pendidikan calon ASN, dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan, hingga dalam relasi antarpemerintah. Pemerintahan desa, sebagai unit paling dekat dengan warga, harus didorong menjadi tempat lahirnya inovasi pelayanan, bukan hanya tempat menyalurkan dana program.
Jika visi kepemimpinan nasional bisa menemukan resonansinya di tingkat lokal, maka kekuatan Indonesia akan tumbuh bukan hanya dari pusat, tetapi dari desa-desa yang hidup, kota-kota yang inklusif, dan masyarakat yang merasa dipeluk oleh negaranya. Di sanalah letak makna pembangunan: bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi tentang keadilan yang dirasakan, suara yang didengar, dan masa depan yang bisa dibayangkan bersama.
Menjembatani yang Terpisah, Menyatukan yang Tercecer
Sesungguhnya, rakyat tidak sedang menuntut janji besar atau retorika tinggi. Mereka hanya ingin hidup yang layak: air bersih yang mengalir tanpa harus membeli, listrik yang stabil, anak-anak yang bisa belajar di sekolah yang pantas, serta layanan kesehatan yang hadir saat benar-benar dibutuhkan.
Jika sistem pemerintahan—baik di pusat maupun daerah—gagal memenuhi kebutuhan dasar ini, maka keberhasilan di forum diplomasi atau pencapaian di panggung geopolitik tidak akan bermakna nyata bagi mayoritas rakyat. Karena ukuran keberhasilan negara bukanlah seberapa megah ia berbicara di dunia, tetapi seberapa halus ia menyentuh kehidupan warganya yang paling sederhana.
Kini saatnya kita mendorong perubahan, bukan dengan saling menyalahkan, tetapi dengan mengurai akar persoalan dan membangun jembatan yang hilang antara arah visi nasional dan kebutuhan konkret di tingkat lokal. Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang sering kali hilang adalah keberanian untuk bertanggung jawab sepenuh hati, dari pucuk kepemimpinan hingga ke lini pelayanan paling dasar.
Semoga refleksi ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan pemerintahan tidak hanya terletak pada kemajuan angka dan prestasi diplomatik, tetapi pada keselarasan antara janji dan realitas. Agar pidato dan pelayanan dapat berjalan dalam irama yang sama. Dan agar mimpi tentang Indonesia yang adil, sejahtera, dan manusiawi tidak hanya terdengar di ruang konferensi dunia—tetapi benar-benar terasa, sederhana dan nyata, di halaman rumah rakyat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
