Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ragil Angga Prastiya

Tambang Nikel dan Penyu: Ironi Transisi Energi Bersih dari Sudut Lautan yang Terlupakan

Info Terkini | 2025-06-19 14:43:27

Oleh: Ragil Angga Prastiya, drh., M.Si., Dosen Reproduksi Veteriner, Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, dan Ilmu Alam (FIKKIA), Universitas Airlangga, Banyuwangi

Indonesia kini menjadi sorotan dunia sebagai pemasok utama nikel—logam strategis untuk baterai kendaraan listrik. Namun di balik ambisi besar menjadi motor transisi energi global, ada kisah sunyi dari laut-laut tropis kita: penyu yang kehilangan rumah, terumbu karang yang memutih, dan biota laut yang terganggu siklus hidupnya akibat deforestasi pulau kecil untuk tambang nikel.

Sebagai peneliti di bidang kesehatan hewan, saya melihat ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini adalah gejala serius dari krisis kesehatan ekosistem. Ketika hutan di pulau kecil dibabat untuk membuka jalan bagi tambang, tanah yang terbuka mudah tererosi dan hanyut ke laut, menyebabkan sedimentasi tinggi yang mematikan terumbu karang. Lebih dari itu, limbah tambang yang mengandung logam berat seperti timbal (Pb), kromium (Cr), hingga merkuri (Hg) perlahan masuk ke rantai makanan laut.

Sebuah kajian sistematis yang baru-baru ini diterbitkan oleh Dias et al. (2024) menguatkan kekhawatiran ini. Penelitian tersebut menyebut bahwa penyu seperti Chelonia mydas (penyu hijau) dan Caretta caretta (penyu tempayan) telah menunjukkan respons biologis terhadap polusi kimia: dari gangguan fungsi hati, stres oksidatif, hingga potensi gangguan reproduksi. Biomarker kesehatan seperti aktivitas enzim hati (GST, CYP), hormon vitellogenin, hingga kerusakan DNA, semuanya jadi bukti nyata bahwa laut kita sedang sakit.

Yang lebih memprihatinkan, penyu—yang selama ini kita banggakan sebagai spesies ikonik konservasi—sebenarnya adalah penanda biologis dari ekosistem laut yang sedang terancam. Ketika penyu mulai menunjukkan biomarker keracunan, itu artinya kita tidak bisa lagi menutup mata: ada polutan berbahaya yang sudah terlalu dalam masuk ke sistem laut.

Ironisnya, narasi transisi hijau kerap hanya fokus pada energi dan emisi, tanpa melihat bagaimana sumber bahan bakunya justru merusak biodiversitas. Energi hijau seharusnya tidak dibangun di atas reruntuhan ekosistem biru.

Lalu, ke mana suara konservasi saat pulau-pulau kecil—yang kerap jadi tempat bertelur penyu—berubah menjadi lokasi tambang? Ke mana perhatian kita saat anak-anak muda mengunggah gambar penyu mati yang tersangkut jaring, atau ikan-ikan yang menurun jumlahnya karena rusaknya habitat terumbu?

Menjaga Laut, Menjaga Masa Depan

Laut adalah paru-paru kedua bagi planet ini, dan hewan laut adalah indikator vitalnya. Jika laut kita tercemar, cepat atau lambat kita juga yang akan terkena dampaknya. Bukan hanya karena ikan menjadi beracun, tetapi karena ekosistem menjadi tidak seimbang, dan bencana ekologis akan menjadi lebih sering terjadi.

Sebagai bangsa kepulauan, kita tidak boleh terjebak pada pilihan palsu: antara ekonomi atau ekologi. Keduanya bisa berjalan seiring, asal ada kemauan politik, dukungan sains, dan kontrol terhadap aktivitas tambang yang ketat.

Penyu bukan hanya cerita konservasi. Mereka adalah cermin dari arah pembangunan kita. Jika kita tak bisa lagi menjaga mereka, maka siapa yang akan menjaga kita?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image