Menata Ulang Arah Ekonomi: Saatnya Kembali ke Fondasi Kerakyatan
Ekonomi Syariah | 2025-06-23 10:37:49
Dalam hiruk pikuk pertumbuhan ekonomi nasional, pertanyaan paling mendasar justru sering terlupakan: untuk siapa sebenarnya pembangunan ekonomi ini dilakukan? Ketika angka-angka makroekonomi membaik, namun ketimpangan sosial makin lebar, kita patut bertanya apakah ekonomi yang kita jalankan masih berpihak pada rakyat?
Sebagai mahasiswa ekonomi, kita diajarkan tentang teori pertumbuhan, inflasi, dan mekanisme pasar. Namun sering kali teori-teori itu tak sepenuhnya menyentuh realitas akar rumput. Di desa-desa, UMKM masih kesulitan mendapatkan pembiayaan. Di kota, pengangguran terselubung terus meningkat. Apakah sistem ekonomi kita sudah cukup adil?
Data BPS 2023 mencatat indeks gini Indonesia berada di angka 0,388. Angka ini memang turun dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun masih menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan yang cukup tinggi. Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi dan digitalisasi ekonomi, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan berkualitas masih didominasi oleh kelompok menengah ke atas.
Kita perlu menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir kelompok elit pada akhirnya akan menjadi bom waktu sosial. Ketika banyak orang merasa tertinggal dalam sistem, ketidakpuasan meluas, dan stabilitas jangka panjang menjadi rapuh.
Konsep ekonomi kerakyatan bukanlah jargon kosong. Ini adalah gagasan bahwa pertumbuhan seharusnya bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat: koperasi, UMKM, pertanian lokal, industri kreatif komunitas. Bukan semata-mata menunggu "tetesan ke bawah" dari korporasi besar.
Beberapa daerah di Indonesia sudah menunjukkan bahwa pendekatan ini bisa berhasil. Di Jawa Tengah, misalnya, model pembiayaan mikro berbasis koperasi terbukti mampu menumbuhkan wirausaha baru tanpa menjebak mereka dalam utang berbunga tinggi. Sementara di Sulawesi Selatan, sinergi antara pemerintah desa dan petani lokal berhasil menciptakan ekosistem pangan mandiri.
Sebagai calon ekonom muda, kita tidak boleh hanya menjadi penghafal teori. Kita harus kritis, solutif, dan berpihak. Kampus seharusnya menjadi laboratorium sosial tempat model ekonomi baru diuji: inkubator UMKM, riset kebijakan fiskal lokal, hingga program pendampingan desa berbasis data.
Ekonomi bukan hanya soal grafik permintaan-penawaran, melainkan soal bagaimana manusia hidup layak. Kita tidak sedang bicara tentang pasar bebas, tapi pasar yang berkeadilan.
Kini saatnya menata ulang arah ekonomi Indonesia. Kita butuh kebijakan fiskal dan moneter yang berpihak, sistem distribusi yang lebih adil, serta pemikiran ekonomi yang tidak kaku oleh dogma lama. Ekonomi yang baik bukanlah yang tumbuh cepat, tapi yang berkembang menyeluruh.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
