Hidup Enggak Harus Bikin Semua Orang Suka
Resensi | 2025-06-15 23:23:27
Judul: Berani Tidak Disukai.
Penulis: Ichiro Kishimi & Fumitake Koga.
Penerjemah: Irma Zaydillah.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama.
Tahun Terbit: 2019 (Edisi Indonesia).
Jumlah Halaman: 328 halaman.
ISBN: 9786020633213.
Kategori: Psikologi, Pengembangan Diri, Filsafat
Sebagai mahasiswa ilmu komunikasi yang tiap hari berinteraksi sama banyak orang, ekspektasi sosial itu udah kayak bayangan: selalu ngikutin ke mana pun kita pergi. Ada tekanan buat tampil sempurna, jaga citra, dan terus nyari validasi dari lingkungan sekitar. Nah, buku Berani Tidak Disukai ini hadir kayak tamparan halus buat semua orang yang hidupnya terlalu dipenuhi oleh “apa kata orang”. Ditulis oleh Ichiro Kishimi (filsuf) dan Fumitake Koga (jurnalis), buku ini ngajak kita buat ngebebasin diri dari belenggu sosial dan hidup lebih otentik, tanpa harus jadi people pleaser. Buku ini menyajikan gagasan filsafat psikolog Alfred Adler yang bisa dicerna dengan ringan dan relatable, cocok buat mahasiswa maupun pembaca muda yang lagi galau eksistensial.
Hal paling menarik dari buku ini adalah pembongkaran terhadap pemahaman umum soal masa lalu. Biasanya kita berpikir trauma atau pengalaman buruk adalah akar dari semua masalah kita sekarang. Tapi lewat sudut pandang Adler, sang filsuf menjelaskan kalau masa lalu bukan penentu. Justru manusialah yang menciptakan alasan dari masa lalu untuk tidak berubah. Ini ngubah cara pandang ku sebagai pembaca: bahwa sebenarnya kita punya kendali penuh untuk menentukan masa depan, tanpa perlu terus menyalahkan masa lalu.
Pembahasan kemudian masuk ke satu konsep yang sangat relevan buat mahasiswa komunikasi: semua masalah adalah masalah hubungan antar manusia. Mulai dari iri sama teman yang lebih sukses, konflik di organisasi kampus, sampai minder karena nggak punya banyak followers di Instagram. Semua itu muncul karena kita terlalu peduli sama bagaimana orang lain melihat kita. Di sinilah pentingnya konsep “separation of tasks” alias pemisahan tugas. Dalam buku ini, filsuf bilang kalau kita harus belajar membedakan mana tanggung jawab kita, dan mana yang bukan. Misalnya, tugas kita adalah belajar dan berproses, tapi bukan tugas kita untuk memastikan semua orang suka sama kita.
Salah satu bagian yang juga bikin aku mikir ulang adalah soal “keinginan untuk diakui”. Kita sering banget secara gak sadar ngejar-ngejar validasi. Padahal, semakin kita berusaha bikin semua orang suka, semakin kita kehilangan jati diri. Buku ini ngajarin keberanian buat hidup jujur sesuai prinsip kita, meski mungkin gak semua orang bakal setuju atau suka. Inilah makna “berani tidak disukai” yang sesungguhnya bukan jadi rebel, tapi jadi autentik.
Konsep lain yang dibahas adalah pentingnya hidup di masa kini. Banyak orang yang terlalu terjebak dalam masa lalu atau cemas akan masa depan. Padahal, satu-satunya waktu yang bisa kita kendalikan adalah sekarang. Dengan fokus ke saat ini, kita bisa lebih menikmati hidup dan lebih hadir dalam setiap momen. Ini cocok banget buat anak muda yang sering overthinking soal masa depan, karier, atau hubungan. Buku ini ngajarin buat slow down dan sadar bahwa nilai hidup kita gak diukur dari “likes” atau pencapaian orang lain.
Yang bikin buku ini beda dari buku pengembangan diri lainnya adalah cara penyampaiannya. Bukan model checklist atau tips-tips singkat, tapi dialog filosofis yang mengalir. Format percakapan antara seorang pemuda dan filsuf tua ini bikin kita merasa kayak diajak ngobrol langsung. Meski awalnya agak rumit, semakin dibaca, kita diajak merenung dan berdialog dengan diri sendiri. Rasanya kayak duduk di bangku taman sambil ngobrol santai, tapi isinya dalam banget.
Kelebihan utama dari buku ini jelas pada gaya penyampaian yang ringan dan relatable. Format dialog bikin ide-ide kompleks jadi lebih gampang dipahami. Selain itu, konsep-konsep Adler yang diangkat juga sangat relevan buat anak muda zaman sekarang, apalagi yang hidup di tengah tekanan sosial dan dunia digital.
Buku ini juga punya power buat jadi turning point. Bukan cuma bacaan sekali duduk, tapi bisa jadi pegangan atau bahan refleksi saat kita mulai merasa stuck atau overthinking. Dan yang paling penting, buku ini nggak menggurui justru membuka ruang berpikir mandiri.
Kekurangannya, beberapa bagian terasa repetitif, terutama karena format dialog yang kadang muter-muter dulu sebelum sampai ke poin. Buat pembaca yang gak sabaran, mungkin ini bikin sedikit bosan. Selain itu, buku ini cenderung idealis. Dalam kehidupan nyata, gak semua orang bisa langsung menerapkan konsep-konsep ini karena ada banyak faktor eksternal, kayak budaya, ekonomi, atau lingkungan sosial yang menuntut kompromi.
Secara keseluruhan, Berani Tidak Disukai adalah buku yang gak cuma ngajarin buat lebih berani, tapi juga ngajak kita berdamai dengan diri sendiri. Sebagai mahasiswa ilmu komunikasi, buku ini penting karena membahas isu yang sangat dekat dengan dunia kita: eksistensi, relasi sosial, dan konstruksi diri. Buku ini bukan ajakan buat jadi cuek, tapi ajakan buat hidup dengan cara yang jujur dan bermakna. Buat lo yang capek ngejar ekspektasi orang lain, atau ngerasa hidup lo gak pernah cukup, baca buku ini bukan buat nyari jawaban instan, tapi buat mulai percakapan paling penting: dengan diri sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
