Zakat untuk Program Makan Bergizi Gratis: Kemaslahatan atau Distorsi Syariat?
Rubrik | 2025-06-19 23:08:37
Pemerintah Indonesia menggagas program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari agenda prioritas pembangunan. Program ini diklaim penting untuk mencegah stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak. Namun, keberadaan program justru menimbulkan kekhawatiran karena munculnya wacana bahwa dana zakat akan dialihkan untuk mendukung pendanaan program ini.
Pengalihan dana zakat untuk MBG memang terkesan sebagai bentuk sinergi antara syariat Islam dan pembangunan nasional. Akan tetapi, jika ditinjau dari prinsip dasar zakat dalam Islam langkah ini bukan hanya menyalahi aturan distribusi zakat tetapi juga mereduksi fungsi spiritual zakat sebagai ibadah. Zakat tidak bisa dan tidak boleh digunakan untuk program seperti MBG yang bersifat umum, luas, dan tidak terikat pada kriteria syar’i penerima zakat.
Zakat adalah ibadah dengan aturan tegas bukan sumber dana fleksibel. Zakat bukan sekadar alat bantu sosial, melainkan ibadah yang memiliki dimensi transendental dan sistem distribusi yang telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 60), dana zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan (asnaf) yang sudah sangat jelas: fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharim (orang yang berutang), fi sabilillah, dan ibnu sabil (musafir).
Program MBG pemerintah pada dasarnya menyasar seluruh anak usia sekolah tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau agama. Artinya, tidak ada jaminan bahwa penerima manfaat program MBG termasuk dalam kategori mustahik zakat. Jika dana zakat digunakan untuk program ini, maka terjadi pelanggaran langsung terhadap aturan syariat tentang siapa yang berhak menerima zakat. Dalam kerangka Islamic Public Value (IPV), zakat adalah instrumen nilai publik Islam yang mengedepankan keadilan distributif, keberpihakan kepada kaum tertindas, dan pengelolaan yang amanah. IPV menuntut bahwa setiap pengelolaan dana zakat harus akuntabel tidak hanya di mata manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT.
Menggunakan zakat untuk MBG tanpa klasifikasi mustahik berarti mengabaikan prinsip keadilan Islam, Menghapus unsur amanah dalam pengelolaan zakat, dan menghilangkan batas antara ibadah dan kebijakan negara. Zakat bukan dana publik yang bisa dipakai untuk program siapa saja. Ia adalah hak khusus mustahik yang wajib dijaga kesuciannya.
Program MBG memang dapat dikategorikan memiliki manfaat baik yang hendak dituju dengan menekankan dalam menanggulangi stunting dan meningkatkan kualitas generasi. Namun, kebaikan tujuan tidak bisa dijadikan dalih untuk membenarkan pelanggaran terhadap hukum syariat. Terlebih, MBG adalah program negara yang sifatnya universal dan lintas sektor. Tidak semua penerimanya tergolong fakir-miskin atau masuk dalam asnaf. Bahkan sangat mungkin dana zakat digunakan untuk membeli makanan, menggaji vendor, atau membiayai logistik yang tidak berkaitan langsung dengan mustahik zakat. Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai tasharruf ghairu masyru’ (penggunaan dana syariah secara tidak sah). Jika ini diteruskan, maka fungsi zakat sebagai instrumen ibadah akan berubah menjadi instrumen politik anggaran.
Menurut laporan BAZNAS (2023), potensi zakat nasional mencapai Rp327 triliun, namun realisasinya baru sekitar Rp29 triliun. Angka ini sering dijadikan argumen bahwa zakat adalah sumber pembiayaan yang besar untuk mendukung program sosial pemerintah. Akan tetapi, logika ini keliru. Zakat bukan solusi fiskal negara. Zakat bukan seperti pajak atau APBN yang fleksibel penggunaannya. Ketika negara mulai memandang zakat sebagai cadangan keuangan negara, maka zakat kehilangan keistimewaannya sebagai ibadah yang memiliki dimensi ilahiyah dan batasan hukum yang ketat.
Pemerintah harus jelas memisahkan batas kepentingan negara dengan agama. Jika pemerintah ingin melibatkan lembaga zakat dalam program MBG, maka pendekatan yang paling benar adalah menggunakan dana infak, sedekah, atau dana sosial lainnya, bukan dana zakat. Tidak menjadikan dana zakat sebagai dana campuran atau sumber utama dalam anggaran MBG. Zakat harus tetap dikelola secara independen oleh otoritas zakat (BAZNAS atau LAZ) dengan panduan syariah yang ketat. Intervensi negara boleh terjadi dalam hal penguatan kelembagaan, tetapi tidak dalam pelaksanaan program teknis yang tidak berlandaskan fikih zakat.
Program Makan Bergizi Gratis adalah ide baik tetapi tidak semua yang baik secara duniawi sesuai dengan syariat Islam. Zakat adalah amanah yang harus disalurkan secara tepat dan sah. Menyalurkan zakat ke program MBG tanpa klasifikasi asnaf yang jelas adalah bentuk penyimpangan yang berpotensi besar merusak kepercayaan umat dan menghapus nilai ibadah dari zakat itu sendiri. Negara boleh kreatif dalam mencari sumber pendanaan, tetapi jangan korbankan syariat atas nama maslahat teknokratis. Kemaslahatan hakiki dalam Islam hanya tercapai jika tetap berada dalam koridor syariat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
